Tuesday, September 25, 2012

Saranghae, Tsukiatte Kudasai (Vol. 4)


“Sang mentari masih bersinar temarang. Aku meniti pada penghujung musim panas ini. Berdiri di tepi jurang mengamati negeri di seberang. Ku dengar mereka akan segera datang. Aku cemas. Apakah aku cemas? Ah, apakah kecemasanku berarti. Aku bukan lagi seorang putri raja, aku juga bukan putri bangsawan. Aku hanya gisaeng yang mengibur warga desa. Aku hanya gisaeng yang menghibur bangsawan kota. Apa yang aku cemaskan ketika mereka datang?

Hari ini aku menari lagi. Aku menghibur warga desa yang cemas. Aku tersenyum dan masih tersenyum hingga mereka juga tersenyum melupakan kecemasannya. Lalu mengapa aku masih mengingat kecemasanku yang tak beralasan. Joseon pada waktu ini, kabar kedatangan pasukan perang dari negeri seberang.

Dan hari berikutnya aku tidak menari lagi. Aku bersembunyi dalam kereta tandu yang berlari membawaku ke desa sebelah yang tidak jauh dari desaku. Aku meninggalkan kecemasan tak beralasanku di desa yang tengah panik akan pasukan perang dari kerajaan. Mereka akan menahan langkah pasukan perang negeri seberang di desaku. Kecemasanku tak beralasan. Harusnya aku tahu.

Aku melihat awan mendung menggantung di langit desaku. Aku tanpa daya meninggalkan semua yang aku miliki di sana. Kemudian asap hitam mulai membumbung tinggi. Kereta tandu pun segera berangkat lagi menuju desa lain yang akan melindungiku. Aku berlari dalam kecemasan yang tak beralasan. Inilah cemasku.

Aku cemas ketika aku tidak dapat menari lagi. Apa fungsinya kedua kaki indah ini? Aku selalu merawatnya untuk kugunakan suatu saat. Ketika aku menari, kedua kaki ini begitu indah menyibak bagian bawah bajuku. Menyibak kemilauan pijakan kakiku. Aku seperti seorang putri dengan kedua kaki cantikku. Aku cemas, jika aku bukan putri lagi. Meski sebenarnya aku memang bukan seorang putri ketika tidak menari.

Perang sudah dimulai, dan aku memiliki kecemasanku sekarang.

Siapa yang tidak cemas ketika negeranya direbut penjajah? Siapa yang cemas ketika desanya dibakar? Siapa yang tidak cemas ketika kehilangan pekerjaannya? Aku cemas. Aku hanya gisaeng biasa. Aku kini tidak berpenghasilan. Kini aku tak memiliki laki-laki yang akan melindungi dan memberi makanku. Aku hampir jadi gelandangan ketika orang-orang yang membawa kereta tanduku berjatuhan di malam itu. Desa tempatku singgah pun telah diserang.

Kini aku berlari, aku berlari, dan aku berlari seorang diri dari hari ke hari. Hingga kutemukan sebuah gubuk di desa tak jauh dari desa sebelumnya. Seorang tabib tinggal di sana bersama cucunya. Jang Eun Jo, nama pria kecil pemberani itu. Eun Jo merawat luka-luka yang kudapatkan ketika berlari menyusuri hutan tanpa alas kaki. Wajahku yang tidak karuan itu kini ia usap dengan air yang menyembuhkan hingga bibirku tersenyum kembali.

Esoknya aku masih di desa ini bersama Eun Jo dan kakeknya. Angin membawa kabar pada burung yang bermigrasi bahwa pasukan perang negeri seberang berhasil ditahan di desa yang aku tinggalkan sebelumnya. Eun Jo dan kakeknya patut bersyukur desa mereka tidak mengalami kehancuran akibat perang. Huh, aku merindukan desaku yang bahagia. Desa tempatku menari menghibur warganya. Juga merindukan baju sutra yang indah, yang selalu kugunakan setiap hari.

“Ibu pernah meninggalkan ini ketika ia pulang”, wajah Eun Jo bersemu merah di balik bungkusan yang ia tunjukan padaku. “Kakak seperti ibuku, kakak juga gisaeng kan?”

Aku menitikan air mata. Aku rindu menjadi gisaeng. Hari ini aku kenakan hanbok sutra milik ibu Eun Jo dan berdiri di tengah pasar. Aku memainkan Haegeum sepanjang jalan matahari terbenam. Kedua senarnya menusuk hati yang perih, menidurkan ketakutan, dan mengabarkan kesedihan hatiku. Untuk pertama kalinya Eun Jo terkagum-kagum pada gisaeng. Ia hanya tahu bahwa gisaeng, seperti ibunya, hanyalah penghibur bangsawan yang berstatus rendah.

Dengan langkahan kaki kecil Eun Jo, kami pulang ke gubuk dengan beberapa kantung beras hasil memainkan musik di tengah pasar. Beras adalah upah berwujud, aku cukup puas dengan pujian orang-orang yang melihatku memainkan Haegeum. Melintasi malam bersama Eun Jo tidak akan menjadi hal yang menakutkan jika saja tidak ada yang bergerak di semak-semak itu. Eun Jo dengan ranting di tangannya memberanikan diri mendekati asal suara berbisik di semak-semak itu.”

***

Im Soo-Yeon, 17 tahun, gisaeng.

Jari-jemari Soo-Yeon memainkan kain basah itu perlahan menyusuri tubuh laki-laki yang masih terbaring dengan luka-luka menghiasi otot-otot yang tersembul hasil dari latihan sebagai prajurit perang garda depan. Laki-laki itu dengan segera menangkap pergelangan tangan Soo-Yeon dengan kasar dalam cengkraman. Nampak ia tidak suka tubuhnya digerayangi dengan kain basah.

“Jangan sentuh tubuhku, aku baik-baik saja.” Ucapnya angkuh dengan tubuh yang jelas-jelas terluka parah seperti itu.

“Eun Jo, paman ini berkata bahwa ia baik-baik saja. Sebaiknya kita harus mengusir paman ini sekarang!” Soo-Yeon mengucapkan dengan lantang kepada Eun Jo dan kakeknya yang sedang meracik obat.

“Kamu bisa berbahasa Jepang?” Laki-laki itu sadar bahwa ia baru saja mengucapkan kekesalannya dalam Bahasa Jepang.

“Kamu yang tidak sopan! Aku hanya ingin membersihkan tubuhmu, kemudian kamu memaki dengan bahasamu. Kamu pikir orang Joseon tidak ada yang mengerti?” Soo-Yeon balas memarahinya. “Sebenarnya siapa kamu?”

Laki-laki itu memejamkan mata. Ah, ia ingin melupakan perang yang baru saja membuatnya kalah. Harusnya ia mati saja saat ini. Begitu memalukan bagi seorang laki-laki pasukan perang yang mengalami kekalahan, ditambah dengan diselamatkan oleh penduduk yang mereka jajah. Memalukan! Pecundang!

“Kamu seorang pecundang hanya jika kamu membunuh dirimu tanpa alasan yang masuk akal seperti itu. Bunuh diri karena kalah perang? Hahaha. Lucu.” Soo-Yeon mengajaknya berbicara setelah mengagalkan laki-laki itu menusukan pisau ke perutnya sendiri.

“Lepaskan aku. Aku tidak pantas hidup. Aku pasukan perang yang gagal!” Laki-laki itu sangat marah terhadap tubuhnya yang tidak bisa melakukan apapun dalam keadaan terluka seperti ini, bahkan di bawah tubuh seorang perempuan yang menindih kedua tangan dan kakinya agar berhenti mengamuk.

“Kamu belum pulih benar. Kamu harus istirahat beberapa hari lagi. Jangan melakukan hal-hal bodoh. Kamu masih belum harus mati sekarang.” Soo-Yeon membentaknya. Ia sangat marah.

“Aku tidak punya harga diri lagi untuk hidup, aku kalah perang.”

“Pecundang!!! Ya, kamu sudah mati! Kamu sudah mati!!! Dan Eun Jo yang menghidupkanmu lagi. Eun Jo yang menghidupkanmu lagi!!! Dengar! Kalau kamu ingin mati, matilah karena Eun Jo, karena orang yang menyelamatkanmu.” Kali ini Soo-Yeon putus asa menahan amarahnya tentang orang bodoh yang ingin bunuh diri ini. Kakek menarik tangan Eun Jo yang mengintip keributan di dalam gubuknya.

“Kamu bukan seorang pecundang, kamu sudah mati sebagai pasukan perang. Sekarang, kamu adalah kamu. Eun Jo dengan nyawanya menyelamatkanmu. Kamu tidak berpikir bahwa kami akan dihukum oleh pemerintah karena menyelamatkan pasukan penjajah? Kamu tidak berpikir bahwa kami mengorbankan segalanya saat menolongmu. Untuk itulah alasan mengapa kamu harus tetap hidup!” Panjang lebar dan penuh emosi Soo-Yeon memaki laki-laki itu yang hanya memejamkan matanya.

Hari berikutnya,

“Jadi seperti ini desamu? Dan seperti ini pekerjaanmu.” Laki-laki itu tersenyum ketika Soo-Yeon selesai memainkan musiknya.

“Dulu aku bisa menari dengan baik, tetapi kedua kakiku sudah sangat letih ketika berlari dari pasukan perangmu.”

“Maaf kan aku …” Laki-laki itu tertunduk.

“Ayo, kita jalan-jalan berkeliling sekitar!”

Soo-Yeon mengandeng tangan laki-laki yang kemarin menggunakan ziarah besi itu, hari ini dia menggunakan hanbok sederhana lengkap dengan gat yang menutupi rambut panjangnya. Hari ini laki-laki itu masih hidup, tetapi dengan alasan lain. Ia sekarang hidup untuk dirinya sendiri. Terbata ia ikut belajar mengeja hangul yang diajarkan Soo-Yeon kepada anak-anak kecil sekitar desa. Ia juga tidak malu untuk mengulang lagi pelajaran ini bersama anak-anaka kecil, bersama Eun Jo.

***

Di sini ia menemukan bahwa senyum adalah kebahagian. Laki-laki itu menemukan bahwa kebahagian adalah keadaan damai. 3 tahun berlalu. Ia sudah lupa pada ambisinya untuk melanjutkan penjajahan. Ia sudah tidak ingin ada perang lagi. Ia sudah memiliki kehidupannya sendiri di sini. Menemani Soo-Yeon melakukan pertunjukan, membantu kakek mencari rempah-rempah obat di gunung, menemani Eun Jo menangkap ikan di sungai, dan menemani bayangannya sendiri untuk tetap hidup.

Ia juga merasa bertanggung jawab kepada sepasang kaki Soo-Yeon. Ia membantu Soo-Yeon menari dengan menjadikan tubuhnya sebagai tempat berpegangan. Soo-Yeon perlahan kembali menari dengan bantuannya. Hingga akhirnya Soo-Yeon melakukan pertunjukan yang ia kira tidak akan ia lakukan lagi.

“Apakah merindukan negaramu?”

Soo-Yeon tahu meski tanpa jawaban dari bibir laki-laki itu. Soo-Yeon mencari informasi ke kota tentang pasukan perang penjajah. Ia akan mengembalikan laki-laki itu ke kampung halamannya. Ia tidak mungkin terus menerus melihat kerinduan di kedua mata laki-laki itu. Ia tidak akan pernah setega itu.

“Besok kita akan ke selatan, aku ingin menunjukan tempat yang indah kepadamu!”

“Benar kah?”

Tanpa tahu yang dimaksudkan oleh Soo-Yeon bahwa kota di selatan sebenarnya telah diambil-alih oleh pasukan Jepang. Dengan meminjam kuda, keduanya menyusuri anak sungai yang mengarah ke kota di selatan. Setiba di sana, sepi menyelimuti kota. Seperti yang Soo-Yeon bayangkan, kota yang sudah dijajah seperti ini.

“Siapa di sana?”

Suara itu membuat Soo-Yeon bersembunyi di belakang punggung si laki-laki.

“Hah? Yang Mulia Toyotomi Hidetsugu, kami memberi hormat.” Prajurit itu berlutut di hadapan laki-laki yang ada di depan Soo-Yeon. Semua prajurit yang datang kemudian pun melakukan hal sama.

“Yang Mulia?” Soo-Yeon terperangah.

Selama 3 tahun ia tidak pernah tahu bahwa yang ia selamatkan adalah orang penting dalam peperangan panjang yang bahkan belum berakhir ini. Laki-laki mengaku bahwa namanya adalah Miyoshi Nobuyoshi seorang anak laki-laki dari klan Miyoshi yang ikut dalam perang. Ia bukan yang prajurit itu sebutkan sebagai Toyotomi Hidetsugu, bukan seorang Yang Mulia. Tidak ada yang Soo-Yeon dapat katakan.

Hari itu, Soo-Yeon di tahan dalam kurungan. Hidetsugu kembali mengenakan zirah besinya. Selama 3 tahun ini ia menghilang dalam perang, namun kini ia kembali dengan bantuan Soo-Yeon. Gadis itu menangis menyesali. Ia tidak ingin mengakui bahwa ia dan Eun Jo telah menyelamatkan seorang pimpinan perang untuk menjajah negerinya lagi. Ia menyesal.

“Bagaimana dengan perempuan itu, Yang Mulia?”

“Aku akan mengurusnya.”

Benar saja, Siang di keesokan hari, di tengah teriknya matahari, Soo-Yeon berdiri di tengah lapang di luar benteng kota. Bersama itu sebuah pedang yang terhunus di lehernya. Ia tersenyum kepada laki-laki yang berdiri di hadapannya. Laki-laki tampan dan berkharisma terlebih saat menggunakan zirah besi. Ia menyerahkan segalanya kepada Toyotomi Hidetsugu di ujung pedang itu.

Dalam hati Soo-Yeon terus bertanya, sudahkah laki-laki itu lupa akan kedamaian yang ada di desa. Sudahkah laki-laki itu lupa saat-saat menyenangkan menangkap ikan bersama Eun Jo. Sudahkah laki-laki itu lupa betapa perihnya menemani kakek menelusuri gunung demi tumbuhan obat untuk menolong orang-orang di desa. Sudahkah laki-laki itu lupa saat-saat penuh cinta menemani Soo-Yeon latihan menari dengan kedua kaki yang sempat cidera olehnya. Sudahkah laki-laki itu lupa angka 3 selama terakhir hidupnya. 3 tahun ini …

“Kamu ingin hidup atau mati?” Hidetsugu memberikan pilihan terakhirnya.

“…” Soo-Yeon tidak menjawab. Inikah kecemasan tak beralasannya dulu ketika memandang negeri seberang di jurang itu. Seakan ia mendapat firasat yang tidak baik.

“Kamu! Ingin hidup atau mati?”

“Aku ingin mati.” Kali ini Soo-Yeon menahan matanya yang menangis. Ia tidak ingin membayangkan yang terjadi pada Eun Jo dan kakek kemudian.

“Jadi begitu.” Ucap Hidetsugu perlahan.

Dengan segera Hidetsugu mengayunkan pedangnya. Kilauan pedang Hidetsugu menyilaukan mata Soo-Yeon hingga membuat matanya terpejam pada akhir hidup. Keputusan ini lebih baik daripada ia kembali pada Eun Jo dan kakek, dan mengabarkan bahwa laki-laki yang mereka tolong telah kembali menjadi pemimpin pasukan perang.

“Aku ingin kamu hidup. Bila kamu ingin mati, maka hiduplah untukku.”

Pedang itu jatuh jauh dari tempat mereka berdiri. Hidetsugu melemparkannya jauh-jauh. Karena ia ingin memeluk tubuh Soo-Yeon dan membuat gadis itu tetap hidup. Ia mencintainya, ia tidak lupa tentang hari-hari penuh cinta yang mereka lewati selama 3 tahun ini. Hidetsugu tidak ingin orang yang dicintainya mati begitu saja.

“Saranghae, Tsukiatte Kudasai!”

Ucapan penuh makna dari bibir Hidetsugu untuk Soo-Yeon yang tidak akan terlupakan, yang tidak akan terhapus oleh jaman meskipun orang lain mencoba menutupinya, inilah sejarah cinta abadi itu.

***

‘Meskipun aku telah merias wajahku dengan begitu cantik, air mataku tetap mebuatnya berantakan. Aku tak ingin kau melihatku jelek seperti ini untuk terakhir kalinya. Aku ingin kau melihatku bahagia di perpisahan ini, tapi aku tak bisa’

***



*) Diinspirasi dari lagu I can’t love you or say goodbye – Davichi

Ditulis oleh @___eL http://noteofme.wordpress.com

No comments:

Post a Comment