Monday, September 3, 2012
Kisah Yang Salah
“Halo, Vaza.”
“Iya, Tristan. Ada apa?”
“Aku jemput, ya.”
“Oke.”
“Vaza, aku udah di depan kantormu.”
“Oke, aku turun sekarang.”
“Udah lama nunggu, Tris?”
“Baru kok.”
“Mau kemana? Langsung pulang?”
“Makan dulu ya, ada yang mau aku bicarain sama kamu.”
“Oke.”
Vaza, wanita yang mengisi relung hatiku selama lebih dari setahun. Segalanya tentang dia selalu menjadi semangat untuk hariku. Namun kini terasa berbeda. Aku tahu mengapa. Namun bibirku terlalu takut mengucapnya.
akhirnya kita ada
di akhir yang menyakitkan
kusadar kita telah melangkah
terlalu dalam
Vaza membesarkan volume radio mobilku. Sial, mengapa harus lagu ini!
“Hari Minggu besok Glenn Fredly konser tunggal loh, Tris. Kita nonton, yuk?!” Ucapnya bersemangat.
“…”
“Tris, kok diem aja sih?”
Aku menghentikan laju mobilku.
“Aku nggak bisa, Za.”
“Kenapa?”
“Aku belum bisa bilang alasannya sekarang.”
“Ada masalah apa sih kamu, Tris? Aku punya salah sama kamu?” Vaza bergelayut manja di lenganku.
“Nanti kamu juga tahu sendiri.”
“Tris?”
“Za, kita langsung pulang aja ya.”
“Katanya mau ada yang diomongin? Nggak jadi makan dulu?”
“Aku udah nggak laper, nggak jadi Za, mungkin bukan waktu yang tepat.”
Aku lajukan mobilku ke rumahnya lalu kuturunkan Vaza di depan rumahnya, raut wajahnya masih menyisakan tanda tanya.
“Ohya, besok pagi jam setengah delapan aku tunggu kamu di rumahku, ya.”
“Ada apa?”
“Datang saja, jangan sampai nggak datang ya, Za.”
***
“Pagi, Tris!”
“Pagi, Sa. Udah sampe sini aja.”
“Haha, iya dong, lebih cepat lebih baik kan?”
“Iya sih, tapi Dendinya belum dateng.”
“Paling bentar lagi dia nyampe, tadi bilang sama gue udah di taksi. Kenapa sih tuh anak nggak mau dijemput di bandara?”
“Ah, dia, kaya lo nggak tau aja, suka aneh-aneh. Biarin aja deh, biar nggak ngerepotin.”
“Haha, tega lo. Eh, Vaza mana?”
“Udah gue telpon, lagi jalan menuju kesini.”
Tak lama pintu rumahku diketuk. Begitu daun pintu kubuka, sosok itu langsung memelukku.
“Tristan! Apa kabar lo? Kangen banget gue!”
“Baik, Den, lo perginya kelamaan sih.”
“Risa, makasih banget loh udah mau dateng.”
“Gue mau jemput lo bahkan, tapi lo nya nggak mau! Welcome back, Den!”
“Vaza mana?”
Ting tong
Bel rumahku berbunyi, itu pasti Vaza. Dengan semangat 45, Dendi membukakan pintu untuk Vaza.
“Vaza, aku kangen banget sama kamu.”
Dendi memeluk Vaza. Dari dalam pelukan Dendi, Vaza melemparkan tatapan penuh tanya kepadaku.
“Dendi, kamu udah pulang? Kok nggak bilang-bilang sama aku sih?”
“Aku mau bikin kejutan buat kamu, sayang.”
***
“Kenapa kamu nggak bilang sama aku sih, Tris?”
“Dendi mau bikin kejutan buat kamu.”
“Ya, seenggaknya kamu kasih tau aku dulu. Biar aku nggak kaget.”
“Seharusnya kamu nggak perlu kaget, Za. Memang sudah seharusnya Dendi pulang kan?”
Vaza terdiam, mukanya murung.
“Terus kamu mau apa?”
sadari bahwa kita
sudah taklukkan terlarang
tak mungkin ku perjuangkan cinta
yang kita mulai dengan salah
“Hai, sayang. Loh, Tris? Lo udah sampe juga?”
“Iya, tadi nggak sengaja ketemu Vaza di depan.”
“Kita tunggu Risa dulu sebentar ya.”
“Itu Risa.”
Setelah kami berempat duduk dan memesan makanan, Dendi menggenggam tangan Vaza.
“Kalian setuju nggak kalau aku nikah sama Vaza?”
“Den, kamu serius?”
“Iya, Vaza sayang. Kamu mau kan nikah sama aku?”
“Gue setuju! Selamat ya buat kalian berdua.” Risa berseru.
Dari ujung mataku aku lihat mata Vaza menatapku. Yang aku lakukan hanya bisa tersenyum getir.
“Apapun itu, selama itu bikin lo bahagia, gue pasti dukung lo, Den.” Ucapku akhirnya.
***
“Tris, kenapa sih?”
“Kenapa apanya, Za?”
“Kenapa kamu pasrah gitu aja? Kamu udah nggak sayang sama aku?”
“Za, kenapa sih kamu selalu nuntut aku begini nuntut aku begitu, dari awal kita udah komitmen nggak pake hati. Walaupun nyatanya pada akhirnya kita main hati. Tapi ini salah, Za. Aku, kamu, kita, nggak pernah bisa.”
“Tris, kamu jahat banget ya.”
“Za, Dendi sepupu aku, dan dia tunangan kamu, dan kamu akan nikah dengan dia.”
“Aku bisa putusin dia.”
“Jangan gila, Za!”
“Tapi, Tris…”
“Aku anter kamu pulang sekarang.”
simpanlah kisah tersembunyi ini
maafkan kisah kita harus berakhir di sini
***
“Tris, kamu nggak papa?”
“Nggak apa-apa kok, Ris.”
Aku dan Risa sedang berada dalam perjalanan kami ke acara akad nikah Vaza dan Dendi. Di jalan, aku tak banyak bercakap. Diam mungkin lebih baik.
Setelah acara akad selesai, acara resepsi digelar. Vaza tampak cantik, dia memang pantas bersanding dengan Dendi yang sangat tampan.
Dengan langkah yang berat aku naik ke atas pelaminan untuk memberikan selamat kepada mereka berdua, bersama Risa.
“Dendi, selamat ya, akhirnya sahabat gue nikah juga. Yang langgeng sampe kakek nenek ya.”
“Lo juga cepetan nyusul dong, Ris.”
“Haha, sama siapa?”
“Sama sepupu gue yang sok cool itu loh.” Ucap Dendi sambil melirikku.
Aku hanya tersenyum kecil.
Bisakah aku membuka hati untuk Risa?
“Vaza, selamat ya.” Risa memeluk Vaza.
“Bro, selamat, cepet kasih gue keponakan.”
“Cepetan nyusul lah, bro.”
“Doain aja lah, haha. Hei, Vaza.” Aku menatap matanya, lama, diapun menatap mataku, dalam.
“Jaga sepupu gue baik-baik ya, jangan sakitin hatinya, dia orang baik. Gue yakin dia pasti selalu bisa bahagiain lo.” Aku berbisik di telinganya.
Ketika aku akan turun, Vaza menarik lenganku, aku menepisnya, kulingkarkan tanganku pada pinggang Risa. Risa nampak kaget, kulemparkan senyuman terbaikku untuk Risa, lalu kami menuruni tangga pelaminan, meninggalkan Vaza dan Dendi, meninggalkan segala kenangan tentang Vaza. Mungkin begini lebih baik.
aku tak mampu untuk menyimpan
rahasia kisah kita
tahukah kamu batinku tersiksa
saat harus selalu… berdusta
di dalam sebuah kisah yang salah
***
2 September 2012
#17TahunGlennFredly
ditulis @liakhairunnisa dalam http://machahazelbee.tumblr.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment