Thursday, September 13, 2012

Ini Indonesia, Sayang.


"Sayang, coba dengerin ini. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", celoteh Ami penuh semangat.

"Hmm..terus?", sahut Adri sabar sambil memandang lurus ke depan. Sore ini, jalanan sekitar Jalan Basuki Rahmat terbilang padat. Butuh konsentrasi lebih untuk mengendarai Jazzy, mobil kesayangannya. Lengah sedikit, bunyi klakson kendaraan lain pasti langsung berbunyi bersahutan.

"Pasal 2 ayat 1, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Undang-Undangnya ga jelas".

"Ga jelas gimana? Aku ga ngerti hukum, ngertinya cuma desain produk!".

"Aku bilang ga jelas, karena Pasal 1 bilangnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, which means selama kita menganut suatu agama, apapun itu, kita boleh nikah. Tapi di Pasal lanjutannya bilang, dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Tuh, ga jelas kan? Ini niatnya, mau bikin peraturan perundang-undangan atau norma agama?".

*****

Diandra Utami Baskoro, biasa dipanggil Ami, mahasiswi hukum semester dua yang cerdas, cantik tapi super tomboy. Baginya, segala sesuatu itu harus jelas, apapun alasannya dan sekecil apapun masalahnya. Sedangkan pacarnya, Adrian Basudewo atau Adri, mahasiswa desain produk dengan semester yang sama, adalah laki-laki berprinsip "live for today" dan menghadapi segala sesuatu dengan santai.

Mereka sudah berpacaran selama 3 tahun, tepat saat pengambilan rapor kenaikan kelas 2 SMA. Perbedaan mereka terlalu mencolok. Baik dari sifat, kegemaran sampai di hal paling asasi, yaitu keyakinan. Ami dilahirkan dari keluarga Muslim, sedangkan Adri menemui takdirnya terlahir dalam keluarga Katolik. Mereka hanya yakin, manusia tidak akan mampu mengelak apapun yang sudah digariskan Tuhan. Apapun maksud Tuhan, pasti ada maksud dan cerita indah di di dalamnya.

Adri dan Ami adalah teman masa kecil ketika bersekolah di sebuah SD swasta. Sejak kecil, Ami yang memang sudah tomboy, sungguh amat sangat membenci Adri. Simpel, ini hanya karena celetukan Adri persis ketika hari pertama mereka naik ke kelas 3.

"Hah, udah besar gini...si cewek tomboy ke sekolah masih aja dianter mama. Anak mama nih yee..."

Ami yang sudah bad mood dari berangkat sekolah karena masih mengantuk, dengan cepat melepas sepatunya lalu melempar ke arah Adri. Dan yak...lemparan itu mengenai Adri, tepat di baju seragam putihnya. Jejak sepatu Ami pun tercetak di seragam Adri. Sejak itu, mereka resmi bermusuhan.

Saat hari kelulusan tiba, para guru sudah meminta mereka untuk saling memaafkan dan berdamai. Tapi, mereka bertahan. Ami pun memilih melewati Adri, ketika sesi bersalaman dengan seluruh teman-teman. Adri pun juga tampak tidak terlalu merisaukan keberatan Ami. Adri memilih membawa pergi seluruh kenangannya dengan mengikuti ayahnya ke Jakarta karena urusan dinas.

Tiga tahun kemudian, Adri kembali ke Surabaya, kota masa kecilnya. Disini, tangan Tuhan menuntun mereka, dipertemukan kembali dengan bersekolah di SMA yang sama juga satu kelompok MOS. Segala bentuk kerjasama dan kekompakan tim, akhirnya memaksa mereka berdamai dan melupakan kekonyolan masa kecil.

Hingga akhirnya sore ini. Selepas Adri menemani Ami membeli Undang-Undang Perkawinan, dengan penuh emosi Ami mengomentari beberapa Pasal di Undang-Undang itu.

*****

"Sayang, udah deh...ga perlu berapi-api gitu kasih komentarnya. Peraturan itu pasti dibuat karena juga menghormati ajaran agama masing-masing. Kalau terlalu murni peraturan tanpa peduli norma atau ajaran agama, bisa-bisa para legislatif itu semakin dihujat, dibilang bikin peraturan ga becus. Kamu boleh bebas berpendapat, itu sepenuhnya hakmu buat kasih pendapat tapi ingat, ini Indonesia sayang... Kita hidup dengan banyak norma dan ajaran agama," papar Adri dengan dengan nada bijaksana.

"Iya..iya, aku tahu tapi kamu sadar ga sih, Dri? Kalau kayak gini caranya, dengan aturan yang kayak gini terus, nantinya kita pasti ga dikasih kemudahan buat nikah sama negara!"

"Apa? Nikah? Hahahahaha, kamu mikirnya kejauhan sayang! Kita ini masih kuliah, masih semester dua. Mikir kuliah dulu, terus lulus, cari kerja, nabung. Nah setelah itu, baru deh mikir nikah. Lagian kenapa kamu mendadak bahas soal nikah?"

"Yee...emangnya ada larangan "yang masih kuliah dilarang mikir nikah"? Eh yang, ini nanti mampir ke masjid dulu ya, aku mau sholat Ashar. Di Al Falah aja deh. Nah, kamu sekalian ikut yuk! Kabarnya, di sana tempat rujukan buat dituntun jadi muallaf terus bisa dapat semacam surat keterangan kalau kamu sudah jadi mualaf, mau ya?"

"Nah mulai deh, ajakannya. Ga perlu mikirin itu dulu. Mikir yang dijalani sekarang aja. Bukan berarti aku ga sayang kamu, Ami...tapi ini bukan obrolan yang bisa diputuskan dalam waktu satu malam".

"Tapi, Dri..."

"Apa? Mau protes kenapa kita dipertemukan? Kenapa kita dipersatukan? Ini niat Tuhan, rencanaNya. Apapun yang terjadi, kamu jangan pernah sekalipun memprotes atau menyalahkan Tuhan. Jalani yang ada sekarang. Apapun yang terjadi, terjadilah. Ayo, ini sudah sampai Al Falah. Buruan turun terus sholat. Yang khusyuk, sebut namaku di doamu juga ya, kalau boleh....hehehehe"

"Iya..iya, aku turun. Nanti aku sebut namamu, nama kita, di doaku paling akhir. Aku harap, Allah sudah mulai mengenalmu, setelah resmi aku ceritakan segala sesuatunya tentang kamu padaNya, sejak 3 tahun yang lalu..."

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta, tak kan bisa pergi....

(Marcel - Peri Cintaku)


Ditulis oleh @vandakemala dalam http://myredstrawberry.blogspot.com

No comments:

Post a Comment