Saturday, September 22, 2012

Aku Bisa Apa?


Sore kala itu belum senja, tapi sembarut kuning bergradasi sudah menghampar menyelimuti langit. Angin yang berhembus membelai dengan penuh kasih sayang, seolah-olah ingin memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa yang diterpanya. Alam tau bagaimana dia harus bersikap, dia bebas dan jujur.

Aku duduk di pangkuan kursi besi panjang. Dihadapanku terbentang sungai yang luas dengan batas langit yang tak ku tau dimana ujungnya. Beriak sungai nampak berkilauan diterpa matahari sore. Suasana saat itu indah, salah satu nuansa sore favoritku. Ku nikmati kebesaran yang Tuhan anugerahkan lewat cantiknya sore saat itu. Ku hirup nafas dalam-dalam seakan takut tak bisa ku temui sore yang indah seperti ini lagi. Kepada sore lah jiwa ku diberikan. Andai bisa, aku ingin menjelma menjadi awan yang nampak bahagia disinari matahari sore.

Hingga kemudian suara ketokan sepatu memecah lamunanku. Kau datang, seperti biasanya, tanpa pernah ku tau kapan kau akan datang kapan kau akan pergi.

“Hallo,” sapamu singkat.

Aku hanya tersenyum. Untuk orang sepertimu, aku tak tau balasan yang tepat untuk kata hallo itu seperti apa, kecuali segaris senyum tak bersuara yang bisa kuberikan. Sejak dulu kala, aku ingin memberitahumu bahwa efek sapaan singkatmu yang berbunyi hallo tak pernah sesingkat 5 huruf yang terabjadkan.

“Segar ya anginnya.”

Aku hanya mengangguk.

Kau lalu duduk di sampingku. Berdua kita menikmati indahnya sore dengan penghayatan masing-masing.

“Jadi kamu benar-benar akan pergi?” aku memberanikan diri bertanya. Dan entah datang keberanian dari mana, ku toleh wajahmu. Sering aku bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan konspirasi alam. Kini aku sudah tau jawabannya. Kau yang duduk santai disampingku, memandang langit luas, sesuatu yang indah di sore favoritku.

Kau hanya mengangguk sambil menggerakkan kepala untuk melemaskan lehermu.

“Sayang ya, coba bisa di sini lebih lama lagi.”

Demi indahnya sore ini, aku menyayangkan kenyataan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Pun indahnya sore, juga moment keberadaanmu disampingku.

We all go ‘round and ‘round
Partners are lost and found
Looking for one more chance
All I know is,
We’re all in the dance


“Life is like a dance.” Aku bergumam, berharap kau mendengar.

“Heh?”

“Hidup itu ibarat tarian. Takdir itu ibarat musik yang dimainkan untuk kita menari. Rasakan beat-nya, ikuti rithme-nya, dan menarilah sesuai irama.”

“Ngomong apa sih?”

“Sayangnya Tuhan bukan DJ yang bisa kita request lagu apa yang kita inginkan. Kita menari sesuai lagu yang dimainkan. Selanjutnya kita hanya punya pilihan untuk ikut menari atau tidak.”

“Hmmm….”

Night and Day, the music plays on
We are all part of the show
While we can hold on to someone
Even though life won’t let us go
Feel the beat, music and rhyme
While there is time.


“Jika kamu adalah lagu, maka kamu adalah lagu kesukaanku. Saking sukanya, aku akan menari setiap kali mendengar lagu itu dimainkan. Sekarang jika kau pergi, maka aku tak akan pernah mendengar lagu itu dimainkan lagi. Jadi aku tak akan menari, dan tak akan ada tarian semacam itu lagi. Aku bisa apa? ‘Oh, God, please don’t stop the music, please don’t switch that song’ ?”

Perlahan indahnya sore memudar menuju senja. Aku tak pernah tau mengapa sesuatu yang indah harus berjalan singkat. Dayaku hanya sepanjang nafas, tak cukup untuk mengenggam jiwa mu agar tetap bertahan di sini, di sampingku.

***


*) Diinspirasi dari lagu We're All In The Dance - Feist

Ditulis oleh @_metharia_ dalam http://justmerisa.blogspot.com

No comments:

Post a Comment