Gadis kecil menari di tengah padang savana, merasakan diri sebagai angin yang membelai pucuk-pucuk ilalang dan dandelion. Kedua tangannya direntangkan, matanya terpejam, mengikut tarian angin. Tiba-tiba hilang begitu saja dari pandangan mata seorang pria mungil yang mengamatinya dari jauh, sang pria berlari menuju arah isak. Gadis kecil rupa-rupanya terjatuh, kaki terantuk batu. Dan dengan senyum ramah pria mungil merelakan kaosnya yang bergambar Spongebob Squarepant kesukaannya jadi pembalut lutut gadis kecil yang terluka. Senja menjelang, dengan bertelanjang dada pria mungil menggendong gadis kecil yang tertatih, meninggalkan padang savana dan angin yang masih saja menari bersama rangkaian ilalang dan semerbak dandelion.
Hari berganti, dan tahun kian menua. Gadis kecil kini dewasa, begitu pula dengan pria mungil kini tubuhnya tak semungil dulu, dadanya bidang, dan otot-otot bahunya kian terlihat, serta beberapa tattoo merajah bagian tubuhnya. Di padang savana tempat ilalang dan dandelion kerap menari bersama angin mereka bertemu kembali.
“Kau tahu, aku menunggumu. Menunggumu datang hingga senja tiba. Tapi kau tak pernah datang kembali.”
“Mengapa kau menungguku?”
“Aku cuma ingin mengembalikan kaosmu dan mengucapkan terima kasih. Itu saja.”
“Kau masih mengingat hal itu, ah bahkan aku sudah lama sekali melupakannya. Kalau kau tak menari seperti tadi, aku mungkin tak ingat pernah memapahmu yang terjatuh.”
Lalu gadis kecil menyerahkan kotak berwarna cokelat yang ia letakan di bawah pohon, di antara ilalang-ilalang yang menjuntai.
“Apa ini?”
“Kau lihat saja, sudah lama kusimpan dan selalu kubawa ke padang ini.”
Pria mungil itu membuka dan mendapati di dalamnya terdapat sehelai kaos berwarna biru dengan gambar Spongebob Squarepant, lalu ia mengembangkan senyum, dan tatapnya tak lepas dari manik-manik mata gadis kecil.
“Kau masih menyimpannya?”
“Tentu saja masih.”
“Ini kaos kesayangan aku.”
“Ya aku tahu, sebab itu aku menjaganya.”
“Darimana kau tahu?”
“Karena kaos itu sering kau pakai, ketika kau mengintipku menari di sini dulu. Kau kira aku tak tahu, kau kan mengagumi tarianku.”
“Apa aku mengagumi tarianmu? Hahaha… Aku hanya tertarik keanehanmu saja menari di tengah rimbunan ilalang.”
“Sudahlah akui saja, kau mengagumiku kan?”
“Hahaha…”
“Kau tahu, ini tempat rahasiaku dan cuma kau saja yang tahu. Sebab itu sekalipun sekarang tubuhmu tak seperti dulu, aku tahu kau pemilik kaos itu.”
“Lalu kenapa kau menyimpan kaosku, bukankah itu tandanya kau yang mengagumiku?”
Gadis kecil itu hanya terdiam, dan wajahnya menyemu merah.
“Oh, sudahlah. Menarilah kembali, aku ingin melihatnya. Tentu sekarang tidak pakai terjatuh lagi kan?”
“Tidak. Tidak mau. Aku tak mengenalmu, jadi untuk apa aku menari untuk orang yang tidak aku kenal.”
“Aku Catur Indrawan. Sudah cukup, sekarang menarilah.”
“Kau tak ingin mengenalku? Ah ya, siapalah aku, gadis desa tak berarti apapun untukmu kan, baiklah tak apa.”
“Arine Emilialita…”
Setelah menyebutkan nama gadis kecil itu, pria mungil menggamit lengan gadis kecil, menggamitnya dan berlari hingga ke tengah padang savana yang tumbuhi ilalang. Sementara gadis kecil masih saja tercenung.
“Tunggu, kau mengenalku?”
“Kau tadi bilang aku pengagummu, jadi wajar kan aku mencari tahu tentangmu. Ayolah ajari aku menari.”
“Tapi kau harus janji, takkan meninggalkanku lagi.”
“Janji? Untuk apa?”
“Karena kau…, kau telah mencuri hatiku. Sebab itu kau harus tanggung jawab dengan berjanji padaku.”
“Baiklah, aku janji.”
Gadis kecil, di bawah siraman cahaya senja sewarna lembayung di antara juntai-juntai ilalang dan semerbak dandelion yang dimasaikan angin, menari dengan lebih gemulai. Matanya terpejam, namun sesekali manik-manik matanya melirik ke arah pria mungil yang berdiri tertegun menikmati tarian gadis kecil.
Dan pada akhirnya pria mungil itu harus kembali ke kotanya, sementara gadis kecil tetap tinggal, menunggu sampai akhirnya ia sendiri bosan menunggu dan datang menjemput pria mungil. Mungkin ada benarnya bahwa wanita adalah makhluk yang pandai menyimpan perasaan terdalamnya, bahkan waktu tak mampu menyentuhnya. Itulah cinta pertama, cinta begitu saja tiba dengan sebab-sebab sederhana yang tak mampu dinalar logika. Sekalipun tak termiliki selamanya, rasa-rasanya berjanji untuk tidak saling meninggalkan adalah sebaik-baiknya cinta yang baik. Setidaknya untuk aku, Catur Indrawan, pria mungil itu.
Aku takut kamu pergi
Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin kau di sini
Di sampingku selamanya
ditulis @acturindra dalam http://senjasorepetang.wordpress.com
No comments:
Post a Comment