Saat itulah samar-samar kudengar suara yang memanggil namaku. Suara inilah yang selalu menjadi jangkar bagiku, yang selalu menarikku kembali, tak peduli sudah seberapa jauh aku terhanyut. Itu suara ibu. Sepertinya ibu jengkel lagi. Dan alasannya lagi-lagi sama. Ibu kerap memanggil namaku, dan seringnya aku tidak merespon seperti yang diharapkannya. Bukan! Itu bukan karena aku anak durhaka, namun setiap waktu, aku sering terhanyut dengan keindahan baru yang ditawarkan dunia di sekelilingku. Pada awalnya aku heran, mengapa ibu tidak terpukau oleh keindahan di sekelilingnya, seperti yang aku lihat mengelilingiku? Mengapa ibu tidak ikut bersamaku terhanyut dalam dunia yang indah ini? Jawabannya kudapatkan ketika ibu suatu hari menampar tanganku yang sedang mencoba menangkap butiran kristal indah bercahaya di depanku. Saat itu tahulah aku bahwa ibu tidak bisa melihat dan merasakan apa yang kulihat. Keindahan in tidak mengelilingi ibu. Yang ibu lihat saat itu adalah aku yang terpukau menggerak-gerakkan telapak tangan di depan mataku.
Ibu tinggal di dunia yang berbeda. Aku pernah mencoba untuk tinggal di dunia yang ditinggali ibu. Tapi aku tidak pernah menemukan keindahan seperti yang kutemui disini. Aku bingung, mengapa ibu bisa hidup di tempat seperti itu? Dimana ejekan, cemoohan, dan olok-olok adalah sesuatu yang membebani ibu, sehingga tak jarang membuat matanya mengeluarkan cairan bening. Orang-orang di dunia ibu mengejek kami. Mengejekku, tepatnya. Mereka bilang aku berbeda. Kata mereka aku adalah seorang autistik. Aku tidak tau apa arti kata itu, namun aku tau, itu bukanlah kata yang digunakan untuk memuji. Aku mungkin tidak mengerti bahasa verbal, namun aku paham sekali bahasa tubuh dan perasaan. Mereka yang mencap aku sebagai autistik selalu memandangiku dengan raut iba dan seringnya malah mengejek.
Aku tidak mengerti. Mengapa aku diejek dan dikasihani? Aku memang tidak bisa berbicara dengan bahasa yang dipakai mereka semua, tapi itu tidak berarti aku tidak memahami apa yang mereka katakan. Aku memang tidak tinggal di dunia yang mereka tinggali, tapi tidak berarti aku tidak tau seperti apa dunia mereka. Aku memang terlihat berbeda bagi mereka yang tidak memahami, tapi bukankah jauh di dalam sana kita semua adalah sama?
Pun aku heran dengan ibu. Ibu selalu memaksaku untuk menjalani berbagai terapi yang seakan tidak ada habisnya. Ibu memaksaku untuk melakukan kontak mata, yang terus terang tidak bisa kulakukan berlama-lama atau secara sukarela, karena mataku lebih suka menangkap untaian keindahan di sekelilingku. Ibu memaksaku untuk berbicara dan merespon seperti yang diharapkannya, yang susah sekali untuk dilakukan. Aku tidak suka yang rumit-rumit. Mengapa tidak nikmati saja keindahannya? Namun, baiklah. Demi ibu, aku mau mencoba tinggal lebih lama di dunianya dan menyelami sedikit kehidupannya. Ibu tidak tau, bukan terapi-terapi itu yang bisa memaksaku untuk mengenal dunia ibu, tapi kebahagiaan yang terpancar dari wajah ibulah yang membuatku ingin menuruti kehendaknya. Ada ledakan lelatu warna-warni di atasku tiap kali ibu tersenyum saat aku melakukan kontak mata dengannya, walau hanya beberapa detik. Ada nyanyian indah tersendiri yang (sayangnya) tidak bisa didengar ibu tiap kali ia bertepuk tangan karena aku berhasil memaksa lidahku untuk mengucapkan “ya” saat ia memanggil namaku. Aku bahagia bila ibu bahagia. Dan aku ingin ibu tau itu. Maka aku berusaha keras untuk mengenal dunianya, yang sering disebut realita.
Setelah berbagai usaha yang dilakukan ibu untuk menuntunku berjalan di dunianya, aku pun ingin ibu mencicipi rasanya singgah di duniaku. Aku yakin ibu pasti kerasan. Disini, tidak ada ejekan, cemoohan, dan olok-olok. Disini tidak ada sesuatu yang bisa membuat orang menangis. Yang ada hanyalah keindahan tanpa batas yang mewujud dalam berbagai bentuk. Sayangnya, aku tidak tau bagaimana cara mengajak ibu kesini. Aku sudah coba memberi tahunya dengan bahasaku, tetapi ibu tidak mengerti dan malah menyuruhku untuk tidak ribut. Aku sudah coba mengajaknya berlari masuk ke rerimbunan cahaya di depanku, namun ibu malah menyuruhku untuk tidak bertingkah. Aku sudah coba menggulingkan penghalang di depan ibu supaya ia bisa melihat pelangi 1000 warnaku, namun muka ibu malah memerah karena malu dan ia meminta maaf kepada banyak orang (rupanya yang ibu lihat adalah aku menjatuhkan kaleng-kaleng di sebuah super market).
Kadang aku begitu frustasi. Mengapa tidak ada yang bisa melihat apa yang kulihat dan merasakan apa yang aku rasakan? Aku ingin membagi keindahan ini. Tak jarang aku menjerit dan menangis, karena aku gemas ingin mengajak ibu kesini. Tidak. Ibu tidak mengerti alasanku menjerit. Terkadang ia balas menjerit menyuruhku diam atau memarahiku habis-habisan. Bila aku menangis, ia malah ikut menangis. Jadilah kami saling bertangisan untuk dua alasan yang berbeda.
Konyol memang. Namun, terlepas dari semua itu, aku menyayangi ibu. Ibu mungkin tidak bisa melihat ribuan kerlip ajaib ini, namun aku bisa menularkan kebahagiaanku di sini dengan cara melakukan kontak dengannya; entah itu sekedar balas menatap matanya, menjawab panggilannya, atau balas meremas tangannya ketika ia menggenggamku. Itu berarti aku harus meninggalkan duniaku sejenak dan menemani ibu beberapa saat di dunianya. Toh aku memang tidak bisa setiap saat tinggal di duniaku, karena seperti yang kubilang, suara ibu selalu menjadi jangkar untuk menarikku ke bawah. Ke realita.
Hanya saja, aku ingin ibu tau, bahwa realita mungkin memang indah dengan caranya sendiri, namun aku tidak pernah ingin tinggal disana. Inilah yang ingin kusampaikan kepada ibu. Seandainya kamu tau caranya, maukah menolongku? Tolong perdengarkan ke telinga ibuku apa yang ingin kusampaikan padanya ini:
I saw the autumn leaves peel up off the street
Take wing on the balmy breeze and sweep you off your feet
And you blushed as they scooped you up on sugar maple wings
To gaze down on the city below, ablaze with wondrous things
Downy feathers kiss your face and flutter everywhere
Reality is a lovely place, but I wouldn’t want to live there
Weighed down by heavy lids and lunar lullabies
I knew you were wide awake ‘cause you smiled with your eyes
Downy feathers kiss your face and flutter everywhere
Reality is a lovely place, but I wouldn’t want to live there
From the green belt balcony, the wildfires look so pretty
Ponderosa canopy; I’d never leave if it were up to me
To the ruby redwood tree into the velvet climbing ivy
Painted on mahogany; I’d never leave if it were up to me
If it were up to me
With the starry brush painted the dusk venetian blue
‘Cause in the evening hush, you’ll never believe the view
And when the leaves return
And their whispering fills the night
They’ll freeze and burn
When fire and ice collide
Can you feel a silk embrace in the satin air?
If we dissolve without a trace, will the real world even care?
Downy feathers kiss your face and flutter everywhere
Reality is a lovely place, but I wouldn’t want to live there
ditulis @sneaking_jeans dalam http://menyingsingfajar.wordpress.com
No comments:
Post a Comment