Dinding-dinding biru di ruangan ini bisu, sebisu bibir kami berdua saat tidak ada lagi kalimat penyanggah. Vas bunga bening di meja sudut pun seolah hanya berbicara dan berpandangan dengan lima tangkai lily putih di dalamnya. Beberapa lukisan di dinding menampakan gambaran makhluk-makhluk yang terjaga, namun hanya mematung dalam dunianya sendiri. Padahal aku berharap mereka semua hidup, mengisi kekosongan yang tercipta lama di sini. Semua diam dan seperti berjejak-jejak menjauhi kami berdua, aku dan dia, yang sejak dua puluh menit lalu kelelahan oleh ego masing-masing.
Satu jam yang melelahkan jiwa. Pagi mendung yang semakin mendung. Dia datang ke rumahku untuk menyampaikan keputusan merugikan, sepihak, dan menyedihkan. Ternyata satu minggu belakangan ada hal tak tersentuh oleh dasar logika dan pemikiranku, hal yang sebaliknya ternyata sangat mengganggu baginya. Namun, selalu terjadi pada makhluk bernama perempuan, perihal tersebut beserta dampak-dampaknya hanya disimpan dalam hati sendiri, hingga kepenuhan dan memecah buyar ke saraf-saraf otak hingga tak mampu berpikir jernih lagi. Lalu seperti yang sudah-sudah, laki-laki akan dituduh memiliki batas sensitif terlalu dangkal. Itulah mengapa aku heran perempuan dan laki-laki diibaratkan datang dari Venus dan Mars. Perbedaan dalam penggunaan logika dan perasaan seperti ini lebih cocok disamakan dengan jarak antara Merkurius dan Neptunus.
“Kemana saja kamu, tidak sempatkah melirik ponselmu yang sejak tadi malam pasti penuh dengan pertanyaan kekhawatiranku?”
“Aku baru saja bangun. Ahh, kesiangan. Terlalu lelah akibat acara kemarin.”
“Sekadar menyisakan 5 menit untuk mengabarkan kamu sudah di rumah tadi malam pun tak bisa?”
“Sesampai di rumah aku langsung tertidur, lagipula aku pikir kamu pasti sudah tidur.”
“Tapi aku bisa membaca pesanmu pagi-pagi kan, bahkan tidurku tak mengenakan hanya karena menunggu kabarmu.”
“Aku …”
“Ingin mengatakan tak enak karena menggangguku tidur? Kau tau bahkan sejak seminggu lalu tidurku sudah terganggu karena tak pernah mendapat kabar pasti darimu.”
“Nanti dulu, sudah kita bicarakan kan sebelumnya kalau akan ada acara rutin seminggu penuh, bahkan sejak pagi hingga malam di kantorku.”
“Tapi dengan harapan bahwa kau masih bisa mengabariku seperti biasa.”
“……”
“Kamu pun selalu kesal kalau aku pergi walau hanya dalam satu hari namun tidak memberi kabar. Lalu, kamu? Merasa tidak punya pacar?”
“Maaf, bukan maksudku untuk membuatmu khawatir, tapi sungguh aku ada di tempat itu dan tidak bisa membuka ponsel semauku.”
“Tujuh hari tanpa komunikasi denganmu itu membuat banyak pikiran buruk lewat. Kamu tau kan rasa kangen kadang justru membuat kita bertengkar.”
“Bukan mauku untuk membuatmu merasa kehilanganku seminggu ini, aku masih memikirkan kita.”
“Memikirkan saja tak akan cukup. Hari-hari terakhir tanpamu ini justru membuatku lalu terbiasa.”
“Maksudmu?”
“Aku minta jangan hubungi aku dulu selama aku ingin sendiri.”
“Hey, apa ini? Kau marah? Ingin menghukumku?”
“Break.”
“Jangan memutuskan sembarangan. Kamu tau ini hanya akan membawa kita ke jalan untuk putus.”
“Aku tau, tapi itu hanya kemungkinan. Kamu tak perlu memutuskan iya atau tidak terlalu lama. Karena kali ini aku memohon.”
“Tolong, jangan bersikap seenaknya. Pertimbangkan lagi. Aku tidak bisa menyampaikan banyak argumen, tampaknya hatimu sudah terlalu kesal.”
“Lalu, mau kan mengabulkan keinginanku?”
“Maki saja daripada diamkan aku.”
“Aku hanya ingin sendiri dulu. Tanpa kamu.”
Walau tak ingin, tapi berdasar pengalaman, rasanya agak percuma beradu pendapat denganmu, apalagi kali ini aku juga turut salah. Harus ada banyak waktu dan kata-kata yang tepat untuk kembali mendinginkan hatimu. Mungkin juga aku.
“Baiklah, kalau itu menurutmu terbaik untuk kita.” Jawabku setelah jeda yang lama.
Kau masih mengatupkan bibir dalam gundah.
“Tapi mohon sambil kamu pikir ulang. Jangan sampai merugikan kita.”
“Ya.” Jawabmu singkat, aku tau kamu masih menyimpan marah.
Sementara langit di luar masih berselimut gelap.
“Ingin kuambilkan minum?”
“Tidak usah repot. Aku ingin segera pulang.”
Sulit sekali mendamaikanmu. Padahal seminggu tanpamu sesungguhnya juga membuatku pagi ini berharap dapat merekat erat tubuhmu dalam pelukan.
“Terima kasih atas waktumu untuk mendengar kemarahan. Aku akan pulang sendiri, jadi kamu tak perlu bersiap-siap.”
Aku hanya berdiri tanpa mengucap banyak kalimat. Baru saja enam langkah kau meninggalkanku hingga tiba di ambang pintu. Alam mendengar rinduku. Hujan turun dengan deras dan menciptakan hening yang lain. Kau antara kecewa karena gagal pulang, namun juga tampak lega karena masih bisa bersamaku. Aku tahu isi hatimu walau tak semuanya, aku tahu kamu juga rindu, namun kalah oleh ego sendiri. Tanpa membuat banyak detik terbuang, aku membuka kembali percakapan yang sempat mati di antara kita. Mendekatimu dan mencoba untuk menegosiasikan perasaan.
“Hujan deras. Tunggulah dulu. Lagipula, aku masih ingin bersamamu. Please.”
Kamu masih berdiri memandangi hujan. Berbaliklah, dengarkan aku.
“Aku salah. Tapi tak sepenuhnya. Percayakan masih ada dirimu kemana pun aku berjalan atau sesibuk apa pun itu?”
Kamu memutar dan kini melihatku walau masih tak mau memandang mataku. Tabiatmu saat merasa ragu atau bimbang.
“Aku hanya merasa kehilanganmu seminggu ini. Dan itu tidak enak.” Jawabmu
“Tapi sekarang kita sudah bersama lagi, kan?”
Aku memelukmu dengan yakin bahwa kamu tidak akan menolak kehangatannya. Hujan adalah saksi lain dari warna-warni kesedihan dan kebahagiaan kita. Ia berhasil membuatmu tertahan di sini dan mendekatkan apa yang telah jauh.
“Maafkan, sekali lagi. Tolong ubah keputusamu tadi. Jangan hukum aku dengan cara merindukanmu lebih lagi.”
Masih dalam diam kau mendongak hingga aku bisa mencium keningmu yang hangat. Tak perlu banyak melelahkan hati. Terimalah aku lagi. Dan dalam curahan air dari langit maha luas, kita masih berpelukan dalam waktu yang seolah terhenti.
ditulis @desimanda dalam http://desimanda.tumblr.com | Please Don't Stop The Rain
No comments:
Post a Comment