Sunday, September 23, 2012

Neraka Mengancam

“Kenapa? Kok diem?”

Jari-jari itu kembali menyentuh pipiku. Jari-jari yang mampu mengubah prinsip hidupku . Jari-jari yang tanpa permisi menjungkirbalikkan logikaku. Ya, karena jari-jari itulah kini aku terjebak dalam permainanku sendiri.

“Hey.. Kamu kenapa sih?” Kembali jemari itu menyentuh tubuhku. Hangat.

“Nggak apa-apa kok!” Ku paksakan aku tersenyum seperti biasa. Ku balas sentuhan itu.

“Kalo ada apa-apa cerita ya sama aku.” Dia tersenyum. Ah, wanita mana yang tidak terpikat dengan garis wajahmu kalo lagi senyum kaya gitu.

Aku mengangguk pelan, kemudian menatapnya. Aku tidak ingin kehilanganmu.

“Don..!!” Terdengar kencang suara Tiara dari arah kamar, begitu pula dengan suara sepatu high heels-nya yang terdengar sampai ke ruang tamu. Aku menggeser posisi dudukku, mendekati jendela. Perasaanku semakin kacau.

“Jalan sekarang yuk!” Tiara tersenyum ke arah kami berdua.

Entah kenapa suara Tiara terdengar manja di telingaku. Menjijikkan.

“Bel, lo beneran gak ikut ama kita?” tanyanya.

“Nggak ah, gue mendadak sakit kepala nih!” Aku berdalih. Ah, aku memang lagi sakit kepala kok. Sakit hati juga.

“Yaudah, gue jalan dulu ya! Cepet sembuh sayang…” Tiara melambaikan tangannya ke arahku, kemudian melingkarkan tangannya ke pinggang Doni. Sakit kepalaku menjadi-jadi. Sedetik setelah itu, Doni melemparkan senyum rahasianya padaku diam-diam. Habislah, aku mati.

***

Siang itu, untuk pertama kalinya aku melihat dia. Di depan kantin kampus. Kami hanya saling menatap. Terpaku. Seperti ada sesuatu yang menarik di matanya. Hingga akhirnya kami berpisah tanpa sesuatu yang istimewa gara-gara aku harus segera menemui dosen pembimbingku. Keesokan harinya aku bertemu dia lagi, tanpa sengaja tentunya, dia berdiri menatapku di depan rak buku-buku Gramedia, sementara aku yang baru saja hendak masuk tiba-tiba mengurungkan niatku begitu melihatnya. Aku malu. Kenapa harus bertemu lagi?

Dan aku hampir saja mati berdiri ketika tiba-tiba aku menemukannya sedang duduk di sofa apartemenku. Kaget, heran dan bingung bercampur menjadi rasa penasaranku yang membuncah. Kepalaku disesaki dengan beribu-ribu pertanyaan. Siapa kamu?

Hingga akhirnya aku tau, lelaki itu bernama Doni, pacarnya Tiara. Perempuan yang seketika membuatku iri itu adalah sahabatku sendiri. Aku dan Tiara sudah berteman akrab sejak SMA, dan ajaibnya kita kuliah di kampus yang sama dan tinggal di apartemen yang sama pula. Dan kini, kami mencintai lelaki yang sama pula.

Entah apa yang ada di otakku ini, diam-diam aku dan Doni bertemu tanpa sepengetahuan Tiara. Jalan bareng, makan malam berdua, nonton sama-sama bahkan sampai tidur seranjang pun pernah aku lakukan bersamanya. Mungkin aku sudah gila, atau mungkin memang cinta itu buta? Aku nyaris tak memiliki hati. Mengabaikan perasaan-perasaan yang selalu menyalahkanku, melupakan perasaan lain yang akan tersakiti dan membiarkan perasaan ini menjalar kuat dan mengikat hatiku erat-erat. Aku kecanduan cintanya!

Haruskah merasa salah di diriku bila mencintaimu yang telah berdua, seolah aku perawan cinta yang haus kasih…


***

Beberapa bulan terakhir, aku dan Doni jadi sering bertemu setelah Tiara kembali ke rumahnya. Ayahnya terkena stroke, mau tak mau dia harus tinggal di rumah menemani ibunya. Dan itu seperti memberi ruang gerak yang leluasa untukku dan Doni.

Aku bermain dengan api yang aku ciptakan sendiri. Dan kini wajahku terbakar. Aku hamil. Pagi tadi aku kelimpungan sendiri begitu melihat hasil testpack yang aku gunakan. Ini diluar kendaliku! Aku harus menemui Doni segera. Bukankah dulu dia pernah berjanji akan meninggalkan Tiara demi aku? Bahkan dia pernah mengajakku menikah!

Baru saja aku membukakan pintu, tiba-tiba Tiara sudah ada di depan pintu apartemenku.

“Selamat yaa…” ujarnya histeris kemudian memeluk tubuhku erat. Ada apa ini? Selamat untuk apa? Atau jangan-jangan dia sudah tau tentang kehamilanku? Ah, mana mungkin.

“Emm.. Selamat untuk apa sih?”

“Seharusnya lo yang ngucapin itu ke gue!”

“Maksudnya?”

“Bulan depan gue mau kawin!!” Tiara melompat kegirangan.

“APA?” Aku tak percaya. Apa aku salah dengar?

“Iya, bulan depan gue ama Doni mau kawin, Ta!” Lagi-lagi Tiara histeris bahagia, memelukku berkali-kali.

“Lo kenapa sih diem gitu? Gak seneng ya gue mau kawin?” tanyanya tiba-tiba.

“Oh, nggak kok. Aku cuma kaget aja. Kenapa mendadak seperti ini?” Aku mencoba bersikap tenang, dengan menahan rasa sakit yang muncul begitu saja.

Selanjutnya Tiara bercerita tentang kesehatan ayahnya yang sudah tidak dapat diprediksikan lagi. Tentang bujukan ibunya. Tentang keinginan keluarganya. Dengan setengah hati aku mendengarkannya. Aku seperti kejatuhan besi panas. Meradang kesakitan. Ingin sekali berteriak atas ketidakadilan ini. Menentang takdir. Melawan nasib. Kenapa ini harus terjadi kepadaku? Aku yang seharusnya menikah dengan Doni, bukan Tiara! Mungkinkah ini wujud nyata dari karma? Tapi, karma untuk apa? Pengkhianatan? Bukankah aku dan Doni saling mencintai?

“Ta, aku bahagia sekali. Doakan aku ya!” Tiara menangis seraya memelukku erat. Aku terdiam cukup lama, hingga akhirnya membalas pelukannya.

Ini tidak adil! Apakah aku harus mengorbankan hidupku sendiri demi seseorang yang disebut teman? Apakah aku harus merelakan lelaki yang kucintai menikahi perempuan lain? Lalu bagaimana dengan anak yang kukandung sekarang?

***

Ku hanya mencoba bermain api, namun sulit akhirnya aku padamkan, hati kecilku mengatakan ini harus di akhiri..

Aku tersenyum kepada setiap orang yang tak sengaja berpapasan denganku. Aku merasa paling cantik diantara para tamu undangan di ruangan serba putih ini, mungkin karena aku sudah mempersiapkan ini jauh-jauh hari. Langkahku terhenti, tertegun menyaksikan sesuatu yang berada di depan mataku. Sepasang manusia, raja dan ratu.

Kedua manusia yang seharusnya aku benci mati-matian, kini salah satunya tersenyum padaku. Keduanya begitu berarti buatku. Tiara, satu-satunya orang yg mau mengulurkan tangannya dengan tulus ketika keluargaku bangkrut dulu, dan Doni, satu-satunya lelaki yang mampu mengobati rasa traumaku terhadap lelaki atas pelecehan masa kecilku dulu.

Aku tersenyum ke arah keduanya. Tanganku merogoh tas kecil yang kubawa sejak tadi, menemukan benda misterius yang ku beli beberapa minggu yg lalu. Pistol.

ditulis @jujju_ dalam http://nalanafka.tumblr.com | Perawan Cinta

No comments:

Post a Comment