Pagi sudah tidak terlalu pagi saat aku duduk di depan layar 10 inchi yang belakangan ini selalu aku kutuki. Blackberry bututku di tangan kiri, benda itu sudah hampir 6 bulan ini tidak pernah berbunyi kecuali untuk urusan panggilan. Aku menyetelnya demikian. Air dingin dalam satu gelas yang tidak terlalu besar di sudut meja, aku sadar kurang minum akhir-akhir ini. Matahari menyisip dari sela-sela Lovera yang kubuka separuh di atas sana. Enam bulan lalu mungkin Sabtu pagiku jauh dari ini. Sibuk sejak pagi, sarapan, siap menjelajahi hari, dengan dia. Adapun lima atau empat bulan lalu, juga tidak begini, karena seingatku, hampir tidak pernah kulihat matahari.
Menghela sedikit nafas. Aku siap menulis.
Tapi ternyata hatiku tidak.
Kupandangi cokelat kemerahan yang menggantung di sekitar leherku, ujung-ujungnya rusak parah. Aku tidak ingat kenapa dia bisa begitu. Setahuku aku merawatnya lebih baik akhir-akhir ini, bahkan membuatnya lebih bergaya. Aku punya lebih banyak uang, dan waktu luang untuknya (begitu juga untuk laptopku, dan untuk kontak-kontak lain di Blackberry Messenger).
Lebih banyak yang bilang aku lebih baik dengan warna seperti itu, bahkan seseorang bertanya “Apa itu warna aslimu?”. Aku tahu mereka hanya bersikap ramah. Aku menyisirnya dengan tanganku. Ternyata, di ujungnya ada helai-helai yang sudah siap jatuh. Aku mengambilnya dan menaruhnya di meja, di samping komputer portabelku tadi. “Apa yang terjadi padamu?” bisikku, tak tega melepasnya,”Kau nampak baik-baik saja, lebih baik dari sebelum-sebelumnya malah”.
Begitu juga dia. Dan aku sebelumnya.
Dia seharusnya baik-baik saja. Tapi sebelum ada dia, akulah yang baik-baik saja. Kalau tidak karena dia, aku mungkin akan membeli sesuatu yang lebih baik dibanding onggokan yang hampir tidak berguna, yang di papannya aku sedang mengetik sekarang. Dan Blackberry yang masih tidak bergeming sampai sekarang itu, aku membelinya semata karena sudah tidak tahu lagi bagaimana menghubunginya. Dia selalu sibuk dengan miliknya, dan kontak-kontak yang ada di dalam sana, tidak hirau pada telepon ataupun sms ku untuknya.
Di saat itu sebenarnya aku tahu sudah kehilangan dia. Ternyata aku hanya mengulur waktu, dan mengambil resiko lebih besar untuk hatiku.
Saat ini kubilang aku lebih baik. Tapi entah apa yang terjadi di dalam sana. Karena ada yang masih lalu lalang dalam tidur dan rambutku yang rontok,-belum lagi Blackberry butut yang tidak kubunyikan nadanya karena takut aku berharap BBM terakhir datangnya dari kamu-. Walau langkah sudah semakin ringan (karena berat badan turun cukup banyak dan jadi punya ‘me-time’ untuk berolahraga), tertawa lebih banyak karena alasan lain dan juga sedikit berpikir lebih banyak tentang diriku.
Berproses untuk jadi lebih kuat itu tidak semudah yang dinyanyikan, dan Kelly Clarkson juga pasti bohong kalau dia bilang “Thanks to you I’m NOT the broken hearted”.
Thanks to you to make me the broken hearted, even I had choice to not being that one. In fact is, I’ve got sympathies and attentions from others and I promised them I’ll be stronger in return. I just haven’t promised myself yet.
ditulis @regina_krisna dalam http://gigibesar.wordpress.com
No comments:
Post a Comment