Sunday, September 2, 2012

Dara, Gagak dan Pheonix

Akulah burung Dara yang selalu menang dalam setiap adu kecepatan terbang. Tuhan sangat mencintaiku, Ia menghadiahkan sayap khusus atas kegigihanku. Sayapku punya tanda merah sepanjang pangkal hingga ujungnya. Itu menandakan bahwa akulah Dara tercepat sejagat hutan Imperium. Ia bahkan memberiku pendamping seekor Dara jelita tercantik. Bulunya akan bersinar ketika Matahari menyentuh kulitnya. Merak pun tertunduk di hadapan istriku. Rasa cintaku padanya berbuahkan 3 butir telur. Untuknya aku sanggup terbang tanpa henti: mencari makan, mengumpulkan daun serta ranting kering untuk sarang kita. Dan tak perlu kau khawatir, apakah aku lelah ? Akulah Dara tercepat yang tak kenal lelah. Tuhan sangat mencintaiku. Ia berikan kemampuan terbang terbaik. Aku bahkan sering mengejek Rajawali yang tak sangup menandingiku. Baginya akulah hidangan impian yang tak akan pernah menjadi kenyataan. Tuhan sangat mencintaiku dengan mempertemukan kita.

Tapi aku teramat sombong, aku lupa sesungguhnya tak ada yang sempurna di dunia ini. Sore itu aku terbang tanpa memperhatikan sayapku yang kelelahan. Sore itu aku terlalu murka dengan egoku. Hanya untuk sebuah pujian darimu. Sore itu aku melampaui batas kemampuanku. Sore itu, "PRRRAAAAAKKKK....", sayapku patah.

Hadiah untukmu, yang seharusnya sampai sore itu, berserakan di padang rumput bersama buluku. Darah berceceran di mana-mana. Rasa sakit yang teramat sangat memaksa kesadaranku ke titik di mana aku merasa setengah mati. Aku tak sadarkan diri. Maaf sayang, aku tak pulang sore itu.

Matahari terbenam di ufuk barat, berganti giliran bulan menjalankan tugasnya menyinari langit. Malam itu, aku telah menghancurkan hatimu. Malam itu, kamu menangis untukku. Malam itu, kamu sadari telurmu adalah wujud dari cinta kita. Malam itu, kita kehilangan 1 telur. Dan kau pun berjanji tak akan menangis lagi, kau tak ingin telurmu hancur kembali.

Tiga hari berlalu sejak aku tak pulang. Sulit bagimu hanya terus berdiam diri menungguku dan hanya menunggu. Tiga hari sudah kamu tak makan, badanmu sedikit mengurus, pandanganmu mulai kabur, kamu terlalu lapar.

Logikamu mengalahkan tekad. Dalam hatimu terjadi perdebat hebat, “apabila aku tak makan maka aku bisa mati. Apabila aku mati dan kekasihku datang melihat tubuhku kaku tak berdaya niscaya ia akan benar benar hancur. Aku tak boleh terus seperti ini”, maka kau putuskan untuk keluar sangkar dan mencari makan.

Kamu mulai terbang melacak jejakku. Angin menuntunmu terbang sampai ke tempat di mana aku tersungkur. Kamu melihat keranjang yang kau kenali itu. Kamu melihat banyak makanan yang berserakan dan matamu akhirnya tertuju ke arah tepat aku terjatuh. Namun di sana tak ada jasadku. Yang kau lihat hanya bulu putih bertanda merah yang berserakan. Kamu tahu persis siapa pemilik bulu-bulu itu. Kamu tahu itu adalah aku.

Seketika lautan membanjiri matamu. Tanpa kau sadari air matamu mengalir lagi, hatimu patah lagi, telur kita hancur lagi. Kamu seakan mendapat jawaban mengapa aku tidak pulang sore itu. Kamu menangis tersedu dan tak sanggup menahan semua, hingga kau tertidur karna kelelahan menangis...

Matahari sorelah yang membangunkan kamu dari tidurmu. Kau mengumpulkan sedikit tenaga yang tersisa untuk meraih makananku. Walau rasanya tak lagi segar namun kau begitu lahap memakannya. Yang kulihat kamu bahagia saat itu. Seketika kamu tersadar, kamu telah menangis lagi. Secepatnya kau bergegas kembali dan benar, telur kita pecah lagi.

1 telur tersisa. Tanpa kekasih, membuatmu tak berpikir panjang malam itu. Kamu kehilangan semangatmu hingga kau merelakan jiwamu pada jalan singkat yang akhirnya kau pilih. Dengan sisa tenaga yang kau punya, kau lepaskan jiwamu dengan rangkaian mantra. Malam itu kau bahkan dapat melihat rohmu keluar dari jasadmu yang tersungkur lemas, lalu kau menjadi sosok cahaya yang melayang layang di udara. Di akhir perpisahan kita, kamu meninggalkan pesan untukku. Apabila kelak kita tak bertemu di surga, aku masih bisa membaca tulisanmu.

Wahai kekasih hatiku, A darimu maka A pula untukku, aku tak menginginkan B apalagi C, maka mengertilah aku yang telah memilih tetap menjadi A bukan B bukan juga C. Satu peninggalanmu hanya satu di hatiku.

Maaf aku memilih ini daripada hidup tanpamu.....


Pesanmu telah tersampaikan. Kau telah merelakan jiwamu untuk melindungi telur terakhir kita. Cahayamu masuk ke dalam telur guna menjadi perisai untuk melindungi cinta kita. Telur kita pun bersinar. Cinta kita menerangi setiap pelosok sudut gelap hutan Imperium. Kamu telah abadi, kau abadi... yaaa kamu telah abadi kini. Tapi aku sesungguhnya belum MATI.....

Sore itu Perkutut betina keturunan Majapahit menolongku dari maut. Ia menyaksikan detik detik aku terjatuh dari singgasananya. Sesegera ia meminta para dayangnya untuk menolongku. Mereka membawa dan merawat lukaku di istananya. Aku bertarung dengan maut seminggu dan aku masih tetap Dara yang tak terkalahkan.

Di hari pertama saat aku membuka mata, aku merasa sakit di hati yang luar biasa, seperti ditusuk-tusuk, dirobek dan menganga. Aku berusaha menenangkan diriku. Seketika itu, aku teringat akan janjiku untukmu. Aku bergegas menuju rumah kita, sebelumnya aku telah berterimakasih pada dia dan berjanji akan kembali lagi.

Butuh sedikit waktu untuk dapat beradaptasi dengan sayapku yang baru sembuh. Sesekali aku tertatih terbang rendah dan akhirnya aku pulang ketika bulan sudah berkuasa merajai langit. Aku memanggilmu, namun tak ada jawaban darimu. Yang kudapati hanya telur yang bersinar dan tulisan kata-kata sakral dari seseorang yang sangat kukenal. Saat itu aku tak percaya ketika membacanya. Langit berubah menjadi mendung, petir menyambarku, hujan menyamarkan tangisku dan aku mengamuk. Aku kalut, pikiranku tak dapat kukendalikan. Aku marah, aku hancur...

Aku marah pada diriku sendiri, aku marah karena akulah yang telah membunuhmu. Aku pingsan terbujur kaku, aku tertidur, lelah, sakit, aku lupa aku tertidur dipeluk hujan....

Kali ini giliran matahari pagi yang mengerjakan tugasnya. Ia menampar mukaku dengan tangan halusnya. Akupun terbangun dan masih saja kupandangi tulisanmu serta telur kita.

“baiklah kekasihku, kau telah mengabadikan hidupmu maka aku akan menempatkan kamu di pohon tertinggi sehingga kamu dapat menerangi seluruh sudut Imperium bersama matahari.”

Aku terbang menuju pohon tertinggi di Imperium, kubuatkan lubang di dahan pohon terbesar dan meletakan cinta kita. Dan jadilah kau sinar yang tak pernah redup yang menerangi seluruh sudut gelap Imperium. Matahari dan Bulan adalah temanmu kini.

“Kamu memang hebat kekasihku, kini kamu abadi, aku berjanji akan melanjutkan hidupku seiring cahayamu. Maafkan aku sayang. Aku cinta kamu dan aku akan terus hidup untukmu.”

*****

Setahun telah berlalu sejak hari itu. Aku menepati janjiku padamu hinga detik ini untuk terus hidup. Aku juga menepati janji kepada dia, perkutut majapahitku yang telah menyelamatkan hidupku. Dalam hatiku engkau tetap ada. Sesekali aku datang kembali untuk memeluk dan mencium melepas rindu, walau kini aku telah menjalin hubungan kasih dengan dia.

Aku hidup bebas di istana ini, sampai ketika Sang raja mengetahui hubungan aku dengan putrinya, ia murka. Tak seharusnya perkutut menjalin hubungan kekasih dengan merpati walau mereka sama-sama putih. Aku ingat jelas perkataannya, “Wahai putriku silahkan kau pilih. Tinggalkanlah merpatimu atau aku akan membunuhnya. Mengertilah kalian sedang menentang takdir, Tuhan akan murka padaku. Aku harus bertindak demi rakyatku, aku harus menyelamatkanmu dari angkara murka-Nya. Dan perlu kau ketahui, aku telah memilihkan pangeran yang sewujud sepertimu. Ia adalah perkutut jantan keturunan majapahit sama sepertimu, ia gagah, pemberani dan tak kalah hebat dari merpatimu. Pertimbangkanlah”.

Cintanya padaku tak sebanding dengan cintamu. Cintanya dangkal dan tak perlu kuceritakan padamu bagaimana dengan mudahnya ia menyerah. Dalam hatinya terjadi pertempuran tak seimbang yang dimenangkan oleh logikanya. Ya dalam pikiranya, sang pangeran memang sempurna. Ia merebut sedikit hatinya karena mereka satu jenis yang dapat mengirim serta menerima sinyal. Hal inilah yang ia tak dapatkan dariku, ia juga tahu aku tak memberikan sepenuh hatiku untuknya, sedangkan sang pangeran sangat tulus dan yang terpenting yang ia tahu bahwa perkutut tidaklah bertakdir dengan merpati. Sang pangeranlah takdirnya.

Tekadnya terbulatkan tanpa perlawanan, ia memilih Sang pangeran dan mengabaikan cintanya padaku.

Di hari perpisahan itu aku sangat merekam kata-kata yang keluar dari mulut indahnya, “yaa aku memilih dia. Lagipula aku tak ingin kau mati karena aku. Mengertilah.”

Saat itu kulihat kepedihan melekat di wajahnya, tapi aku tak harus peduli. Cinta kita berakhir.

Di hari itu aku merasakan sedikit sesak, tapi tak sehebat seperti dulu. Saat kau merobek dan menusuk nusuk hatiku, saat kau mencoba sekuat hati keluar dari cinta kita. Bagiku rasa sakit ini hanya seperti sayatan kecil, sakit yang hanya akan sembuh sendirinya seiring waktu, tidak menganga, tidak berbekas. Hanya kenangan sesaat.

Di hari perpisahan itu kubisikan kata-katamu untuknya seiring kecupan dikeningnya yang mengisyaratkan bahwa kita telah resmi selesai.

“A darimu A pula untukku, aku tak akan memaksamu untuk menjadi B apalagi C. Tetaplah pada dirimu, akupun akan tetap pada diriku, tak akan menjadi B apalagi C. Kita berakhir disini A untuk selamanya”.

Dan aku terbang meninggalkanya. Air matanya tak merubah apapun, air matanya tak bisa menyelamatkanya. Ia kehilangan separuh hatinya bersamaku yang kubawa terbang bersama malam dan kenangan yang akan terlupakan.

Malam itu aku sedikit menggila. Aku menangisi diriku sendiri. Begitu menyedihkan diriku, aku hancur, aku terbang sangat cepat, terlalu cepat, semakin cepat dan luka lama terkelupas lagi. Keseimbanganku goyah, aku terhampas. Aku terjatuh lagi. Ya, kali ini tidak begitu parah namun cukup membuatku tak bisa terbang untuk sejenak, lalu aku menyerah pada tubuhku untuk tertidur di atas rumput. Aku tidur di atas rumput malam itu, kelelahan, marah, dan lupa lalu tertidur.

Malam itu udara dingin menusuk tulangku dan suara gagak hitamlah yang membangunkanku. Sang gagak tahu apa yang terjadi padaku, ia adalah perwujudan dari kegelapan setiap hati yang tak lagi jernih.

“Hei kau merpati tercepat yang dicampakan kekasihmu, aku tahu karena aku adalah gagak yang dapat membaca hati. Aku iba membaca ceritamu, maka aku akan menolongmu tapi ada syaratnya. Aku akan memberikanmu kekuatan baru dan kau dapat berubah menjadi burung apapun yang kamu mau, jadi kalian dapat bersama. Kalau kau jatuh cinta pada burung camar maka kau akan menjadi burung camar, begitu pula bangau, elang dan apapun burungnya. Namun hanya sebatas wujud tampa keahlian mereka dan kau pun akan kehilangan kecepatanmu. Yang tetap kau miliki hanyalah sayapmu, tidak mata elang, tidak insting bangau dan camar. Hanya wujud dan sayap untuk terbang, bagaimana ?”

Saat itu aku sudah terlalu terjerumus dalam kesedihan ini. Aku menerima tawarannya. “Baiklah akan kulakukan, toh sejatinya aku hanyalah merpati. Aku tetap makan makanan yang bisa aku makan dan tidak berusaha menjadi elang, bangau, ataupun camar”.

Lalu dia tersenyum sejenak dan hanya butuh waktu hitungan detik tubuhku telah berubah menjadi gagak hitam yang dapat berubah wujud menjadi apa saja. Ya, aku dapat menjadi apapun yang kuinginkan. Tapi hanya sebatas wujud tanpa kekuatan mereka. Sejatinya, aku hanyalah merpati dan kini aku hanyalah merpati biasa yang berwujud lain tampa kekuatan apapun.

****

Dua tahun sudah sejak kau berubah menjadi telur dan kini aku dapat menjadi apa saja. Dua tahun, banyak kisah yang kujalani. Jatuh cinta pada perkutut, parkit, elang, bangau, dan burung burung indah lainnya, karena aku dapat menjadi seperti mereka.

Awalnya mereka senang dan bahagia namun lambat laun mereka akan sadari dan mulai bosan karena aku tak memiliki apa yang mereka miliki yaitu hati yang sama. Karena hatiku hanya kuberi setengah dan setengah lagi hanya untukmu. Ya, untuk cinta kita yang abadi.

Selamanya kisahku tak akan abadi. Cinta murahan yang jadi mainan, mampu bertahan beberapa musim saja. Tapi aku tak akan pernah meninggalkan mereka. Tak pernah dengan sengaja mempermainkan permainan yang menyakitkan ini. Selalu saja takdir yang memaksa mereka mengatakan itu, karena aku punya banyak sisa hati yang luas untuk menampung rasa bosan itu dan selalu kuyakini:

"A yang kamu pilih adalah A bagiku, aku tak akan memaksamu menjadi B dan aku tak ingin kau menjadi B apalagi C.

Aku selalu pergi dengan membawa setengah hati mereka, aku pergi dari satu hutan ke hutan yang lain. Tak pernah sedikitpun menoleh. Aku terus coba temukan yang lain tanpa pernah mencoba untuk kembali dan mengharapkan B. Satu hal saja yang kuinginkan, kau kembali ke wujud aslimu, aku kembali lagi dan semua kembali.

Tapi A tetaplah A, maka jalani saja. Lupakan kesalahan di masa lalumu lalu bangkit. Itulah kata kata perpisahan pelengkap duka bagi mereka para pemilik hati ragu. Air mata takkan mampu menghentikan langkahku, aku terbang, akulah gagak yang hilang ditelan gelap malam.

****

Di tahun ke tiga, sesekali aku tetap mengunjungimu. Tahun ke tiga adalah tahun terhebat bagiku. Aku jatuh cinta pada burung Pheonix.

Pheonix adalah burung abadi, mereka takan mati meskipun waktu menggerogoti tubuhnya. Di akhir hidupnya ia akan meneteskan air mata abadi. Ketika tetesan air mata itu menyentuh tanah, maka keluarlah Pheonix muda titisan mereka dan jasadnya menjadi cahaya gugusan bintang.

Aku tahu meskipun dapat menjadi Pheonix, tapi Aku takkan abadi. Kali ini aku ingin abadi. Aku ingin terus bersamanya. Tahun ini hatiku terasa lengkap. Aku temukan pengganti dirimu, indah sepertimu, cantik, berhati baik, dan ia abadi sepertimu.

Kebimbanganku membawa aku ke tempatmu, aku tak berdaya, apa yang harus aku lakukan. Aku takut ini kan berulang lagi.

Tiga tahun kau bersinar, hanya bersinar dan setelah selama ini, kini kau mulai mengeluarkan suara yang membuat jantungku berhenti sejenak. Terpaku kaku, binggung, bahagia dan senang setengah mati. Rinduku terbalas, aku kembali menjadi merpati putih bertanda merah. Terjadi ledakan dari sinar telurmu. Kau melepaskan mantra gagak. Kau berubah menjadi merpati betina yang bersinar lagi.

Aku masih dalam posisi tak percaya dan terduduk kaku, lalu kau berbisik, “Aku ikhlaskan kamu sayang. Aku akan menjadi bintang yang akan terus menyinarimu. Kamu sudah buktikan janjimu dan aku telah menjaga cinta kita. Kini biarlah aku tetap menjadi sinarmu dan ketahuilah sayang, kamu tak harus menjadi seperti aku, berikanlah kesempatan kepada mereka. Aku bahagia sungguh”.

Tuhan masih mencintaiku dengan mengijinkan kita bertemu lagi. Kemudian sosokmu mulai memudar, seiring telur kita yang bersinar itu kini retak perlahan dan kemudian pecah. Di dalamnya terdapat jubah yang bersinar, seperti yang telah kau katakan, “kenakanlah jubah itu dan mulailah hidupmu yang baru, aku bahagia sungguh”.

Aku bahagia. Hatiku kini telah sempurna. Kukenakan jubah itu dan seketika aku berubah menjadi Pheonix sejati.

”baiklah, aku akan memberikan kesempatan seperti air mataku yang akan memberikan aku kesempatan hidup kembali dan menjadi abadi."

Aku datang untukmu, wahai cintaku. Dan pesan ini akan sampai padamu, entah dengan cara apa yang ia akan lewati....


Cerita selanjutnya silahkan kamu lanjutkan seindah yang kamu mau atau berakhir seperti yang kamu mau....


ditulis @baskorodien dalam horohorooroi.posterous.com

No comments:

Post a Comment