Wednesday, September 12, 2012

Dia Mengenal Cinta


"... mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia. dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. tidak penting. ia sudah tahu. cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang." – Dewi Lestari

06  September  2004..
Aku melahirkan seorang bayi perempuan. Aku berhasil melahirkan normal. Matanya sipit, kulitnya masih kemerahan, hidungnya mancung. “Cantik, seperti Ibunya”, kata mereka. Aku bahagia. Turut suamiku demikian. Bagaimana tidak, malaikat kecil ini jadi anak pertama kami. Nama pengganti bagi kami kelak dimasa tua. Terlihat mata suamiku seperti berkaca-kaca, seperti ada genangan yang ingin mengaliri pipinya.
Terimakasih, Tuhan. Terimakasih untuk malaikat ini.
***

Aku memandangi anak delapan tahun itu sedang menyimak tayangan dalam televisi yang sudah berapa puluh kali diputar. Anak itu Bita. Anakku. Malaikatku. Dan masih tetap jadi kebanggangaanku. Walau Ayahnya telah memuntahkan ribuan kata makian tentang Bita. Mungkin Bita mengerti arti kata-kata Ayahnya tersebut. Dan seharusnya dia mengerti, karena dia bisa merasa, dia punya hati. Tak seperti tanggapan mereka yang tak tahu bagaimana Bita.
Iya.. Bita seorang yang autis. Gejala itu mulai terlihat sejak dia berumur dua tahun, tetapi sulit untuk berkomunikasi. Kata dokter tempat kami berkonsultasi, autisme pada Bita terjadi karena pada saat dilahirkan Bita kekurangan oksigen. Sebab menunggu dokter kandungan yang menangani persalinanku terlalu lama. Sehingga ada beberapa saraf nya yang tidak berfungsi baik.
Tetapi Bita bukan orang gila, cacat, dan dia punya daya imajinatif yang kuat. Orang-orang salah, termasuk Ayahnya yang selalu menyalahkan Bita pada setiap pertengkaran kami. Baru saja aku ingin memberitahu perkembangan Bita pada pelajaran Kesenian yang selalu dipuji oleh para guru-guru sekolahnya, Ayahnya selalu menghindar. Entah dengan cara apapun. Tak ada usaha untuk berkomunikasi dengan Bita. Padahal Bita selalu mengajaknya bermain, walau dengan cara yang salah yang membuat pada akhirnya Ayahnya marah dan tidak mempedulikannya. Pemandangan seperti itu seperti instrumen yang selalu dimainkan setiap hari. Aku selalu jadi penengah. Tetapi Bita tidak pernah memelihara benci, apalagi dendam yang beranak-pinak. Dia tahu, dan dia mengenal cinta. Untukku. Untuk ayahnya.
***

namun tak kau lihat 
terkadang malaikat tak bersayap, 
tak cemerlang, tak rupawan 
namun kasih ini, silakan kau adu

Hari ini, aku begitu menantikan Suamiku pulang. Aku punya kabar yang luar biasa, aku harap dia juga bangga pada Bita.

18.35 WIB

Suamiku belum juga pulang. Petang sudah berubah gelap. Biasanya sebelum gelap, dia sudah pulang. Kadang, detik itu tak suka menunggu, melaju sesukanya. Tak peduli orang yang sedang menunggu karena geraknya.

Harapanku tiba, mobil suamiku memasuki garasi. Didepan pintu segera ku sambut, setelah sebelumnya aku memastikan Bita sudah tertidur pulas.

“Ayah, Ibu ada kabar baik. Tentang Bita disekolahnya”

“Maaf, Bu. Ayah capek. Istirahat dulu mungkin lebih baik. Biar urusan Bita, besok aja kita bicarain”

Lagi-lagi aku teriris. Angin mengipas luka dan meniup air mataku. Udara yang hadir serak berarak pilu. Sepoi menghempas sendu segenap nyawa. “mungkin belum waktunya”, pikirku.

Seminggu setelah itu..

Hari ini kuhabiskan waktu menemani Bita. Mengomentari gambar yang dibuatnya. Sesekali meminta dia menggambarkanku sesuatu. Dan hari ini juga aku menuntunnya berkomunikasi melalui gambar dan huruf.

Senja seperti biasa, begitu mengetahui suamiku pulang, aku membawa bita ke hadapannya. Bita seperti yang telah aku ajarkan dengan tanggap membuka gulungan kertas hasil karyanya bergambarkan balon-balon dan banyak unsur pesta bertuliskan “AYAH, BITA IKUT LOMBA MELUKIS TINGKAT NASIONAL”. Spontan, ayahnya langsung memeluknya dengan erat. Sama seperti delapan tahun lalu. Pada saat pertama kalinya Bita dibangga-banggakan olehnya. Senja itu kami habiskan untuk melihat-lihat berapa banyak piala yang diraih Bita, yang sebelumnya tak pernah diketahui ayahnya, karena ketidakpedulian.

“malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya.....”

Terkadang manusia hanya saling mengenal dalam kelam. Tanpa tau bahwa waktu adalah kumpulan doa yang diamini.

(#30HariLagukuBercerita Malaikat Juga Tahu - Dewi Lestari)


ditulis @omaaaaaaa dalam http://omaafranita.tumblr.com

No comments:

Post a Comment