Monday, September 24, 2012

Kini

17 tahun yang lalu

“Kan sudah Papa bilang. Kalau main hati-hati.”

Ucapanmu masih kuingat jelas. Aku hanya mengangguk-angguk sambil sesegukkan setelah kepalaku terbentur dan mengalami luka robek hingga harus di jahit untuk tiga bulan lamanya.

Begitulah akibatnya karenaku telah mengabaikan petuahmu. Dengan penuh kekhawatiran berbalut kelembutan, kamu malah balik memelukku; memberi kenyamanan.

“Aku rindu bermanja denganmu, Pa.”, sahut batinku. Kini.

..Teringat masa kecilku
Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Buatku melambung..

*

13 tahun yang lalu

“Malam ini mau sendirian atau sama Papa?”

“Sama Papa!”

Ada ketegasan dan kesumringahan dalam suaraku saat diberikan pilihan olehmu ketika kita sama-sama ingin menutup malam. Aku yang sudah beranjak remaja tapi tetap belum berani untuk tidur sendiri.

Trik yang kamu lakukan tak pernah berhasil untuk bisa mengubah kebiasaanku tidur terpisah denganmu. Trik dimana kamu menemaniku tidur hampir setiap malam hingga kuterlelap di kamarku sendiri, lalu diam-diam kamu pergi ke kamar tidurmu. Trik yang bertahan hanya sejam atau dua jam, karena esok paginya kamu selalu menemukanku sudah berada di sampingmu.

Bukan salahku, kalau aku jadi tergantung padamu. Aku memang tidak bisa tidur sendiri malam hari. Aku merasa aman berada di dekatmu; melihat garis-garis wajahmu, mendengar melodi nafasmu yang tak teratur saat mendengkur, terlebih ada saja cerita-cerita jenaka atau pun bijak yang sesekali kaututurkan menjelang tidur.

Selain itu, aku tahu kamu kesepian di atas tempat tidurmu sejak kepergian Mama di usiaku lima tahun. Aku bisa merasakan hal itu. Dan untuk itu aku ada untukmu.

“Aku rindu melihatmu seutuhnya, Papa.”, lagi batinku berucap. Kini.

..Disisimu terngiang
Hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi
Serta harapanmu..

*

6 tahun yang lalu

“Terserah kamu. Aku memang sudah tua. Tak ada gunanya lagi.”

Tersirat keputusasaan dalam kalimat yang keluar dari mulutmu. Bibirku pun kelu.

“Mudah-mudahan tanpa Papa, kamu baik-baik saja.”

Aku bergeming.

Dilematis. Satu sisi aku memang tidak tega meninggalkannya. Tapi di sisi lain, aku ingin membenahi kehidupanku yang penuh aib.

Tidak ingatkah, kau pernah mengajarkanku untuk berpikir matang-matang sebelum memutuskan solusinya bila menemukan masalah? Tidak?

Masih ingatkah, kau juga pernah mengajarkanku untuk jangan masuk ke dalam lubang yang sama? Masih?

Bukan aku tak mematuhimu. Memang tidak bisa lagi, aku untuk mematuhimu. Bagiku, takkan durhaka jika tak patuh padamu kali ini. Alasanku yang utama, karena kamu bukanlah orangtuaku yang sesungguhnya. Kamu adalah adik ayahku yang menggantikan figur mereka saat aku menjadi yatim piatu di usiaku yang masih bayi. Alasan lainnya, rasa yang kita punya selama ini sangat salah. Bertahun-tahun aku telah berpikir dan terpaksa menjalani kehidupan denganmu sampai membuka mata dan otakku. Kita bukanlah suami-istri. Kita adalah ponakan laki-laki dan paman.

Jadi, keputusanku sudah bulat dan ini jalan terbaik bagi kita berdua. Bagimu dan bagiku.

‘Aku telah memaafkanmu, Pa.’, banjir air mata sudah. Kini.

..Kau ingin ku menjadi yang terbaik bagimu.
Patuhi perintahmu. Jauhkan godaan.
Yang mungkin kulakukan dalam waktuku beranjak dewasa.
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak..

*

Kini…

Ada rindu.

Ada bangga.

Ada rasa syukur.

Ada sesal.

Ada ketakutan.

Ada kemarahan.

Ada kebencian.

Ada ketegasan.

Perasaanku campur aduk ketika mengingat semua peristiwa yang telah kualami bersama lelaki yang kusebut Papa.

Kutaruh sebuket bunga bersisian dengan nisan kuburmu. Kucukupkan juga untuk berada di sana, lalu beranjak pergi, membelakangi gundukan tanah yang sudah berumur empat tahun dan baru kali ini aku berani mengunjungi untuk melihat dan sekedar menyapa. Menumpahkan segala rasaku.

Kini, aku siap pulang kembali kepada istri dan anakku.

-selesai-



*terinspirasi dari lagu Ada Band ft Gita Gutawa – Yang Terbaik Bagimu

*terinspirasi juga dari istilah Gerontophilia, Pedophilia dan Incest











ditulis @TengkuAR dalam http://tengkuar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment