Tuesday, September 25, 2012

Dia Dulu..


Namanya Rina, nama lengkapnya Khairina. Sahabatku sejak duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Orangnya manis, suka membaca, jangan tanya, sudah pasti dia memakai kacamata. Kami sering pergi ke toko buku merencanakan buku apa yang nanti akan dibeli setelah uang saku bulanan diterima. Bukan siswa yang cemerlang, maksudku dia tidak terlalu menonjol, biasa saja walaupun selalu masuk lima besar. Kami berdua selalu masuk lima besar. Tapi itu dulu, tiga tahun yang lalu. Sekarang kami beda sekolah, tapi masih sering main bersama. Walau tidak sesering dulu waktu masih di SMP. Dia juga bukan lagi Rina yang ku kenal. Bahkan sekarang namanya bukan lagi Rina, sekarang namanya Airin begitu teman-teman SMA-nya memanggilnya. Dia tidak lagi memakai lagi kacamata, sekarang dia lebih sering memakai kontak lensa mata beragam warna, sakit mataku dibuatnya. Dia masih suka membaca tapi sekarang lebih suka menghabiskan uang bulanannya dengan pergi ke bioskop dan nongkrong di kafe-kafe. Prestasinya? Sepuluh besar saja tidak ada. Sebenarnya wajar ‘kan anak muda. Tapi tidak lagi bisa ku tolerir kelakuannya yang suka berhutang disana-sini untuk foya-foya. Denganku? Tak terhitung banyaknya. Dan bodohnya masih aku mau meminjamkan. Kalau pulang larut, dia menginap dirumahku. Tentu saja dengan izin lebih awal kepada orang tuanya bahwa dia pergi menginap kerumahku.

***

Orang tua Rina—maksudku Airin kenal baik denganku. Aku sering menjemputnya dulu kalau kami mau pergi keluar. Orang tuanya berkecukupan, maksudku pendapatannya cukup untuk makan, cukup untuk bayar sekolah, cukup untuk uang jajan Rina—oh Airin, cukup ini dan itu kalau berlebihpun tak banyak. Iya, dia anak tunggal, tetapi bukan anak manja. Dia mengerti bagaimana kondisi keuangan orang tuanya(sampai dia menginjak bangku SMA). Aku juga tidak mengerti kenapa dia berubah sejak masuk SMA. Aku juga kurang mengenal kawan-kawan SMA-nya. Yang aku tau mereka anak orang banyak duit. Dan eksis adalah pekerjaan utama mereka—yeah.

***

“Aku udah gak punya duit berlebih lagi buat minjemin kamu. Hari ini harus ada yang dibayar dieksul.”

“Masa lima puluh ribu aja kamu gak ada?”

“Buat apa lagi emang? Nongkrong? Nonton?”

“Aku mau rebonding.”

“Hah?! Ngapain?! Hih!”

“Ayo dong, pinjemin akuu.. Aku punya lima puluh ribu nih sisa nambahin lima puluh ribu lagi. Masa nggak punya.” Rina merengek.

“Udah dbilang gak ada! Kok maksa! Lagian yang kemaren-kemaren juga gak ada dibayar. Rin, kalo gak penting mending gak usah, deh. Buang-buang duit aja. Mending bantu mama kamu dirumah jualan.”

“Kok kamu jadi nasihatin aku, sih?! Denger, ya. Ini tuh penting, makanya gaul! Punya temen kayak aku tuh mestinya bersyukur.” Rina mulai membentak. Hih. Sudak kecuci mungkin otak anak ini.

“Ngapain punya temen hobi foya-foya terus modal hutang bangga.” Balasku dengan muka datar.

“Heh! Gak usah ngerendahin gitu! Gak mau minjemin, ya udah. Ribet!” yang ribet dia, deh, kayaknya. Rina mengambil tasnya diranjangku. Menuju pintu, hendak pulang. “Besok hutang-hutangku ke kamu aku lunasin!” katanya lalu membanting pintu.

Aku geleng-geleng kepala. Untung aku sedang sendirian dirumah. Aku tidak akan sanggup bercerita pada orang tunya bagaimana anak mereka yang sekarang. Dan aku tidak tahu malam ini dia akan tidur dimana.

***



*) Diinspirasi dari lagu WHo You Are - Jessi J

Ditulis oleh @yulysafar dalam http://pecandurindu.wordpress.com

No comments:

Post a Comment