Aku mengadahkan wajahku ke arah langit, memejamkan mata, sembari merasakan pipiku mulai bersemu akibat belaian lembut semilir angin malam yang dingin. Hujan tak kunjung tersapu bersih. Bak tarian bidadari rintiknya semakin marak jatuh ke atas permukaan bumi, seakan turut berduka terhadap kesedihan yang sedang menggerogotiku secara perlahan. Ah, rasanya masih sama seperti dua tahun yang lalu. Sepi ini menyergap kesendirianku begitu saja, hingga kesenduan mulai menyeruak masuk ke dalam perasaanku.
Masih di tempat yang sama, namun dengan selisih waktu yang berbeda, aku masih menunggumu. Menunggu kau untuk mengobati perih ini, menunggu kau untuk bertanya “kau tidak apa-apa?”. Ribuan hari ku lalui dengan keresahan yang tiada henti semenjak kau menggoreskan luka di palung terdalam hatiku. Namun tak ada sepatah atau dua patah katapun darimu untuk membuatku merasa lebih baik setidaknya untuk sementara waktu.
Aku masih ingat setiap detil yang ada pada tubuhmu, rahang keras dengan tubuh tinggi tegap, hidung mancung serta tatapan tajam yang terlihat cukup menakjubkan dari sisi penglihatan ku, Ah, sungguh bayangmu terlukis cukup manis di setiap pilar pikiranku. Aku masih ingat senyum kecut yang kau berikan untuk pertama kalinya padaku, tidak ramah namun mampu meruntuhkan seluruh benteng pertahanan hatiku untuk pria lain.
Kau berbeda, aku dapat melihat semua itu dari cara kau berbicara, entahlah, aku bingung. Bagaimana hanya dengan sentilan senyum kecut, kau mampu menggoyahkan kerasnya hatiku. Semakin mengenalmu, aku semakin terhanyut dalam pusaran ombak yang ku sebut ‘harapan’ untuk meraihmu. Namun, pada akhirnya aku tahu. Tidak semua keinginan dapat ku selaraskan menjadi kenyataan bukan? Iya, semesta memang sedang tidak berpihak kepadaku.
Aku seperti terhalang oleh bayangan lain ketika ingin mengambit tanganmu untuk berlari bersamaku. Aku terjengkang jatuh, tersungkur dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Aku terhalang tembok besar yang menyebabkan ‘kita’ tidak dapat menyatu. Ketika aku menangkap secercah harap, kau berlari menyimpan harapan lain. Begitu terus hingga aku merasa letih sendiri.
Aku kembali menatap langit malam ini. Mendung, namun bintang masih saja setia menghiasi setiap jengkal kegelapan langit yang terlihat seperti pucat pasi. Sama seperti diriku, mencoba menyembunyikan setiap luka yang membuat dadaku menggigil nyeri, menyembunyikan sembab mata yang di sebabkan oleh kesedihan yang tak seharusnya ku dapatkan.
‘Aku merindukan nya’ sederhana namun cukup pahit untuk di dengar. Malam, kau selalu menjadi saksi kesenduanku, bisakah tolong sampaikan salam rinduku padanya? Setidaknya untuk menjadi alasan dari lekukan senyum terakhirnya sebelum tidur.
ditulis @NidyaUtamiP dalam http://nidyauputri.tumblr.com
No comments:
Post a Comment