Laki-laki di depanku menatapku dengan lekat. Sepasang mata hitamnya tidak bergerak sedikitpun sejak lima belas menit yang lalu. Lalu lalang orang yang melewati meja kami tidak dipedulikannya. Kedua tangannya masih sama saat pertama kali ia duduk di hadapanku. Menopang dagunya sambil tersenyum menggoda. Beberapa kali ia melontarkan pertanyaan remeh tentang diriku dan menjelaskan sedikit mengenai dirinya.
Aku seperti terjepit di ujung sebuah gang sempit buntu. Jalan masuk dan keluar yang bisa kulewati hanya satu, dan jalan itu terhalang oleh keberadaannya. Begitu mengintimidasi. Tetapi di saat yang lain aku merasa seperti ditarik oleh magnet miliknya. Seperti dua buah kutub berlawanan bertemu dan tidak bisa lepas begitu saja tanpa sebuah tarikan paksa.
Aku memandang jam tanganku sekali lagi. Waktu telah menunjukkan pukul Sembilan malam, tapi ia sama sekali tidak membiarkanku beranjak pergi.
“Boleh aku pulang?” Tanyaku.
Ia menggeleng tapi kemudian menyeringai penuh maksud.
“Tergantung.” Katanya.
“Tergantung apa?”
“Tentu saja semua tergantung jawabanmu.”
Aku tertunduk menatap taplak meja berwarna putih dengan corak bunga samar dihadapanku. Mengambil sendok dan mulai memasukkan gula putih dalam teh tawar pesananku sambil mengingat kata-katanya yang tanpa basa-basi saat aku tiba di sini. Ia tanpa persetujuanku langsung duduk di mejaku sambil membawa cangkir kopinya yang telah separuh habis isinya.
Mungkin ia tahu kelemahanku. Mungkin ia pandai sekali berkata sampai aku bingung dan diam seperti ini. Padahal ia sama sekali tidak aku kenal.
“Sampai kapan kamu menuangkan semua gula itu dalam cangkir milikmu?”
Aku terperanjat.
“Jadi bagaimana?” Desaknya lagi.
Aku menggeleng, “entahlah. Kita kan baru kenal. Aku pikir jika kamu memaksaku menjawab sekarang, itu bukanlah jawaban jujur dariku. Itu hanyalah sebuah keterpaksaan.”
Ia kembali tersenyum. Entahlah… sudah berapa kali ia tersenyum. Aku bahkan sudah tidak bisa menghitungnya. Tapi senyumnya benar-benar menghipnotisku, membuatku ingin melihatnya lagi… dan lagi.
“Tapi kau kan memang terpaksa. Dipaksakan oleh pesonaku.”
“Ah sudah… aku mau pulang. Aku pun tidak kenal dengan kamu..” Aku beranjak pergi. Kepalaku pun terasa sangat berat saat ini.
“Duduk!” perintahnya.
Dengan patuh aku mengikuti semua pintanya.
“Sekarang lihat mataku baik-baik. Seperti perkataanku sebelumnya. Berikan semua milikmu yang ada di dalam tas mahalmu itu dan juga yang kaupakai di atas tubuh cantikmu itu perlahan-lahan. Lalu kumpulkan dalam plastik hitam ini.”
Ia menyerahkan sebuah plastik hitam yang tidak terlalu besar dihadapanku. Kepalaku mulai berkabut dan tidak jelas mengenai apa yang aku lakukan setelahnya. Hal terakhir yang dapat kuingat adalah saat ia mendaratkan ciuman manis pada keningku saat akan pergi.
“Terima kasih banyak, Angel. Seharusnya dari tadi kamu memberikan apa yang ku mau.”
Seharusnya tidak jatuh dalam mantranya. Seharusnya aku tidak terpesona dengan rayuan manisnya.
ditulis @alizarinnn dalam http://myalizarin.wordpress.com
No comments:
Post a Comment