“Sayang, untuk foodtesting besok aku gak bisa antar ya. Aku ada tugas mendadak harus ke Kalimantan mala mini juga. Kamu minta temenin aja sama Mbak Dewi atau adik kamu, atau sama Fania.”
“Iya Sayang, gampang kok. Nanti aku minta temenin salah satu dari mereka.”
“Kalau kamu mau sama Mbak Dewi, nanti aku telepon nih.”
“Udah biar aku yang urus aja Sayang. Gak apa kok. Kamu selesain dulu aja kerjaan kamu. Biar kamu bisa cuti.”
“Siap nyonya.”
Akhirnya, tiga bulan lagi aku akan menjadi nyonya Asep Danu Setiawan. Hari yang kunantikan akan segera tiba. Aku akan menjalani pernikahan dengan pria yang sudah memilihku menjadi pendampingnya. Pria yang mencintaiku dan aku cintai juga tentunya.
Aku dan Mas Danu tak perlu berpacaran lama, cukup enam bulan kami sudah memantapkan hati untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Perkenalan kami adalah hasil perjodohan Mbak Dewi, istri dari sepupunya Mas Danu. Rupanya kami merasa saling klik setelah jalan beberapa kali. Usia Mas Danu sudah 32 tahun dan aku 25 tahun. Jadi kami segera kan saja niat baik ini.
Meskipun orang Sunda, Danu tak masalah kupanggil Mas. Dia orang yang sederhana, bertanggung jawab dan taat beribadah. Kriteria yang cukup menurutku. Pekerjaannya juga sudah lumayan. Ah, aku tak sabar menantikan hari itu.
***
“Gimana Mbak Dew tadi makanannya?”
“Enak semua ya Cit. Kamu dapet rekomendasi dari siapa?”
“Dari Fania Mbak. Dia kan kemarin nikah pake catering itu.”jelasku, “tinggal cari rekanan buat gedungnya nih Mbak.”
“Jangan cari yang jauh-jauh lho Cit. Kasian yang dari Bandung.”
“Iya, kami cari sekitaran Jakarta aja kok Mbak.”
Kami berdiskusi tentang persiapan ini itu di sebuah café di jalan Surabaya. Untung saja aku mengajak Mbak Dewi. Keadaannya yang sudah menikah cukup membantuku mempersiapkan ini itu. Tadinya aku hendak mengajak sahabatku Fania atau Diah, tapi mereka sibuknya luar biasa.
“Mbak, abis ini aku mau belanja bulanan dulu ya.”
“Ya sudah. Mbak ikut aja.”
Aku dan Mbak Dewi berbelanja di supermarket tak jauh dari café tadi. Saat hendak membayar belanjaan, aku melihat sosok yang sangat aku kenal di kasir sebelah. Rupanya pria itu pun sudah mengamatiku dari tadi. Kami bertemu pandang.
Deg, Ryo? Bukan, pasti bukan Ryo. Aku hanya salah lihat. Tidak. Pria itu benar Ryo. Mengapa ada Ryo di sini? Di Jakarta?
Aduh, dia akan menghampiriku. Mbak Dewi mana ya? Aku celingak-celinguk. Baru saja aku berbalik badan hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba bahuku ditepuk. “Mau ke mana Cit?”
Aku gelagapan, “Eh, hmmm..Mbak Dewi, dari tadi aku cari-cari.”
“Yuk, Mbak sudah selesai nih tadi bayar di kasir pojok.”
“Permisi, maaf mengganggu.” Ujar pria tadi yang ternyata memang benar Ryo. Aku hampir saja lupa bahwa tadi sebenarnya aku ingin menghindarinya.
Aku tersenyum kecut. Mbak Dewi tidak melihat ekspresiku. Dia masih terpukau pada Ryo yang saat itu terlihat cukup tampan. Tidak, sangat tampan.
“Apa kabar Cit?” ujar Ryo sambil menjulurkan tangan
“O, teman kamu Cit. Mbak kirain siapa.”
Aku masih membiarkan tangannya menggantung dengan bebas di udara.
Aku buru-buru membalas jabatan tangannya sebelum Mbak Dewi curiga, “Baik.” Jawabku berusaha sewajar mungkin.
“Oiya, Mbak Dewi, kenalin ini Ryo.”
“Ryo, Mbak.” Ucap Ryo ramah
Dia masih seramah dulu. Aku ingat. Dulu, jika aku jalan bersama sahabatku dan mengajak Ryo, pasti dia yang mengajak kenalan lebih dulu. Walau usia kami terpaut lima tahun, dia tidak pernah merasa sok tua atau gila hormat. Dia terlihat mudah berbaur dengan sahabatku juga pacar sahabatku. Sifat ramah dan supelnyalah yang membuat sahabatku respek kepadanya.
“Maaf ya, kami buru-buru.” Kataku tak ingin berlama-lama
“Sampai bertemu lagi, Cit.” balasnya pelan namun aku mendengarnya dengan jelas
Di mobil aku melamun. Aku masih terheran dengan keberadaan dia di supermarket tadi. Bagaimana bisa? Bukankah dia tinggal di Bangka? Tadi sepertinya kulihat dia sendiri. Ke mana istrinya?
“Mantan kamu ya Cit?” tanya Mbak Dewi membuyarkan lamunanku
Nggg..gimana Mbak Dewi bisa tahu ya? Batinku.
“Iya, Mbak. Kok bisa tahu?”tanyaku penasaran
“Nebak,” senyum Mbak Dewi menggoda
Aku tak ingin membahasnya. Untung saja Mbak Dewi tidak melanjutkan percakapan ini. Mbak Dewi sepertinya tahu, dia pun mulai membahas persiapan pernikahanku.
***
Sebulan sudah tak terasa, aku makin disibukkan dengan persiapan pernikahanku. Fikasasi gedung, persiapan foto prawedding, cari seragam untuk keluarga dan sahabat.
Aku tak sendiri mempersiapkan semuanya. Jika senggang, Mas Danu selalu menyediakan waktu. Aku sengaja tak menggunakan jasa WO. Aku bilang pada Mas Danu, tidak ingin pernikahan yang terlalu mewah dan aku sendiri ingin menyiapkan segalanya untuk pernikahan kami. Mas Danu juga tidak keberatan, asal aku sanggup katanya. Pekerjaanku jauh lebih ringan dan senggang. Aku hanya mengajar beberapa mata kuliah di semester ini, plus tiga mahasiswa yang bimbingan skripsi padaku.
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi dari nomor telepon yang tak kukenal. Karena sedang dalam keadaan yang riweuh seperti ini aku pun mengangkatnya.
“Assalamualaikum,” sapaku
“Walaikumsalam.” Jawab suara di sebrang.
Sepertinya tidak asing. Gumamku
“Ini Citra Larasati Subagio?”
“Iya benar. Maaf ini siapa?”
“Ini Ryo, Cit. Ryo Geronimo Harahap.”
Deg.
“Jangan ditutup Cit.” lanjutnya
“Mau apa kamu? Tau dari siapa nomor teleponku?”
“Aku hanya ingin bicara Citra, aku tahu nomor teleponmu dari Fania. Aku ingin bertemu kamu lagi.”
“Untuk apa? Kemarin kita sudah bertemu kan.”jawabku ketus
“Ayolah Cit. Sebentar saja. Makan siang saja.”bujuknya
Entah bagaimana, aku pun mengiyakan.
***
Dia sudah menungguku di restoran ini. Aku melihatnya duduk di pojokan.
“Kenapa tadi gak mau aku jemput, Cit?”
“Tidak, aku suka tidak merepotkan.”
Dia hanya tersenyum. “Kamu masih seperti dulu ya, tidak suka merepotkan orang. Mandiri.”
“Kamu juga masih seperti dulu. Datang dan menghilang tiba-tiba.”balasku singit
“Dan kamu tetap tak mau kalah.”
“Kamu juga tetap egois.”balasnya
“Jadi mau kamu ketemu hanya ini?”tanyaku, “kalau iya, maaf aku tak punya banyak waktu.”tambahku seraya siap-siap pergi.
“Santai dulu lah Cit. Istirahat. Kamu terlalu sibuk sepertinya, wajahmu sampai kuyu begitu, ada lingkaran hitam di bawah matamu.” Ucapnya memerhatikan penampilanku
Aku hanya diam
“Bagaimana persiapan pernikahanmu?”
Lho, dia tahu aku mau menikah? tanyaku dalam hati heran
“Aku tahu dari Fania.” Jawabnya seperti dapat membaca pikiranku
Iya, sepertinya dia tahu semua tentangku dari Fania. Sahabatku yang juga mantan kakak iparnya.
Ryo mulai menceritakan tentang kehidupannya. Kenapa dia bisa berada di sini. Jadi, dia yang baru sebelas bulan menikah ini sedang dalam proses perceraian dengan istrinya. Ryo yang menggugat. Dia mendapati istrinya berselingkuh. Untuk itu, Ryo meminta dipindahtugaskan kembali ke Jakarta.
Aku hanya mendengarkan ceritanya. Kasihan, tapi itu semua sudah bukan urusanku.
“Aku tahu, aku dulu menyiakanmu. Hanya kamu yang setia kepadaku, tak pernah berpaling. Bodohnya aku yang sudah membuangmu. Aku mohon maaf Citra.”
“Sudah aku maafkan.”jawabku
“Kalau bisa, aku hanya ingin kamu kembali Citra, dalam hidupku.”
“Apa??”tanyaku kaget
“Aku hanya ingin mendapat kesempatan kedua Citra. Aku mohon.”pintanya
“Kamu gila ya? Aku sudah akan menikah. Satu setengah bulan lagi.”
“Masih ada waktu untuk membatalkanya Citra. Aku tahu, kamu masih cinta padaku. Aku bisa lihat dari matamu.”
Aku memang masih mencintaimu Ryo, dulu. Sebelum aku bertemu Mas Danu, yang membalut lukaku.
“Kamu sudah gila, Ryo.” Ujarku sambil meninggalkannya.
***
Aku kira hanya sampai saat itu saja kenekatan Ryo. Ternyata tidak. Selang beberapa hari dia datang ke rumahku. Orang-orang di rumahku sempat heran. Tapi tidak bertanya banyak. “Hanya ingin silaturahmi,”jawabku bohong.
Sekali dua kali, aku tak menemuinya. Hanya membiarkan Ryo bicara dengan ibu atau ayahku. Lama-lama aku tidak enak kepada orang tuaku. Calon istri orang tapi masih ditemui oleh mantan pacarnya. Akhirnya aku mengajak Ryo untuk berbicara di luar. Ryo merasa berhasil
Beberapa kali aku jadi sering keluar bersama Ryo. Ryo juga kerap menjemputku di kampus. Mengajakku makan siang, makan malam, menonton. Tanpa sepengetahuan Mas Danu, aku melakukan semua ini. Aku merasa bersalah. Tapi perasaan rindu pada Ryo ini terlalu dalam. Rasa penasaran mengapa dulu dia meninggalkanku datang. Aku ingin mengulang yang telah lalu.
Bangkai yang disimpan lama-lama tercium juga. Mas Danu mulai mencium gelagat yang tidak beres padaku. Akhirnya ketika menjemputku, Mas Danu memergoki kami. Aku kaget. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Mas Danu memintaku naik ke mobilnya. Aku menuruti.
“Aku sudah merasakan memang ada yang berbeda Citra. Sejak Mbak Dewi cerita kamu bertemu Ryo.” Ujarnya membuka pembicaraan. “Bagaimana kamu bisa melakukan semua ini. Pernikahan kita hanya tinggal sebulan lagi Citra.” Ujar Mas Danu sabar.
Dia masih berbicara dengan lemah lembut. Aku jadi semakin merasa bersalah. Aku meneteskan air mata.
“Maafkan aku, Mas. Kami tidak berbuat apa-apa.” Jelasku
“Aku tahu. Kamu tak akan seperti itu. Apa kamu tidak yakin Citra denganku? Kalau kamu masih belum yakin, kita bisa memundurkan rencana kita. Atau kamu mau kita membatalkanya?”
“Tidak, Mas. Demi Tuhan. Aku memcintai kamu. Hanya kamu yang aku inginkan menjadi pendampingku, menemaniku.”
“Jangan bawa-bawa Tuhan Citra. Aku tahu, kamu masih ragu dengan perasaanmu sendiri. Lebih baik kamu pikirkan lagi.”
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku menangis.
“Tolong jangan menangis terus Citra. Aku tak tega melihat wanita yang kucintai mengucurkan air mata.” Dia masih dengan sabarnya menghapus air mataku.
Tuhan, mengapa aku masih bisa tergoda dengan masa laluku. Padahal kau sudah mengirim malaikat untuk masa depanku.
Mas Danu masih mengantarku sampai rumah, tapi dia tak mampir. Dia langsung pulang. Sebelum berpisah tadi dia sempat berkata. “Citra, perbuatanmu tadi tak menghapus rasa cintaku. Hanya saja sepertinya kita butuh waktu untuk berpikir. Apakah kita bisa melanjutkan semuanya, atau justru menyerah kalah pada keadaan seperti ini. Lebih baik kita tak perlu berkomunikasi dulu.” Ujarnya. Mataku kembali berair. Mas Danu masih sempat mengecup keningku.
Aku langsung masuk dalam kamar. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku takut Mas Danu membatalkan pernikahan ini. Tapi tadi Mas Danu bilang dia hanya ingin berpikir, kami hanya perlu berpikir.
***
Pernikahanku tinggal dua minggu lagi. Undangan sudah mulai siap untuk disebar. Tapi aku masih belum tahu apakah rencana pernikahan ini masih tetap akan berlanjut atau tidak. Aku menyesal. Aku mencoba menghubungi Mas Danu, tapi dia menolaknya. Akhirnya aku menghubungi Mbak Dewi. Mas Danu sedang di Bandung katanya, menjernihkan pikiran.
Hariku benar-benar hampa. Ryo mencoba menghubungiku, tapi aku tak mengangkatnya. Dia ke rumah pun kutolak. Aku benar-benar sudah tidak ingin bertemu dengannya.
Tiap malam aku menangis. Aku sadar bahwa aku memang sungguh mencintai Mas Danu, tak bisa jauh darinya.
Tak semestinya ku merasa sepi .. Kau dan aku ditempat berbeda
Seribu satu alasan..Melemahkan tubuh ini
Aku di sini mengingat dirimu .. Kumenangis tanpa air mata
Bagai bintang tak bersinar.. Redup hati ini
Besok pagi aku harus menyusul Mas Danu ke Bandung. Aku harus menyelamatkan cintaku, cinta kami.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat. Aku minta doa restu kedua orang tuaku. Aku sudah bilang pada Mbak Dewi untuk menahan Mas Danu di rumah saja. Aku akan ke rumahnya.
Sampai di rumahnya, Mas Danu belum bangun. Ibunya bilang Danu sedang gila-gilanya kerja saat ada masalah denganku. Ibunya ingin kami terus melanjutkan rencana kami ini. Aku mohon maaf pada ibunya bahwa sudah terjadi masalah ini. Aku meyakinkan ibunya kalau aku sungguh-sugguh mencintai anaknya, dan tak akan membuatnya terluka lagi.
“Danu juga cinta sama kamu Citra. Dia jadi gak ada semangat hidup sejak jauh dari kamu. Yang dia ingat Cuma kerja, kerja, dan kerja.” Aku meneteskan air mata mendengarkan penjelasan ibunya.
Tak lama, kudengar pintu kamar terbuka. Aku melihat sosok yang sungguh aku rindukan. Kalau tidak ingat ini sedang di rumahnya, ingin aku menghambur ke pelukannya dan menciuminya. Dia sudah tampak rapi, seperti hendak berangkat kerja. Mas Danu sepertinya kaget melihat sosokku sepagi ini sudah di rumahnya.
“Citra,” katanya tidak menyembunyikan kekagetannya
Aku melihat matanya bersinar dan bibirya menyunggingkan senyuman. Ah, tatapan dan senyuman yang benar-benar aku rindukan. Ibunya meninggalkan kami. Dia tampak menelepon sebentar. Dan memintaku menunggu.
“Sebentar ya Citra, aku telepon kantor dulu.”
Heran, Mas Danu santai sekali. Seolah tak terjadi apa-apa pada kami. Aku menjadi takut. Benar benar takut.
“Kita bicara di halaman belakang saja ya Cit.” ajaknya begitu muncul di hadapanku
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku hanya mengikuti. Sedari dulu aku mengagumi halaman belakang rumah Mas Danu. Dan dia pun tau hal itu.
“Gimana Cit, sehat?” tanyanya
“Mas, aku mau kita bersama lagi.” Ujarku langsung ke inti permasalahan kami
“Kamu yakin?”
“Sangat yakin.”ujarku mantap
“Tapi mengapa aku masih melihatmu tidak yakin Citra.”bantah Mas Danu
“Aku yakin Mas, aku yakin dengan cintaku, dengan cinta kamu, cinta kita. Aku rindu kamu Mas.” Ujarku berusaha keras tidak mengeluarkan air mata.
“Aku juga rindu kamu Citra. Semula aku tak ingin menemuimu, mengangkat semua telepon dan membalas semua pesanmu. Tadi malam Mbak Dewi bilang kamu ingin ke Bandung. Semula aku ragu, tapi aku menunggumu Citra.”
Aku mendengarkannya. Rasa cintanya ternyata memang tak terhapus waktu dan salahku.
“Aku hanya ingin kamu berpikir bahwa aku memang berarti untukmu.”
“Kamu memang sangat berarti untukku, Mas.” Ujarku berani memeluknya dari belakang.
Betapa aku rindu punggung ini.
“Aku sudah berbicara pada Ryo. Dulu aku memang mencintainya, tapi sekarang hanya ada kamu. Aku akan tampak bodoh bila menukar apa yang kupunya saat ini hanya dengan masa laluku yang semu.”
Mas Danu berlalu dan memelukku. “Kau lama banget sih Cit sadarnya.”
Aku hanya bisa nyengir.
“Kamu pasti gak cek email dari aku ya?”
“Hah? Email apa?”
“Huuu..pantes aja, butuh waktu lama kamu ke sini.” Ucapnya sambil mencubit hidungku.
“Ah, aku kangen kamu, Citra.” Katanya sambil mendekapku erat. “Coba aja kamu cek ya email dari aku.”
Aku tak sabar, kubuka langsung, ternyata dia mengirim video sedang bermain gitar dan menyanyikan sebuah lagu.”
“Hai, Citra Larasati Subagio.. Aku rindu kamu, aku ingin selalu bersama denganmu. Kembalilah dan datanglah padaku. Ini lagu untukmu.”
Tak semestinya ku merasa sepi …Kau dan aku ditempat berbeda
Seribu satu alasan… Melemahkan tubuh ini
Aku di sini mengingat dirimu.. Kumenangis tanpa air mata
Bagai bintang tak bersinar … Redup hati ini
Reff: dan ku mengerti sekarang .. ternyata kita menyatu
di dalam kasih yang suci.. kuakui kamu lah cintaku
“Lho, kok lagu ini? Ngikutin ah kamu..” ledekku, “aku juga kemarin sering dengar lagu ini kalau ingat kamu.”
“Iya Cit, aku ingin kamu yang jadi cinta terakhirku.”
“Aku pun Mas.”
“Jadi kita jadi nikah kan ya?”
Aku tersipu malu.
“Asiikkk..” kataya sambil mencoba menggendongku.
“Harusnya kita udah mau dipingit nih Mas.”
Hahahaha… kami tertawa mesra. Beruntung aku memiliki pria seperti Mas Danu. Semua ini berkat doa restu kedua orang tua kami. Semoga hubungan kami abadi.
ditulis @hutamiayu dalam hutamiayu.tumblr.com | Cinta Terakhir
No comments:
Post a Comment