Aku bergegas menaiki tangga rumah sakit dengan terburu-buru. sebaris pesan yang tadi siang kubaca seketika melambungkan harapanku. Dina, akhirnya kau sadar. Lorong demi lorong kulewati, sampai berhenti disebuah ruangan yang kulihat beberapa orang sedang berkumpul disana. saat aku membuka pintu, mereka serentak berpaling padaku kemudian memberikanku jalan untuk melihat keadaannya yang kabarnya sudah siuman
“Hai jagoan…” ucapnya
***
3 tahun yang lalu
Jika sekarang ini, adalah musim hujan, maka ini adalah musim hujan terkering sepertinya. aku mengutuki diriku sendiri yang telah bodoh secara sukarela mengajukan diri untuk mengantarkan kartu undangan pernikahan kakakku. Pada akhirnya beginilah jadinya, panas terik seperti ini aku malah sedang berbanjir peluh mengayuh sepeda fixie ku keliling kota mengantarkan surat undangan. Angin meman lumayan berhembus kencang. memang cukup membantu menyejukan andai ia juga tak menerbangkan debu-debu jalanan yang nyaris membuat mata perih dan muka kusam. Kulirik tas selendangku, tinggal satu undangan tersisa. syukurlah aku membatin senang. Sesuai petunjuk alamat yang tertera di undangan, sampailah aku pada sebuah rumah sederhana bercat hijau. Begitu rapi dan bersih keliatannya. jejeran pot bunga dan tanaman hias berpadu dalam pekarangan rumah yang tak terlalu luas. Menarik melihat bagaimana sang empunya rumah menata pepohonan yang secara nilai biasa saja tapi karena cara penempatannya ia menjadi terlihat cantik dan istimewa. Sejenak mataku teralihkan dengan beberapa pot Bonsai yang diletakkan persis didepan teras rumah. seketika itu pula aku teringat kamera digital yang selalu kubawa. Alhasil kini aku malah keasyikan memotret tanaman-tanaman bonsai nan lucu itu. Kegiatan memotretku berhenti saat kudengar pintu rumah itu dibuka
“Cari siapa ya mas?” lembut suara seorang perempuan menyapaku. aku menoleh kearah sumber suara. Seorang perempuan yang kutaksir umurnya tak jauh beda denganku sedang berdiri dihadapanku dan memandangku dengan tatapan penuh tanya.
“Mmmmh.. ini benar rumahnya Kak Dinda?” aku bertanya padanya
“Benar, ada apa ya?”
“Ini, saya mau nganterin undangan buat kak dinda. bilang aja dari Mbak Rani gitu ya”. Segera kuserahkan kartu undangan padanya.
“Oh gitu, baiklah. oiya mas duduk dulu. mau minum apa?” perempuan itu bertanya. pucuk dicinta ulam pun tiba, sedari tadi aku memang haus sekali. dan ingin istirahat sebentar. dan Sekarang seorang perempuan cantik menawariku untuk minum. sempurna.
“apa aja boleh, kalo ada sih orange jus. hehehe”.
Perempuan itu mengangguk dan mempersilahkanku duduk, kemudian pamit sebentar kedalam rumah. Sekitar lima menit aku menunggu, dia kembali dengan satu gelas besar orange jus dingin. dan senampan pisang goreng. wah, bonus nih ada pisang gorengnya. ada modus nih buat berlama-lama disini.
“oh Iya, kita belum kenalan. aku Dina. adiknya Kak Dinda” ia mengulurkan tangannya
“Wah nama kita mirip ya, aku Dika”. jawabku riang.
***
Lamunanku buyar saat seseorang mengetuk kamar tempat Dina dirawat. seorang dokter masuk dan menanyakan keadaan Dina. sekitar sepuluh menit aku dan dokter itu berbincang tentang kondisi Dina yang katanya semakin membaik. aku lega mendengarnya. Dokter itupun kemudian pamit. segera aku masuk kembali melihat keadaan Dina. Ia masih tertidur pulas. Pelan kudekatkan kursi tempatku duduk mendekati tempat Dina berbaring. Kuusap keningnya. baru saja seminggu dirawat, kamu jadi terlihat kurus. aku berbisik dalam hati.
Din, kesampaian juga janjiku sama kamu. Janji yang nggak pernah aku ucapin secara langsung yang cuma aku ikrarkan dalam hati. Janji untuk selalu ada saat yang lain tiada. Aku menghirup nafas dalam-dalam. betapa aku mencintai perempuan ini lebih dari apapun. betapa aku rela berkorban untuknya dan rela mengada-mengada apapun yang diinginkannya. Ia bintangku. Tak terbayangkan jika harus kehilangannya dalam waktu yang lama.
“Hai jagoan, belum tidur”. tiba-tiba Dina mengelus tanganku. Aku tersenyum melihatnya siuman.
“Belum, kalo aku tidur siapa dong yang jagain kamu”. kubelai rambutnya pelan. Ia tersenyum “Terserah kamu lah”.
“Udah berapa lama aku pingsan?” Dina kembali bertanya padaku
“cukup lama untuk membuatku berdoa lebih lama dari biasanya”.
“Jangan gombal dika. aku nanya serius”. Dina cemberut
“Lho aku juga serius kok. sejak kapan aku nggak serius sama kamu?” kutopang daguku sambil memamerkan wajah innocent-ku.
“Ih dika, nyebelin ah”. ia merenggut manja.
“Tujuh hari Din. Tujuh hari yang menurutku minggu terlama yang aku rasa sepanjang umurku”.
“Kamu khawatir banget ya?”
“banget Din”
“Kamu takut kehilangan aku?”
“sangat”. bisikku
“Kalo takut kehilangan, jagain dong yang bener”. Dina menggodaku
“Percuma aku jagain juga, kalo yang dijagaiannya pengen pergi”.
“Dih, kapan aku pengen pergi dari kamu. kamu nya aja yang ga peka. tau nggak Dik. aku lari cuma buat ngerasain gimana enaknya dikejar. itu aja kok. hehehe”
“Tapi kamu gak tau kan yang ngejar gimana pontang-pantingnya nahan diri buat ga nyerah gitu aja”.
“Tau kok”. Dina melembutkan nada suaranya.
“Tau darimana?” kudekatkan wajahku ke wajahnya.
“Dari sini…” Dina menyentuh dadaku dengan telunjuknya. “Apa yang sudah kamu lakukan memperlihatkan lebih banyak perasaan kamu daripada apa yang selama ini lidah kamu ucapkan. dan aku berterima kasih untuk itu”. lanjutnya. Seketika malam ini terasa indah. betapa cinta yang bersambut adalah anugerah. Dina, kau adalah satu-satunya definisi cinta bagiku. karena aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini pada perempuan selain kamu.
***
9 bulan kemudian
Sepasang manusia duduk diatas tikar pandan dipinggir sebuah danau. Tangan mereka saling bergenggaman seakan tak ingin saling melepaskan. Mereka sedang bercerita tentang sepasang angsa yang sedang berenang ditengah danau. berandai-andai tentang anak mereka yang sebentar lagi lahir kedunia. berdebat soal nama apakah ia perlu membawa nama bapaknya atau ibunya. Saling menghimpun doa semoga jika ia lahir nanti menjadi sesuatu yang dapat melengkapi kebahagiaan keduanya.
“Kamu cantik hari ini”. lelaki itu berkata pada pasangannya.
“Jika aku tak cantik, mana mau kamu menikahi aku”. perempuan itu menimpali. ”kamu tahu nggak, kenapa aku milih kamu?” lanjut perempuan itu.
“nggak, kenapa emang?” lelaki itu bertanya penasaran.
“Karena kamu orang yang pertama sadar kalau aku istimewa jauh sebelum lelaki lain menyadarinya” perempuan itu berbisik pelan seakan tak ingin perkataannya didengar orang.
“Idih…. sebaliknya kamu tahu kenapa aku milih kamu?” Lelaki itu balik bertanya.
“Karena aku cantik?” jawab perempuan itu cepat
“bukan, karena nama kita cocok kalau di cetak dikartu undangan pernikahan. Dina & Dika. cocok kan?”
“Udah cuma itu aja?” perempuan itu cemberut mendengar jawaban lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum. kemudian berbisik pelan “Iya, alasanku sesederhana itu saat memilihmu. karena untuk mencintai perempuan sepertimu tak diperlukan banyak pertimbangan. karena setiap kali aku mencari alasan. kamu adalah jawaban yang tak terbantahkan”.
*) Diinspirasi dari lagu Entah -Iwan Fals
Ditulis @kacang_almond dalam http://kacangalmond.tumblr.com
No comments:
Post a Comment