Monday, September 3, 2012

End


Dua pasang mata telah duduk ber hadapan, rindu kian lama tumpah ruah dalam sudut cafe yang mulai sepi. Untuk beberapa saaat mereka tak saling bicara, hanya memandang lekat satu sama lain. Takjub.


Sang wanita dengan kemampuan photographic memory-nya mulai memutarkan masa-masa mencintai sang lelaki di depannya, memutarkan harapan yang ia tanam, tumbuh tak beraturan semakin liar. Cintanya mungkin kuat, namun bukan sifatnya untuk mempertahankan yang tidak pasti. Sang wanita menjauh dalam diam, menangisi setiap asa yang ia kubur dalam – dalam.

Sang lelaki yang tengah menata hatinya, mengumpulkan kenangan apa yang hampir dia lupakan dengan wanita di depannya. Mempertanyakan kekosongan yang merongrong kala wanita itu tidak ada. Hanya itu saja. Perasaan sudah dia simpan, logika yang ambil peran.

“Apa yang sudah saya lewatkan setelah sekian tahun tidak berjumpa dan berkirim kabar padamu, Vela?”

“Perlukah kuceritakan? Atau kalimatmu hanya sekedar basa – basi?”

“Basa – basi.” Mereka berdua tertawa.

“Dio, seperti inikah gayamu? Rapi?” Vela melempar pandang meneliti kepada lelaki di hadapannya, berpolo t-shirt biru muda, celana jeans biru tua, rambut cepak, sneakers merk ternama, dan wangi parfum.

“Kamu simpan di mana kaos band metal favoritmu?” Dio diam sesaat.

“Sekarang saya mampu membeli setiap edisi kaos band metal itu, namun saya tak ingin mengenakannya hari ini.”

“Kemana janggutmu?”

“Sudah saya cukur sebelum ke sini.”

“Kemana kalung metalmu?”

“Sudah saya buang.”

“Pacarmu?”

“Kalau ada, mungkin saya sudah disuruh pulang karena menemuimu.” Mereka kembali tertawa.

Dua manusia melepaskan rindu tanpa sadar, menikmati setiap detik yang berpindah tanpa takut akan berakhir.

“Nilai filsafatmu jelek ya? Dari tadi saya tidak pernah mendengar kamu bertanya mengapa.” Ucap Dio, sambil menggenggam cangkir kopi yang belum dia minum.

“Setelah bertahun – tahun aku melewati hidup tanpamu, semakin ke sini aku tak mau terlibat dalam setiap detil perubahanmu, termasuk tak berminat untuk bertanya mengapa pada setiap keputusan yang kamu ambil.”

“Tapi saya menunggu saat kamu bertanya mengapa.”

“Dulu, pertanyaanku kamu sia-siakan, tak pernah ada jawaban sedikitpun. Aku tak ingin mengulangnya.”

“Seberapa dalam luka yang saya torehkan?” Vela terdiam, tak bersuara.

“Seberapa keras kamu bertahan? Berapa kali kamu menjatuhkan air mata karena saya? Berapa kali waktu yang kamu habiskan dalam jagat maya itu hanya untuk tahu saya sedang apa? Untuk semua hal itu, mulai detik ini saya bersumpah akan menebusnya, Vela.”

“Tidak perlu menebusnya, apa yang kamu ucapkan tadi sudah tidak penting. Aku datang ke sini  untuk memenuhi permintaanmu. Menemuimu dalam keadaan sekarang yang mulai menyukai kaos polo, ketimbang kaos band metal favoritmu.”

“Benar hanya untuk itu?”

“Perlu dipertanyakan? Bodoh! Bila hanya untuk itu, melihat flickr-mu saja cukup.”

“Jika saat ini kamu meminta saya untuk tetap tinggal di sisimu, saya akan memenuhinya. Jika saat ini kamu meminta saya untuk bernyanyi lagu britpop kesukaanmu saya akan melakukannya. Jika saat ini kamu meminta saya mendengarkan ceritamu dari pertama kali kita tak saling bicara, saya akan mendengarkannya tanpa menyela sedikitpun. Saya kehilanganmu, saya rindu saat-saat dulu, maaf saya terlalu bodoh untuk membiarkanmu menghindar, menyia-nyiakan perasaanmu, sementara saya sadar ada ruang yang tersiksa, meminta diisi hanya olehmu. Apapun itu untuk membuatmu kembali saya akan lakukan. Saya mencintaimu.”

“Kalau begitu, berhenti mencintaiku..”

“maksudmu?”

 “Aku begitu mencintaimu, menginginkanmu, hingga setiap aku mengetahui kamu menjalin hati dengan perempuan lain, aku semakin putus asa. Aku sudah mengesampingkan segala perasaanku. Sudah saatnya kita menjalani hari masing-masing. Tanpa perlu bayang-bayang satu sama lain.

“Berhenti mencintaiku, karena aku sudah berhenti mencintaimu, Dio.”

Vela memberi sebuah undangan berwarna biru langit dengan gambar kedua awan bersisian bertuliskan namanya dan lelaki lain.

“Be happy, Dio. Aku tetap jadi Vela. Vela yang sudah berhenti mencintaimu, tapi akan selalu jadi teman terbaikmu.”

Keduanya berpelukan, Dio tak ingin mengucapkan satu patah katapun, ini bukan jawaban yang dia inginkan. Semua tak lagi sama..

Terjebak di lorong waktu
Hingga kelu biar ku membisu
Adakah luang tuk diriku mengadu
Bila..tanpamu
Hilang..kunanti suasana yang dahulu
Menyapa Rindu..kunanti kembalinya hadirmu

Disini Kutulis kata demi kata 
Mungkin berharap kan bermakna 
Kiasan tak sejujurnya terucap
Kuterjebak..tanpamu
- Homogenic, Akhir Episode-



ditulis @superluckyphili dalam http://philiandtheluckytheory.blogspot.com

1 comment: