Monday, September 3, 2012

Malam Perkenalan


Seperti biasanya, hampir setiap malam selepas pulang dari kantor, aku selalu menyendiri di sebuah cafe. Aku paling suka berada di meja yang terletak di sudut cafe yang bernama Galbadia ini, duduk sendirian tanpa teman. Aku memasang Aerphone di telingaku, kemudian kuputar sebuah lagu. Sambil melamun, aku melihat ke arah jendela cafe, terlihat dari kejauhan sosok wanita datang. Lamunanku tergantikan oleh sebuah pertanyaan, “siapakah gerangan malaikat cantik ini?”
Dengan usia yang kira-kira sebaya denganku, kurang lebih 23 tahun, dia mengenakan gaun biru berkombinasi hitam yang sangat indah. Gaun itu sangat pantas melekat di tubuhnya. Kemudian  wanita anggun ini pun berjalan menuju panggung. Mataku tak berhenti melihatnya, hatiku pun tetap penuh dengan tanda tanya. Sepertinya dia akan menyanyikan sebuah lagu. Ah, alangkah baiknya kalau aku melepaskan aerphone ini dari telingaku. Suaranya mulai terdengar, suara yg membuatku kagum, sekaligus terlena. Lagu yang dinyanyikan juga bagus, liriknya sangat mendalam. Dia menyanyikan lagu ini dengan penuh harapan, harapan agar suara indahnya bisa didengar.
I saw you smiling at me
Was it real or just my fantasy
You’d always be there in the corner
Of this tiny little bar
Entah sengaja atau tidak, dia melihat ke arah sudut cafe. Ya, tepat ke arah dimana aku berada. Mata dengan mata saling memandang, spontan aku pun tersenyum padanya. “Oh Dewi Aphrodite, tidak kusangka pesaingmu dalam hal kecantikan ini membalas senyumku” kataku dalam hati. “Tapi entah kenapa senyumnya itu seperti ragu, apa dia tidak percaya kalau aku tersenyum padanya? Atau mungkin dia malu?” tanyaku dalam hati.
Darling, so share with me
Your love if you have enough
Your tears if your’re holding back
Or pain if that’s what it is
How can I let you know
I’m more than the dress and the voice
Just reach me out then
You will know that you’re not dreaming
Tidak terasa sepertinya sudah sampai pada bait-bait terakhir dari lirik yang dia nyanyikan. “kalau begitu, apakah artinya ini malam perpisahan?  Yang bahkan aku belum sempat mengenalnya” hatiku kembali bertanya, “ah, lebih cocok kalau ini disebut dengan malam perkenalan” jawabku kemudian. Aku seperti orang kurang waras, bertanya-tanya sendiri, dijawab-jawab sendiri. Tapi untungnya itu terjadi di dalam hati.
Ternyata benar, wanita menarik yang memiliki kulit bewarna kuning langsat ini telah selesai bernyanyi. Dia turun dari panggung, dan kemudian duduk sendirian di salah satu meja, meja nomor sembilan tepatnya. Omong-omong, angka sembilan adalah angka kesukaanku. Ya semoga malam ini angka itu bisa menjadi angka keberuntunganku. Sendirian tanpa ada yang menghampiri, hanya didatangi pelayan cafe yang mengantarkan minuman pesanannya. Kasihan, ya mungkin karena para pria yang ada disini sedang bersama kekasihnya masing-masing. Lain cerita kalau banyak pria lajang disini. Pasti para pria lajang itu akan berebut untuk mendekatinya. Jadi aku anggap saja keadaan malam ini adalah keberuntungan awalku.
Perasaanku campur aduk tidak karuan, bingung dan sedikit ragu untuk mendatanginya. Tapi perasaan ini aku yakini bukan cinta, karena aku bukan pria hebat yang mudah jatuh cinta apalagi dengan wanita yang belum aku kenal, walaupun aku kagum akan suara dan kecantikannya. Lagi pula kalau aku sampai jatuh cinta padanya, belum tentu baginya aku bisa mencintai dengan baik. Tapi malam ini ada alasan mengapa aku memutuskan untuk menghampirinya. Aku menginginkan sebuah perkenalan. Itu alasan yang paling masuk akal sekarang ini.
Aku memberanikan diri mendatanginya. Mempersiapkan hatiku dan sedikit merapikan diri untuk memastikan agar nanti semuanya baik-baik saja. Namun sebelum menuju meja nomor sembilan, aku menghampiri pelayan, menanyakan minuman apa yang dipesan oleh malaikat cantik itu.
“hot hazelnut latte.” jawab si pelayan.
 “baiklah, aku pesan minuman yang sama, dan biar aku sendiri yang bawa.” ujarku.
 “omong-omong, aku tidak pernah melihat anda sesenang ini.” kata si pelayan.
 Akupun hanya tersenyum pada si pelayan, memang, malam-malam sebelum ini, aku tidak pernah terlihat sesenang ini.
Pelayan itu memberikan aku minuman yang sama dengan wanita itu. Perlahan akupun jalan ke arah meja nomor sembilan sambil membawa hot hazelnut latte, sesuai namanya, hot, berarti panas, aku harap bisa menciptakan suasana menjadi hangat jika nanti sikapnya dingin kepadaku.
“Kursi di depanmu kosong, boleh aku duduk disini?” tanyaku padanya.
“Silahkan saja.” jawabnya.
“apa kau sedang menunggu seseorang?” tanyaku lagi.
“Mengenai aku sedang menunggu seseorang atau tidak, itu bukan urusanmu, tapi aku sedang tidak menunggu seseorang.”
“oh, sepertinya kau agak kurang suka jika aku duduk bersamamu,” ujarku, “tapi meja di mana tempatku berada tadi sudah ada yang menempati.”
“aku tidak bilang begitu, sudah aku bilang kan, kalau mau duduk ya duduk saja.”
Sikapnya begitu dingin, aku tidak pernah menemui keadaan seperti ini sebelumnya. Biasanya, ketika aku mendekati wanita, tidak pernah sampai diperlakukan dengan dingin seperti ini. Kata teman-teman, dan kata para wanita yang aku dekati itu, aku orang yang menarik. Tapi wanita yang satu ini berbeda, tatapan matanya seolah ingin membunuhku, tapi  justru semakin membuatku penasaran. Kemudian dia mengambil cangkirnya, dan meminum sedikit kopinya dengan gaya yang sangat elegan. Sepertinya aku harus berjuang keras untuk menghangatkan suasana.
“Kau menyukai hazelnut latte?” tanyaku.
“Ya, aku menyukai minuman ini, minuman favoritku” jawabnya.
“kalau begitu kita punya kesamaan.”
“haha” dia tertawa sinis.
“kenapa tertawa?” tanyaku agak sewot.
“aku tidak yakin kau menyukai minuman itu, lagi pula kau barusan memesannya”
“Bagaimana kau tau? Apa kau memperhatikanku?”
“Huh, sederhana saja,” katanya; “hazelnut latte milikmu masih panas, selain itu juga masih penuh. Kau meminumnya hanya sedikit sekali. Ekspresi wajahmu saat meminumnya seperti menunjukan kalau kau baru pertama kali, dan terlihat tidak begitu suka. Jadi aku bisa menarik kesimpulan bahwa hazelnut latte bukan minuman favoritmu.”
Aku tidak bisa menahan rasa kagumku saat mendengarnya berkesimpulan seperti itu. “baiklah, jika kesimpulanmu itu benar,” kataku, “maka aku akan membuat minuman ini menjadi minuman favoritku. Jujur saja aku kagum mendengar penjelasanmu tadi.”
“Ya, terserah kau saja,” jawabnya sambil meminum hazelnut latte.
“Apakah kau penyanyi di cafe ini?”
“Ya, baru saja.”
“itu artinya kau baru pertama kali berada di cafe ini?”
“Tidak, ini yang kedua kalinya.”
“Kalau begitu aku pasti melewatkan penampilan pertamamu?”
“Mungkin.” Jawabnya.
“Suaramu sungguh indah, sangat surgawi.” Kataku.
Belum selesai aku berbicara, ponselnya berdering. Sepertinya ada panggilan masuk. Ekspresi wajahnya berubah saat menerima panggilan itu. Dia jadi terlihat lebih senang dan lebih hangat. Aku memperhatikan gerak bibir tipis ketika dia berbicara di telepon. Sangat cantik, benar-benar sangat cantik.
Kemudian dia berdiri, dengan masih menerima panggilan telepon, dia berjalan menuju kasir. Setelah dari kasir, dia berjalan kembali ke arahku, kali ini teleponnya sudah ditutup.
“Aku suka usahamu untuk menghangatkan suasana,” katanya; “tapi maaf sekarang aku harus pergi.” Dia berjalan perlahan meninggalkan aku.
“Tunggu,” kataku; “Namaku Mario, aku bahkan belum mengetahui namamu. Setidaknya malam ini aku tau namamu.”
Dia menoleh ke arahku, sambil tersenyum dan berkata “kau benar-benar berusaha keras ya, baiklah kalau begitu, namaku Chromita, jika kau ingin tau.”
“Lalu Chromita, apa di lain hari aku masih bisa berbincang denganmu lagi?” tanyaku.
“Mungkin iya, mungkin juga tidak,” jawabnya; “tapi seandainya iya pun, kau masih harus berusaha keras untuk menghangatkan suasana. Dan kau tidak perlu memesan minuman yang tidak kau suka. Maaf aku terburu-buru, aku harus pergi sekarang.”
Dia pergi begitu saja meninggalkanku. Aku masih terdiam, perasaanku campur aduk. Chromita, Nama yang baru pertama kali aku dengar. Nama yang benar-benar indah, walau aku tak mengerti apa arti nama itu. kemudian akupun berjalan menuju arah kasir, untuk membayar minumanku.
“Berapa yang harus aku bayar untuk dua minumanku?” tanyaku pada petugas kasir.
“Anda hanya harus membayar satu minuman saja.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Sepertinya anda berhutang satu hazelnut latte pada penyanyi itu.” Jawab petugas kasir.
Aku kembali terdiam, lalu sedikit tertawa. Aku benar-benar merasa seperti seorang pecundang saat itu. “Baiklah, aku berhutang satu minuman kepadanya.” Kataku dalam hati.


ditulis @marioprakasa dalam http://marioprakasa.tumblr.com

No comments:

Post a Comment