Seperti biasa, sore itu aku membuka lapak kecilku di depan sebuah minimarket yang hanya ramai kalau hari sudah mulai gelap. Tidak besar memang, hanya sebuah etalase berukuran 1,5x0,5 meter yang isinya beberapa jam tangan bobrok, onderdil, dan alat-alat servis seadanya. Ya, aku adalah tukang reparasi jam tangan, profesi yang sudah jarang ditemui lagi saat ini karena pengguna jam tangan pun sudah langka, orang-orang lebih memilih menggunakan handphone-nya sebagai penunjuk waktu.
“Yak, beres. Tinggal nunggu pelanggan ambil barang servisannya aja” kataku sambil menepukkan tangan, membersihkan sisa debu seusai menata kursi untuk pelanggan.
Aku duduk santai, sembari menikmati rokok eceran yang aku beli di warung burjo depan minimarket itu. Belum habis rokokku, datanglah pelanggan yang memang sudah berjanji akan mengambil jam tangan miliknya yang dia antarkan kemarin sore. Kali ini dia mengenakan jilbab berwarna oranye, cerah sekali.
“Hmm, sepertinya gadis ini penikmat senja. Sepertinya.” gumamku dalam hati. Karena aku percaya, orang yang suka warna oranye itu pasti menyukai senja.
“Hai, mas. Nunggu aku ya? Hehehe” sapanya dengan sok akrab.
“Yee, emang kerjaanku cuma nongkrong gini kali, mbak”
“Ya nggak usah galak-galak gitu juga kali, mas. ‘Kan cuma bercanda”
“Aku tuh nunggu, Gas. Aku nunggu” bercandaannya pun mulai aku tanggapi.
“Hahaha… Bisa aja sih masnya ini. Malah sok-sokan akting segala. Itu ‘kan dialog di film Alexandria”
“Iya sih, emang dari tadi aku cuma nunggu mbaknya dateng aja. Sebab menunggu itu adalah kutukan bagi para penjaga waktu, bukan?”
“Ciee… Malah jadi puitis, lagi jatuh cinta ya?”
Aku hanya tersenyum simpul, sambil berkata dalam hati “Dia tidak tahu bahwa aku adalah lelaki penderita jatuh-cinta-pada-pandangan-pertama yang akut”
Pada era sekarang ini, agak sulit memang menemukan orang yang dengan mudahnya akrab ke orang lain yang baru dikenalnya. Apalagi ini adalah seorang wanita, makhluk cantik yang biasanya diciptakan satu paket dengan kesombongan yang mendongkrak dagunya. Ya, aku mulai menyukainya, dia lebih dari spesial, dia istimewa.
Obrolan kami pun berlanjut.
“Emang, penghasilan jadi tukang reparasi jam itu berapa sih, mas? Kok betah-betahnya usaha ginian. Lagian barang servisanmu juga sepi gitu”
“Yaa, lumayan lah” jawabku datar, sambil dalam hatiku menggerutu “Ah, sial. Penilaianku tentang istimewanya dia salah. Dia songong juga ternyata”
“Terus enaknya apa? Nggak nyoba nyari kerjaan lain aja?”
“Hmm… Bisa membaca kenangan”
“Maksudnya?” dengan wajah penuh penasaran dia bertanya.
“Iya, jam tangan ‘kan video recorder dengan kapasitas tak terbatas. Mau tau cara memutar filmnya?”
“Mau… Mau..!” dia pun semakin antusias.
“Oke, ikuti petunjukku. Coba kamu inget-inget, hal yang paling membahagiakan dalam hidupmu, lalu putar jam tanganmu ke tanggal dan jam berlangsungnya kejadian tersebut”
“Aku lupa tanggalnya, kalau jamnya sih sekitar jam sembilan malem”
“Oke, gak apa-apa. Sekarang pejamkan matamu, lalu tempelkan jam tangan itu ke telingamu”
“Sudah”
“Sekarang, dengarkan suara mesin jam tanganmu, detik demi detik putaran jarumnya. Apa yang kamu rasakan?”
“Hemm…” dia hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku.
“Oh, semoga dia tidak tahu bahwa saat ini aku sedang menikmati senyumnya yang damai” kataku dalam hati.
Tidak lama berselang, dia pun membuka matanya. Dan aku pun seolah-olah biasa saja, tanpa perlu mengakui kalau aku sudah merekam senyumnya dengan sembunyi-sembunyi.
“Menyenangkan, ya? Rasanya seperti benar-benar kembali ke masa lalu” katanya sambil mengusap airmata.
“Iya, pasti menyenangkan”
“Tunggu, tapi kenapa kamu sendiri nggak pakai jam tangan?”
“Yaa, aku cuma tidak punya cukup uang untuk membeli jam tangan idamanku saja”
“Ah, kamu pasti bohong. Ayolah cerita” sanggahnya, dengan nada memaksa.
Setelah beberapa kali mencoba mengelak dari pertanyaan itu, akhirnya aku menyerah. Aku terpaksa bercerita tentang alasanku untuk tidak memakai jam tangan.
“Baiklah. Aku emang sengaja nggak pakai jam tangan karena…”
Tiba-tiba handphone-nya berbunyi, menyela pembicaraanku.
“Mungkin salahku melewatkanmu
Hingga kau kini dengan yang lain
Maafkan aku
Kesalahanku melewatkanmu
Tak mencarimu sepenuh hati
Maafkan aku.”
Sheila on 7 - Yang Terlewatkan, entahlah, kenapa dia memilih lagu itu untuk dijadikan ringtone. Mungkin di lagu itu ada sebuah kenangan yang dia simpan, atau hanya karena lagu itu terlalu enak di telinga saja. Ah, aku tidak mau mencari tahu tentang hal itu.
“Tunggu sebentar, cowokku nelpon” Dia berdiri dari kursinya sambil memalingkan badan.
Selang beberapa menit dia kembali duduk dan pamit.
“Duh, maaf ya. Aku harus buru-buru pulang ke kost-ku. Terimakasih ya atas pelajaran yang kamu kasih hari ini”
Sepertinya dia tidak benar-benar ingin mendengar alasanku untuk tidak memakai jam tangan. Obrolan kami pun berakhir tanpa saling bertukar nomor telepon, bahkan siapa namanya pun aku lupa bertanya. Terkadang, kisah cinta memang lebih indah untuk diakhiri sebelum dimulai.
ditulis @ajenxris dalam http://baitbiru.tumblr.com
No comments:
Post a Comment