Thursday, September 6, 2012

Dia

Ini tulisan tentang dia yang pernah menempati tempat terindah dalam hatiku.

Dia yang kini berada sangat jauh dari jangkauanku, sangat jauh dalam pelukan wanita yang belakangan ini selalu membuat nafasku memburu karena cemburu. Dia yang pernah menyiramkan minyak dalam api cintaku yang berkobar-kobar, dan juga yang membentangkan lautan air mata di hadapanku. Dia yang pernah menghabiskan hari melukis kitab kenanganku dengan harapan, lalu mencoreng halaman-halamannya dengan dusta dan pengkhianatan. Dia yang pernah dicintai oleh hatiku, dan masih dicintai hingga saat-saat terakhir oleh setiap keping yang telah dihancurkannya.

***

“Kau tahu apa itu cinta?”

 “Apa?”

 “Aku pun tak tahu. Aku pernah mencari-cari apa arti cinta itu.”

“Tak kau temukan?”

“Ya. Dan sekarang cinta itu yang memberiku arti.”

Aku selalu senang berbicara dengannya. Sejak awal dia cocok untukku. Dia baik, penyayang pula. Tidak ganteng, tapi memiliki daya tarik. Tidak romantis, tapi dia bisa membuatku selalu tersenyum dengan caranya. Bukan orang berada, tapi bisa memberiku kehangatan yang kuharapkan dari seorang kekasih. Badannya tidak terlalu besar, tapi cukup kuat untuk menggendongku. Aku suka telapak tangannya yang lebar ketika menggandeng jari-jariku yang mungil. Aku suka lengannya yang kokoh ketika ia merangkul bahuku. Aku nyaman sekali jika ada di dekatnya.

“Kita akan menikah?”

“Tujuh tahun lagi.”

“Jadi berapa umur kita saat itu?”

“Aku dua puluh enam, kamu dua puluh lima.”

“Ah, aku akan menantikannya.”

“Mau punya berapa anak?”

“Tiga! Dua laki-laki, satu perempuan.”

Hal kecil apapun tentang dirinya selalu berhasil mencuri perhatianku. Hal kecil apapun yang dikatakannya selalu terekam di kepalaku. Hal sekecil apapun yang dilakukannya selalu membuatku bahagia. Aku suka caranya memandangku. Aku suka ketika dia mengatakan sayang padaku. Aku suka bermanja hanya padanya. Aku senang menciptakan kosakata baru untuk kami pakai berdua. Aku suka caranya memelukku. Dan aku paling suka disuapi bubur saat sakit dan digendong ke kamar dan diselimuti lalu diberi kecupan selamat malam. Aku suka dia apa adanya. Dia itu kesayangannya aku.

Tapi itu dulu. Sebelum semua yang asin menjadi tawar, dan sebelum semua yang manis berubah pahit. Sebelum sunyi menghampiri malam saat satu kembali menjadi dua dan saling mengucapkan perpisahan. Di dalam sebuah buku berjudul kenangan, tertinggal sebuah kisah tak sempurna, tentang kami yang tak bisa menyatu. Kami yang saling candu, dan terlalu angkuh untuk mengakui rindu.

“Peduli apa dengan cinta? Ia terlalu pengecut untuk mempertahankan kita.”

“Cinta bukan pengecut, sayang! Ia hanya belum cukup besar untuk berjuang.”

“Lalu kenapa harus kau pertahankan cinta? Jika ia tak cukup besar untuk memperjuangkan kita.”

“Kenapa harus kau bunuh cinta? Bunuh saja ego itu yang terlalu durhaka menghapuskan kita.”

Perpisahan itu malang yang tak pantas untuk dikenang. Masa lalu itu luka yang tak pantas untuk dibuka. Kami itu harapan yang tak pantas untuk diperjuangkan.

“Aku rindu kau. Aku rindu kenangan kita.”

“Lalu kita bisa apa?”

Sama. Aku juga rindu kau. Tapi kita bisa apa? Kau sudah ada yang punya. Aku tak tahu di mana kita harus sembunyikan rindu-rindu ini. Jika mereka selalu punya cara untuk saling menemukan.

Lalu di penghujung rindu aku menyaksikan bayang-bayang dirinya meredup tertelan masa lalu, dan aku yang habis terbakar api cemburu. Dengan mulut yang sama dia mengucapkan cinta pada wanita yang bukan aku.


ditulis @meilisatansil dalam http://meilisatansil.tumblr.com

No comments:

Post a Comment