Friday, September 7, 2012

DUKA

Halo Raya,
Kamu pasti tidak mengenalku. Atau mungkin kamu mengenali wajahku, tapi rasa-rasanya tak mungkin kamu tahu siapa aku. Semesta belum mengizinkan kita duduk berdua, bertukar pandang, menyesap kopi favorit kita sambil mencoba saling mengenali pribadi satu sama lain. Padahal, jika kita bisa bersanding, semesta itu adalah kita, Raya.

Kamu masuk ke hatiku begitu cepat, secepat kepergianmu dari dunia ini. Duniaku.

Mungkin kamu mengamati dari ‘sana’, bahwa di bumi, di kampus kita, namamu sedang ramai diperbincangkan. Di beberapa kelas, sebelum kuliah dimulai, kami memanjatkan doa supaya dirimu tenang di sisi Sang Khalik. Aku sempat memimpin doa. Begini doaku.

“Tuhan, kiranya Engkau mau menjaga teman kami, Raya Sekar, sepenuh hati di sisiMu.”

Lalu aku tak sanggup lagi berucap apapun. Semua mengamini. Doaku sesederhana itu, tapi sungguh rumit bagi hatiku. Aku belum bisa melepasmu semudah itu, Raya.

Di satu dinding kampus, dipasang karton sebesar pintu yang memang khusus disiapkan bagi semua pihak yang ingin menulis testimonial tentangmu. Di ujung atas karton itu, terpajang foto wajahmu. Tidak seberapa cantik, tapi terlihat bahagia. Foto itu diambil dari salah satu folder di komputerku. Akulah yang mengabadikan momen bahagiamu, Raya. Saat itu, kamu sedang duduk sendiri di salah satu sudut kampus, mengagumi medali yang kau peroleh dari lomba karya tulis antar fakultas. Kamu terlihat sangat bahagia, Raya. Aku jauh lebih bahagia karena sempat mengabadikan masa itu, yang tak akan pernah terulang lagi.

Teman-temanmu menulis di karton itu. Para dosen, penjaga perpustakaan, kakak dan adik angkatan pun menulis. Kutuliskan ulang beberapa untukmu, ya.

“Raya Sekar, seorang gadis lembut dan cantik. Seharusnya dua tahun lagi kamu ada di Eropa, sedang bahagia menempuh pendidikan magistermu. Sangat cerdas, murah senyum dan bertalenta. Aku iri dengan kemahiranmu menulis cerita, Raya. Kamu teman yang sangat setia. Semoga selalu tenang di alam sana ya.”

Barusan itu Karina. Dia gadis berambut ikal yang sering berjalan bersamamu, kan? Sering aku memperhatikan kalian makan siang di kantin. Kamu dan teman-temanmu, para wanita cantik dan pintar. Oh, kau tetap yang tercantik dan terpintar. Karina bicara tentang Eropa. Aku baru tahu kamu punya rencana melanjutkan studimu di Eropa. Sayang sekali kita belum pernah punya momen untuk membicarakannya.

Oh ya, Krisna si mahasiswa berkacamata tebal yang ransel dan tangannya selalu penuh buku itu juga menulis.

“Rayaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Gue sedih banget lo ninggalin gue. Kita baru ketemu pagi itu, siangnya lo udah pergi. Gue kehilangan temen diskusi soal sastra, Ya. Padahal lo the best banget!! Ya, gue bakal kangen argumen-argumen keren lo soal sonnets, soal karya-karya Shakespeare. Gue gak nyangka banget, Ya. AH! Gue kangen, Ya!”

Aku lumayan cemburu baca kata-katanya Krisna. Hebat, dia bisa diskusi soal sastra sama kamu. Aku pernah lihat kamu dan Krisna sedang serius di perpustakaan. Iya, mungkin itu sesi-sesi sakral kalian saat diskusi soal sastra atau entah apapun. Sayang, kita belum punya momen diskusi apapun.

Kenapa kita tidak pernah berteman, Raya? Padahal kamu adalah orang yang tidak pemilih dalam urusan berteman. Semua orang, dari yang paling kaya sampai ke yang paling kesulitan dalam hal finansial, bisa menjadi temanmu. Yang cantik, yang kutu buku, yang aneh, yang berselera tinggi, yang tidak punya selera, kulihat bisa menerima senyummu. Para lelaki dua angkatan di atasmu yang sempat tahu keberadaanmu mengagumimu dan tentu saja mencoba mendekatimu. Bagaimana denganku, yang hanya setahun di bawah angkatanmu? Semua kekagumanku hanya bisa kupendam, Raya.

Stella, sang ketua geng plastik di kampus juga menulis. Aku heran. Dugaanku, ia menulis hanya untuk menumpang nama di karton testimonimu, supaya terlihat dan terbaca oleh orang-orang. Yang aku tahu, dia membencimu. Kata-kata yang ditulisnya pun menjijikkan.

“Raya, I’m so sorry about the accident. You deserve a better life, honey. Oh what did i write again? Like you could come back alive. Hahaha. No, I’m kidding. Too bad we haven’t had a hangout session together back then. Ummm.. Much love, Stella.”

Much love???? HIPOKRIT!

Aku yakin dia senang kau pergi. Pasti. Selepas kepergianmu, dia pasti merasa bisa jadi bintang kampus yang bersinar; dipikirnya pria-pria yang dulu mengejarmu karena kecantikan dan kepandaianmu pasti akan beralih mengejarnya. MIMPI!!

Seandainya kamu tidak datang ke lantai delapan siang itu, mungkin kamu masih hidup sekarang. Si Bangsat yang sengaja mendorongmu jatuh dari tangga itu harusnya dihukum mati, Raya. Dia telah mengambilmu dariku, dari duniaku. DIA TELAH MENCURI HIDUPMU YANG JUGA ADALAH SEPARUH DARI HIDUPKU!!! SEMOGA SI BANGSAT ITU MEMBUSUK DI PENJARA!!!

Padahal, jika kita bisa bersanding, kita adalah semesta, Raya.

“…her life was stole, now we’ll never know..”

***

Lelaki itu memandang gumpalan-gumpalan kertas yang berserakan di sekitarnya. Satu lembar yang masih rapi ada di tangannya. Kedua sisinya penuh tulisan. Ia lalu membaca ulang apa yang telah ditulisnya seharian. Sesaat terlihat senyumnya, yang lalu berganti dengan ekspresi sedih dan kemudian marah. Tak lama ia melipat kertas itu dan menyelipkannya ke bawah bantalnya.
Matanya menyapu ruangan. Sempit dan sesak. Ia beranjak dari kasur kumalnya.

“Pak, tadi saya pinjam ini ke petugas yang sebelumnya,” Lelaki muda itu mengacungkan sebatang pensil melewati sela-sela besi, lalu melambaikannya ke petugas yang berjaga di depan, “kalau boleh besok saya minta kertas dan pinjam pensilnya lagi.”

Petugas yang diajak bicara memandangi lelaki itu sejenak. “Tahanan baru ya? Siapa nama kamu?”

“Alam, Pak.”


*) Diinspirasi oleh lagu Stole - Kelly Rowland.

Ditulis oleh @_fikan dalam http://thankthinkthunk.wordpress.com

No comments:

Post a Comment