Tuesday, September 11, 2012

Pengakuan Hati

Sedikit terengah-engah aku sampai di rumah, disambut ibu yang duduk merajut, melirik sekilas dari balik kacamatanya yang melorot ke ujung hidungnya yang mancung.

“Dari mana kamu ngos-ngosan begitu?” Tanyanya sambil terus merajut.

“Ketemu bapak. Di Halte.” Jawabku datar.

“Jangan ngawur kamu. Semua orang juga tahu kalau dia sudah meninggal.” Kali ini diletakkannya rajutannya dan memandangku serius.

“Yasudah kalau ndak percaya. Aku mandi dulu bu, gerah.”Ucapku tak menunggu responnya.

“Ya begitu anak sekarang. Suka lari dari masalah. Mandi sana yang bersih, sekalian segarkan isi kepala kamu yang mulai ruwet itu.” Tutup ibu.

Memang begitu kalau janda. Sensitif. Apalagi kalau menyangkut bapak. Kasihan ibu. Tapi aku memang bertemu bapak. Mungkin ini hadiah, atas rinduku pada beliau dalam bentuk halusinasi.

***

Akhirnya aku mendapat pekerjaan setelah dua belas hari luntang-lantung mencari di seputaran Jakarta yang ganas ini. Pelayan, di sebuah kedai kopi modern. Biarlah, asal halal.

Padahal aku tak suka kopi. Aroma kopi sering membuat mataku berair sembari kembali ke masa lalu, saat bapak masih ada. Ia duduk minum kopi dan membaca koran, dan aku bermain masak-masakan di sekitarnya.

Aku dan ibu memang tidak akrab. Entahlah, kami memang seolah dipasangkan pada garis darah yang salah. Dia dengan segala tingkah kunonya yang berlebihan, dan aku yang terlalu kekinian dan keras kepala.

Bahkan dulu mereka bilang, dia bukanlah ibu kandungku. Perbedaan kami terlalu jelas dari segi manapun, baik fisik, kegemaran, dan banyak hal lainnya. Ah, mungkin aku terbaca terlalu membesar-besarkan.

***

Keesokan pagi aku bangun. Sepi. Hanya suaraku yang sedang menguap dan hembusan angin pada horden yang menampar-nampar kawat anti nyamuk pada jendela kamar yang bersuara. Tak ada gemericik air cuci piring, atau bunyi krompyangan dapur biasa ibu memasak, juga tak ada suara siaran berita samar-samar dari tivi di ruang tengah. Kemana ibu?

Aku melawan rasa malasku dan bangkit mencari-cari sebab sepi ini. Berkeliling rumah dan menemukan ibu tersungkur di dapur tentu membuat aku sadar seketika dan panik.

Dengan pakaian seadanya aku menuju rumah sakit, setelah dibantu para tetangga mengangkat ibu ke mobil. Kenapa ibu?


Mamma, you gave life to me, turned a baby, into a lady

Mamma, all you had to offer, was the promise of, a lifetime of love

Now I know, there is no other, love like a mother’s love for her child

And I know, a love so complete, someday must leave, must say goodbye ..

Perasaanku berantakan, lagu ini semakin membuatku menyesali semuanya. Sikap kasar dan tak peduliku pada ibu, jawaban-jawaban ketus yang tak semestinya kulontarkan. Keangkuhanku. Maafkan aku, bu.

Selama kurang lebih dua jam menunggu di ruang tunggu Unit Gawat Darurat, akhirnya dokter keluar menemuiku.

“Ibumu sudah membaik, ia kekurangan banyak cairan. Kapan kau lihat terakhir kali ia makan?” Ini pertanyaan yang menampar keras wajahku. Kapan ya dia makan terakhir kali? Aku tidak tahu. Terdiam lama, dokter menepuk pundakku.

“Kalian bertengkar?” Katanya lagi. Dia memang dokter keluarga kami. Rasa-rasanya banyak yang sudah dikeluhkan ibu padanya.

“Sedikit dok” jawabku akhirnya.

“Ibumu sedikit tertekan, dia sudah sadar. Tapi masih enggan bicara. Sepertinya sedang sangat sedih. Ajak dia makan.” Kata dokter lagi.

“Baik dokter, terima kasih.” Ucapku.

Aku sudah duduk di samping tempat tidur ibu. Tangan kanannya dipenuhi selang infus. Wajahnya pucat.

“Kapan terakhir kali ibu makan?”Kataku akhirnya setelah hening sekian menit.

“Sudahlah tak usah diperpanjang.”Ujarnya

“Apanya yang diperpanjang? Aku cuma nanya.”Kataku

“Dua hari yang lalu.”Jawabnya

“Sial. Untuk ap..”

“Ibu bilang sudah tak usah diperpanjang.” Katanya memotong ucapanku

“Urusan ini memang sudah panjang karena ibu sampai harus dirawat di ruangan ini, bu. Sekarang mari kita bicara saja, agar tidak membesar masalah kita.” Kataku sedikit menekankan suaraku.

“Ibu kangen bapakmu. Sejak dua hari ke makam beliau, justru semakin rindu. Rasa-rasanya ingin menyusulnya.” Ucapnya menerawang

“Apa aku kelihatan tak begitu berartinya bagi ibu? Sampai ingin menyusul bapak segala. Mau membiarkan aku menghadapi kesedihan ini sendirian begitu?” Tanyaku

“Bukan.. Ibu..” Suaranya terhenti. Bibirnya bergetar dan menetes air matanya.

“Sekarang ibu makan. Aku benci ibu cengeng. Harusnya kita saling menguatkan, bukan saling meninggalkan. Maafkan sikapku selama ini. Aku menyayangimu, bu. Ini aku bawakan sup kesukaan ibu.”Kataku menghapus air matanya.

Akhirnya keluar juga kata sayang itu, kata-kata yang seharusnya lebih sering kuucapkan kepada ibu.

ditulis @ikavuje dalam http://eqoxa.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment