Tuesday, September 25, 2012
Di Mata Mereka
In Dilla’s eyes
Aku berjalan menuju ruangan kepala redaksi. Membawa softcopy dan hardcopy hasil kerja kerasku 3 hari terakhir. Jantungku serasa mau keluar dari tempatnya, perasaanku bercampur aduk antara senang, tak sabar, dan takut. Senang karena aku berhasil menyelesaikan ulasan berita investigasi tentang seorang pengusaha tenar yang diduga korupsi, tak sabar untuk menunjukkan hasil kerjaku pada bos-ku dan takut karena baru kali ini beliau mengijinkanku untuk menulis sesuatu yang lebih banyak dan serius.
Pekerjaanku sebagai wartawan di kantor majalah nasional tersebut masih terbilang singkat. Aku anak baru. Tapi aku berusaha semaksimal mungkin untuk pekerjaanku yang satu ini. Jika biasanya aku hanya kebagian mengisi kolom-kolom lifestyle, gadget, hiburan, atau bahkan resensi film dan buku, kini aku punya kesempatan untuk meningkatkan level intelektual dan pengalamanku dalam menulis untuk menganalisa setiap hasil wawancara dan fakta yang aku temukan dalam ulasan khusus investigasi dalam majalah ini. Terbayang sekilas reaksi bos-ku.
Aku mengetuk pintu di depanku, kemudian membukanya. Sudah ada kepala redaksi di dalam, tapi dia tidak sendiri. Ada rekan kerjaku juga disitu. Rani sedang membahas hasil pekerjaannya dan aku diminta menunggu sebentar. Rekanku itu menoleh dan tersenyum sinis padaku. Dia memang lebih senior dibanding aku, tapi kupikir kreativitas dan kemampuan tak memandang umur maupun lama kerja. Tak lama Rani mengucap terimakasih dan keluar dari ruangan ini. Aku menghampiri bos-ku. Menyerahkan naskah pekerjaanku. Dia membaca sekilas, dan tiba-tiba tersenyum.
“Kenapa sama persis?” Dia memandangku. Aku bingung.
“Maaf pak?”
“Rani juga menulis tentang pengusaha ini. Dan tulisan kalian sama persis!”
“Ngga mungkin pak” aku panik. Mencoba meraih dua naskah yang sedang dia bandingkan.
“Ya Tuhan, apa-apaan ini?” Aku terpaku pada naskah berlembar-lembar di tanganku. Teringat senyum sinis Rani barusan, dan teringat juga semalam aku sempat ketiduran di kantor dengan komputerku menyala. Terbangun tengah malam dan kemudian baru pulang. Rani seniorku, setega itu.
“Saya bisa kok masukin tulisan kamu di edisi bulan depan…”
“Pak, demi Tuhan Rani yang menjiplak tulisan saya…”. Aku terperangah menyadari bos-ku sudah merangkul bahuku. Aku menjauh. Dia tertawa.
“Dilla, kamu minta apa aja pasti saya kasih. Kalo cuma pengen tulisan kamu dimuat di edisi bulan depan itu gampang.. Tapi kamu tau kan itu ngga cuma-cuma?” Dia mendekatiku lagi, aku panik.
“Rani tidur sama saya semalam, kamu? Mau dua malam? Tiga malam?” Dia mulai mendekati wajahku.
“Ngga pak, terimakasih”. Buru-buru aku keluar dari ruangannya. Menahan tangisku sampai ke kubikel. Di sana ku benamkan wajahku. Teman-temanku tak ada yg berani bertanya. Entah mereka telah mengetahui, atau mereka segan. Akupun tak berani menatap mereka. Syukurlah sudah hampir jam pulang kantor. Ingin rasanya aku berlari secepat kilat dari kantor ini sekarang juga.
In Dian’s eyes
“Coba kamu gali lagi permasalahan pasien kamu, saya rasa analisa kamu masih kurang. Dan jangan lupa sumbernya ditambahin”
Ternyata masih kurang juga. Padahal aku sudah semalaman tidak tidur. Aku menguap. Bu dosen melotot. Membuat kantukku hilang seketika.
“Maaf bu. Baik bu, saya akan perbaiki. Kapan bisa ketemu Ibu lagi?” Aku membereskan kertas-kertas tugas akhirku.
“Lusa sudah beres ya, saya ngga mau lihat kamu menguap lagi di depan saya” Bu dosen menatapku galak.
“Iya bu, makasih bu” Aku buru-buru angkat kaki dari ruangannya. Sore ini rasanya ingin tidur dulu sejenak. Aku menguap lagi. Berjalan menuju rumah kost yang tak jauh dari kampus. Sampai kemudian panggilan masuk terdengar dari handphone-ku. Dari Lita, anaknya pasienku, objek tugas akhirku.
“Halo, mbak Dian?”
“Iyah, kenapa Lit?
“Mbak, bapak mbak…”
“Kenapa Lit?” Aku panik.
“Bapak.. meninggal.. Mbak..”
Aku terpana, ngantuk-ku hilang lagi. Kalimat doa menyusul sesaat sebelum telepon ditutup.
Kepalaku seperti ditimpa beban berat sekali. Aku memutar arah, tak jadi pulang ke kost-an. Berbalik menuju rumah sakit yang terletak di depan kampus.
Keluarga Lita berkabung. Aku turut serta berada di depan ruang ICU tersebut. Sebenarnya aku berencana mengunjungi pasienku ini besok. Untuk terakhir kalinya menganalisa masalah kesehatannya, dan menyusunnya dalam tugas akhirku. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ibunya Lita menangis memeluk dan menciumiku. Aku ikut terharu. Bagaimana tidak, sudah dua minggu ini aku dekat dengan keluarga ini.
“Mbak, tugas akhirnya gimana?” Lita menatapku sedih.
“Ngga apa Lit, nanti diurus” Aku tersenyum pahit. Pahit sekali. Tahu konsekuensinya jika gagal dalam tugas akhir ini. Mengulang. Padahal waktunya sudah sangat mepet, terbayang kalau aku harus mencari pasien pengganti dan mengulang semua dari awal. Aku ingin ikut menangis juga rasanya.
In Nina’s eyes
“Nin, kita perlu bicara sebentar” Riko, tunanganku. Meneleponku di sela-sela pekerjaanku di kafe ini. Aku bilang tidak bisa. Riko bilang ini penting sekali. Aku jadi gugup, cincin dari-nya kuputar-putar terus di jariku.
Di waktu istirahat siang, aku minta ijin atasanku untuk keluar menemui Riko. Riko menjemputku, membawaku ke rumah kost-nya. Aku terus bertanya “ada apa” sepanjang jalan, tapi Riko tak bersuara sedikitpun.
Di kamar kost Riko sudah ada orang. Gadis berambut pendek itu di kamar kost Riko. Dia baru kali ini kulihat, bukan adik Riko, ataupun salah satu teman kami. Gadis itu tiba-tiba menangis memeluk kaki-ku. Dia berlutut dan meminta maaf. Aku bingung.
“Mbak Nina, ampun mbak… aku minta maaf… aku minta maaf banget..” kata-kata menyeruak di sela tangis pilu-nya.
“Itu bukan salah kamu! Tapi salahku! Jangan nangis lagi!” Riko menghardiknya.
“Mbak, tolong aku mbak. Aku mohon mbak.. Bapakku baru aja meninggal dan aku ngga tau lagi mesti bilang apa ke ibu.. Mbak Nina tolong mbak..”
“Riko, ada apa ini???” aku mendesak Riko menjelaskan kegaduhan ini. Gadis itu melepas pelukannya pada kaki-ku dan menghampiri tas-nya. Mengeluarkan sebuah benda kecil. Riko merebut benda itu dan melemparnya ke pojok ruangan. Aku dan gadis itu mengejar benda itu. Terlambat. Aku mendapatkannya lebih dulu. Testpack. Dengan dua garis merah terang. Jelas sekali.
Gadis itu meraung-raung lagi. Memelukku yang masih merasa bingung.
“Aku hamil mbak.. Anak Mas Riko..”
“Lita! Diam kamu!” Riko menyebut nama gadis itu.
Aku terdiam. Riko menggaruk-garuk kepalanya dengan gusar. Gadis itu masih meraung-raung. Aku seolah merasakan kepedihannya. Riko menatapku. Aku melepas pelukan Lita. Menjauhkannya dari tubuhku. Dia masih menangis. Aku menunjukkan benda itu pada Riko. Mendekatkan pada matanya agar Riko bisa melihat jelas dua garis merah tersebut.
“Maafkan aku, Nina” ucap Riko, lirih. Aku diam. Membiarkan Riko menjelaskan semuanya padaku. Lita masih menangis di sela-sela penjelasan Riko. Mereka bertemu di sebuah club beberapa bulan yang lalu. Sama-sama mabuk, dan terjadilah. Lita stress karena ayahnya sakit keras, sedangkan Riko memang baru saja dipecat dari pekerjaannya seminggu setelah kita bertunangan.
“Percayalah, Nina. Aku sayang kamu” Riko tampak menyesal. Tapi apa dayaku. Pedihku dikhianati tunangan mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan dihamili oleh orang yang baru dikenal. Gadis itu beranjak dari tangisnya dan menghampiriku. Demi Tuhan aku terbelalak melihat apa yang disodorkan padaku. Sebuah pisau cutter.
“Apa-apaan kamu, Lita!” Riko berusaha melindungiku.
“Mas, aku tau kalian udah tunangan. Tapi tolong liat aku!” Lita masih menangis, gemetar memegang pisau itu. Berbalik arah mengarahkan pisau itu ke nadinya. Secepat kilat aku merampas benda itu dari tangannya. Dia menjerit.
“Bunuh aja aku, mbak!”
“Jangan bodoh dua kali, Lita” Aku membuang pisau itu. Menjauhkan sejauh mungkin. Riko memelukku dari belakang, ikut menangis.
Kulepas cincin di jari, kuberikan pada Riko. Aku berusaha untuk tidak menangis. Sekalipun sebenarnya aku ingin. Aku juga membayangkan ibuku, keluargaku, dan teman-temanku. Tapi tentu tak akan lebih parah dari Lita, gadis itu. Aku tidak hamil. Aku tak bertanggung jawab pada nyawa siapapun.
“Nikahi dia, Riko”
In Their eyes
Dilla sampai di kamar kost mereka setelah Nina. Dian menyusul. Mereka tak saling bicara. Padahal sebelumnya, sepadat apapun aktifitas mereka di luar sana, di penghujung hari mereka biasa bercakap dan bercerita satu sama lain. Dian berpikir, mungkin kedua temannya sedang sangat letih. Maka Dian memilih diam dan berkutat dengan laptopnya.
“Aku mau resign besok” Dilla memecah kesunyian.
“Eh, kenapa Kak Dilla?” Dian meninggalkan pekerjaannya, menghampiri Dilla.
“Kenapa Dil? Baru juga tiga bulan” Nina menimpali. Dilla menceritakan semua yang terjadi padanya siang tadi. Dian dan Nina manggut-manggut.
“Itu keputusan tepat, semoga nanti akan dapat yang lebih baik” Nina menghela napas panjang.
“Pasienku meninggal” Dian gantian menceritakan perihal tadi siang dan mengungkap konsekuensi apa yang dia terima nanti. Dilla dan Nina mengusap punggungnya lembut.
“Kak Nin? Kenapa juga diem aja dari tadi? Cerita dong. Apa Riko udah dapet kerjaan lagi?” Dian, Dilla, dan Nina berkumpul di satu kasur. Kasur Dilla. Mereka sudah tinggal bersama di kamar itu lebih dari dua tahun. Hanya Dian yang masih kuliah. Dilla dan Nina sudah menganggap Dian adik mereka sendiri.
Nina menangis. Baru sekarang dia mengeluarkan semua emosinya. Nina menangis tanpa kata-kata. Dian dan Dilla menyiapkan tisu dan mengelus kepala Nina perlahan.
“Kenapa Nin?” Dilla tampak prihatin. Dian mengusap tisu ke pipi Nina.
“Aku putus” Nina menunjukan jarinya yang kosong tak bercincin, dia tersenyum dengan air mata terus mengalir. Dian dan Dilla terbelalak.
Sebelum mereka minta, Nina menceritakan apa yang terjadi di kamar kost Riko siang tadi. Sekarang mereka bertiga menangis. Berpelukan satu sama lain. Saling menguatkan. Saling mendoakan semoga hari esok lebih baik. Dan saling berkata “and I will try… to fix you”
*) Diinspirasi dari lagu Fix You - Cold Play
Ditulis oleh @_lele19 dalam http://leletrash.tumblr.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment