Tuesday, September 18, 2012

Detak yang Sama


Semesta seakan berhenti bergerak. Waktu mendadak tak berdetak.

Hening. Sunyi. Beku.

Tetiba hingar bingar kesunyian menyapu di awang-awang. Aku meyakinkan sekali lagi, membaca kembali huruf demi huruf dalam inbox Nokia N73.

Suno.

“Aku punya rasa yang begitu hebat ketika kamu kusadari ada di dekatku. Sungguh bukan  perasaan yang tak kumengerti adanya. Tetapi sepertinya aku membaca ini pertanda, aku suka sama kamu”

Sialan. Aku tersipu hingga harus senyum-senyum sendiri. Pandai sekali caramu membentuk lengkung di wajahku.

Tak segera kubalas pesan itu, angin masih merogoh-rogoh isi kepalaku. Membuat aku kaku, membodoh. Aku banyak di tinju tanda tanya. Hingga hatiku sendiri lelah menjawab. Masalahnya, kita berteman sejak SMP sampai sekarang kita menginjak tahun kedua di SMA yang sama. Dan jelas aku tahu, sahabatku menyukaimu. Halah, cinta berlindung pada kerumitan.

***

“Ganteng sekali pacar aku”, aku memujimu yang saat itu mengajakku mengikuti ritual malam minggu seperti kebanyakan orang. Aku seperti melihat ada rembulan yang mengapung dimatamu. Ah, Suno. Lagi-lagi aku menggilaimu. Kau pemicu nadi, didekatmu detaknya takkan berhenti berbunyi. Seketika desir-desir aneh mulai merambati hati. Sesuatu yang tak ku pahami selain sebuah keinginan besar untuk selalu dekat dengannya. Menikmati segala keindahannya. Lalu menjadi bagian dari segala kebahagiaan, juga kesedihannya. Lelaki ini telah berhasil merebut simpati dan perhatianku. Sebahagia inikah?

Hari-hari setelah itu menjadi hari yang membuatku sebagai perasa yang luar biasa. Aku merasa sakit ketika ada kesalahpahaman dan ketakutan untuk berpisah. Aku merasa senang meski kau hanya melemparku satu senyum saja. Rasaku ini hebat untukmu, Suno.

If I can’t help falling in love with you. Like a river flows. To the sea. So it goes. Some things are meant to be.

***

Ini bulan terakhir kita berada pada kota yang sama. Ujian Nasional sudah selesai sejak tiga hari lalu.

“Dadaku sesak. Bagaimana bisa aku berjauhan denganmu?”

Sesuatu yang terselip dijari, kala kau menggenggam tanganku. Aku membaca gusarmu. Sesekali aku menciptakan harmoni tawa untuk sebuah hal-hal yang tak lucu.

“Aku benar-benar mencintaimu. Ini bukan kebohongan”

“Kamu tahu seberapa besar aku mencintaimu? Sesulit aku melepasmu pada kejauhan. Bagaimana tidak, di saat aku berpikir aku ini tidak waras, hanya kamu yang merasa itu wajar. Kamu jawaban yang aku pilih berkali-kali. Hingga tak ada lagi hari.”

Suno memelukku, epidermis kulitku, sekujurnya, menghantar hangat pada darahku.

“Mungkin kita akan mengerti masa depan, jika nanti kamu sudah melengkapiku, ketika kamu kembali” ucapku.

***

Tiga bulan sudah kami berpisah dengan jarak yang cukup jauh. Ritme pertengkaran semakin sering terjadi. Biasanya seminggu adalah tempo waktu pertengkaran kita yang paling lama. Kali ini mencapai dua minggu. Komunikasi tak pernah lagi dikarenakan gengsi yang menyembul. Selama pertengkaran ini, hatiku benar-benar diserang tanda tanya.

1 pesan diterima..

Suno.

“Maaf, aku salah. Tetapi sudah aku pikirkan, sebaiknya kita berhenti saja dengan hubungan yang menurutku sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Maaf, aku tak setegar kamu. Aku selalu kalah pada jarak. Aku selalu menuntut waktu. Tak pernah ada yang menjawab rinduku.”

Aku memaki cinta pada saat itu. Cinta yang pernah membuatku bahagia ternyata membunuhku sekarang. Aku ingin memutar detik, saat kutangkap senyummu dulu. Tapi kini detik mengikis mimpiku. Aku tertidur.

***

Setiap setengah tahun, aku selalu kembali ke kotaku, demikian Suno. Pertemuan kami dikota itu selalu bisa menghadirkan mesra yang luar biasa. Detak yang sama kuatnya seperti dulu. Memang, cinta pertama adalah sebuah kepastian, bahwa kau pernah merasakan cinta, dimana detak pertama kali, dimana sayap selalu terbang menujunya.


*) Diinspirasi dari lagu Can’t Help Falling In Love - A-Teens

Ditulis @omaaaaaaa dalam http://omaafranita.tumblr.com

No comments:

Post a Comment