Tuesday, September 11, 2012

Sesalku Tak Berujung, Ayah

Aku sedang duduk menyelesaikan sebuah laporan yang harus segera ku laporkan pada atasanku, ketika ponselku berdering. ‘AYAH’ itu nama yang ku lihat pada display ponselku. Aku mencoba menebak maksud kenapa dia menghubungiku. Hmm, paling dia hanya membutuhkan uang.
“Halo, Ayah. Kenapa?” kataku cuek.
“Assalamu Alaikum, nak. Bagaimana kabarmu?” kata Ayah dari seberang.
“Baik saja, Ayah. Ayah kenapa? Butuh uang lagi? Nantinya saya transfer. Ayah mau berapa?” kataku sambil mengamati laporan pada display laptop.
“Bukan, nak. Bukan itu. Ayah rindu padamu. Ayah ingin bertemu denganmu,” kata ayah dengan nada bergetar.
“Oh, begitu. Maaf, ayah. Saya sedang sibuk. Tak ada waktu untuk pulang,” kataku.
“Wah, kamu sibuk, nak. Ayah sangat rindu ingin mengobrol denganmu. Kapan kamu akan menikah, nak?” kata ayah membuka pembicaraan.
“Aduh, maaf ayah. Saya sedang sibuk,” kataku singkat.
“Nak, apa ibadahmu teratur? Kamu masih sering mengirimkan doa untuk almarhuma ibumu kan?” kata ayah lagi.
“Iya, Ayah. Nanti saya akan menghubungi ayah kembali,” kataku kemudian mematikan ponselku. “Mengganggu saja orang tua ini.” kataku dalam hati.
Kembali aku melanjutkan pekerjaanku. Tak lama kemudian, nada pesan berbunyi dari ponselku. Aku membacanya karena berfikir itu pesan penting. Dan ternyata pesan itu datang dari ayahku.

    Akbar, ayah ingin ke Jakarta.
    Ayah ingin berkunjung ke rumahmu.
    Ayah merindukanmu, nak.


Hah? Ayah mau kesini? Oh, tidak! Itu hanya akan membuatku malu. Segera ku balas pesan itu dengan pesan bertuliskan “Tidak, Ayah!”. Lalu ku lanjutkan kembali pekerjaanku. Lima menit kemudian ayah kembali membalas pesanku.

        Kalau begitu, kapan kau akan mengunjungi ayah, nak?
        Ayah sangat merindukanmu! Ingin sekali ayah memelukmu.
        Berkunjunglah kemari. Bawa calon istrimu dan perkenalkan pada ayah.


Aku hanya membaca tanpa membalas pesannya. Mengganggu saja ayah ini. Membuat konsentrasiku buyar. Huuhhh…
Aku kemudian bersandar di kursi kemudian berbalik memandangi langit biru dari kaca jendela kantorku. Sejenak aku berfikir. Tidak. Ayah tidak boleh berkunjung kesini. Itu hanya akan membuatku malu. Mau disimpan dimana mukaku ini ketika nanti teman-temanku melihat orang tua miskin dan kolot itu kesini? Lagi pula, dia tidak akan bisa tinggal di apartemen mewahku. Dia tidak terbiasa dengan lingkungan mewah, juga tidak bisa menggunakan teknologi canggih.
Aku masih ingat saat pertama kali ayah menginjakkan kaki di Jakarta. Waktu itu dia memilih menggunakan kapal daripada pesawat. Katanya lebih murah naik kapal. Padahal kan yang membayar bukan dia tapi aku. Hmm, itu alasan dia saja. Dianya saja yang takut naik pesawat. Kampungan sih.
Yang lebih menyebalkan lagi ketika dia muntah di dalam mobilku. Dia beralasan mual saat mencium bau parfum mobilku. Dasar wong ndeso. Kebiasaan naik angkot sih. Dikasi tumpangan mobil mewah malah muntah.
Yang tak kalah, menyebalkan adalah ketika dia ku ajak menginap di apartemenku yang dulu. Dia kembali muntah ketika menggunakan lift. Hal tersebut seperti mencoreng mukaku di hadapan tetangga-tetangga dan pengelola apartemen. Terlanjur malu, aku terpaksa meninggalkan apatemen itu dan mencari apartemen baru.
Selain itu, cara berfikir ayah masih kolot. Dia sangat kaget melihat wanita-wanita kota dengan pakaian terbuka serta pola kehidupan di kota ini yang sangat jauh berbeda dari kehidupan di kampung sana. Dasar orang kampung memang.
Yang membuatku muak adalah penampilannya yang tidak modis sama sekali. Dia memilih menggunakan baju kokoh murahan dengan celana kain atau pun sarung murahan. Baju mewah yang kubeli dari toko-toko ternama enggan di pakainya. Dan juga, peci hitam itu yang sering dipakainya kemana-mana. Itu membuatku muak dan malu mengakuinya sebagai ayah.
Kita beda ayah, cara hidup kita beda. Aku kaya dan engkau miskin. Aku modern dan engkau kolot. Akan sangat memalukan ketika teman-teman dan relasiku mengetahui seperti apa engkau, ayahku.
Kau ingin bertemu dengan calon istriku? Oh, jangan! Tidak, ayah. Tidak akan ku biarkan. Apa kata calon istriku nanti? Apa kata keluarganya? Aku akan sangat malu ketika istriku mengetahui bahwa aku berasal dari keluarga yang miskin. Asal kau tahu, ayah. Istriku berasal dari keluarga yang kaya raya. Dia juga seorang dokter. Mana mungkin aku membawanya ke rumahmu, di kampung yang jauh disana. Kau fikir calon istriku mau tinggal di gubuk tuamu itu?
Aku menghela nafas panjang. Kemudian mempersiapkan diri untuk menghadiri rapat yang akan berlangsung lima menit lagi. Ku coba menghilangkan ingatanku dari segala cerita tentang ayahku. Aku melangkah memasuki ruang rapat dan peserta rapat lainnya telah menunggu.
Tiga jam kemudian rapat selesai dengan hasil sesuai dengan yang ku inginkan. Ya, aku sukses. Sekali lagi aku sukses. Aku memang selalu sukses, nyaris tak pernah gagal. Saat ku melihat ponsel-ku Nampak pada display enam belas pesan masuk. Ketika ku membuka semua pesan berasal dari Ayah. Isinya tak begitu penting. Hanya ungkapan rindunya sertanya ungkapan ingin bertemu denganku. Segera saja kubalas pesan itu.
 Ayah, aku akan mengirimkanmu uang. Tolong jangan terus menggangguku.
  Aku sibuk!
***
Seminggu berlalu dengan cepat. Segala urusan dan pekerjaanku berjalan dengan baik. Aku melakukan rutinitasku dengan lancar setiap harinya. Setiap hari Ayah terus saja mengirimiku pesan masih dengan maksud yang sama. Pesan yang berisi ungkapan rindu dan ingin bertemu. Tetapi ku biarkan saja dan tak kuhiraukan.
Ku akui sudah tiga tahun aku tak pernah pulang ke rumahnya, kampung halamanku. Aku memang malas kembali ke kampung itu. Suasananya membuatku tak nyaman. Tak ada minimarket, banyak serangga yang mengganggu, kasur yang tak empuk, dan suasana yang membosankan. Saat hari raya tiba, aku hanya menelpon atau mengirim pesan singkat.
Setelah seminggu lebih ayah terus-terusan menggangguku dengan mengirim pesan atau menelpon, tiga hari belakangan ini ayah tidak lagi melakukannya. Mungkin capek sendiri dia tak ku pedulikan.
Malam menujukkan pukul delapan ketika aku sedang berada di apartemenku. Aku berniat memindahkan lemari tua dan usang dari rotan yang menghiasi ruang kerjaku ke gudang. Aku berniat menggantinya dengan yang baru.
Saat meletakkan lemari tua tersebut di gudang, aku tak sengaja menyenggol sebuah kardus dan menumpahkan isinya. Ku mendekati memeriksa isi kardus tersebut. Isinya dua buah album foto dan lembaran-lembaran kertas tua dengan tulisan tangan yang masih jelas terbaca. Aku mengambil dan membawanya keluar untuk memeriksa isinya.
Ini adalah album foto tua yang berisi foto-foto diriku dari masa lalu. Serta surat-surat yang rutin ayah kirimkan untukku saat aku masih kuliah dulu. Aku tersenyum melihat diriku yang kecil dan polos didampingi kedua orang tuaku dengan senyum bahagianya pada sebuah foto hitam putih. Aku anak ayah dan ibu satu-satunya. Ku buka lembar demi lembar dan terus tersenyum melihat gambar-gambar hitam putih itu.
Nampak di foto ini, ayah sedang memeluk diriku memegang sebuah piala. Yah, itu saat aku menjadi juara pada lomba matematika sekabupaten. Betapa bangga ayah pada diriku saat itu. Aku tersenyum kembali melihat fotoku bersama ayah di sebuah pelabuhan dengan kapal besar sebagai latarnya. Itu adalah saat pertama kali aku akan berangkat ke Jakarta, memenuhi undangan dari pihak Universitas Indonesia untuk melanjutkan kuliahku disana.
Terus kubuka lembar demi lembar album foto itu. Dadaku bergetar ketika ku melihat foto ayah bersama diriku dengan pakaian wisuda dan topi toga. Aku tiba-tiba merindukan ayah. Masih teringat saat ayah menitihkan airmata memelukku sambil berkata, “Kini kau seorang sarjana, nak. Anak ayah seorang insinyur. Ayah bangga padamu. Ibumu juga pasti sangat bangga padamu.”
Kulihat surat-surat ayah yang dulu sering dia kirimkan untukku. Masih teringat jelas di kepalaku. Setiap bulan aku dan teman-teman kuliahku menantikan kiriman amplop dari orang tua masing-masing. Bedanya, isi amplop mereka adalah uang, sedangkan amplop untukku berisi surat dari ayahku. Saat itu aku mendapatkan beasiswa untuk biaya kuliahku sehingga ayah tak perlu pusing memikirkan biaya kuliahku.
Air mataku tiba-tiba menetes. Aku menyesali diriku sendiri. Dulu, ketika komunikasi dengan ayah masih sangat sulit dengan jasa pos, aku masih sering berkomunikasi dengannya. Namun, mengapa kini ketika komunikasi demikian mudah dengan ponsel, aku malah jarang berkomunikasi dengannya.Aku kemudian mengambil ponselku dan mencoba menghubungi ayahku. Dadaku semakin bergetar.
“Halo,” kata suara dari seberang namun bukanlah ayahku.
“Halo, ini siapa? Mana ayahku?”
“Ini Pak Amin, nak. Tetangga sebelah. Masih kamu ingatkan?”
“Oh, iya. Mana ayah saya, pak?”
“Begini, nak. Ayahmu sedang sakit. Sudah tiga hari dia terbaring lemah di rumah,”
“Sakit? Kenapa tak di bawa ke dokter?” kataku dengan nada tinggi.
“Disini tak ada dokter nak. Rumah sakit sangat jauh. Kami sudah membawanya ke puskesmas kampung sini.”
“Apa? Puskesmas? Ya, Tuhan. Sakit apa ayahku?”
“Kau tak tahu, nak? Ayahmu menderita penyakit paru-paru sejak lama. Kemarin dia muntah darah,”
“Apa? Kenapa dia tak pernah memberitahuku? Tolong dekatkan ponsel itu padanya. Aku ingin berbicara dengannya,”
“Akbar,” suara ayah terlihat lemah dari seberang.
Aku menangis lalu berkata ”Ayah, maafkan aku. Betapa sombongnya aku padamu, ayah. Kau yang membesarkanku hingga seperti ini. Lalu, apa balasanku padamu? Uang? Maafkan aku, ayah. Betapa bodohnya aku ini. Maafkan aku, ayah. Aku durhaka terhadapmu. Maafkan aku, ayah.”
“Ayah memaafkanmu. Ayah menyayangimu, Akbar.” Suara ayah terdengar sangat lemah dari seberang. Tak dapat ku tahan air mataku.
“Tunggu aku ayah. Aku akan datang menjengukmu. Sabar ya, Ayah. Aku segera pulang,” kataku.
Tak lama kemudian aku memutuskan sambungan telepon kemudian mengemas barangku bermaksud pulang menjenguk ayahku. Aku teringat pesan ayah yang ingin melihat calon istriku. Calon istriku seorang dokter ayah. Sudah sepatutnya dia mengobatimu. Dia seharusnya mengenalmu ayah.
Ku ambil ponselku mencoba menghubungi Dina, dokter cantik yang sangat kucintai dan akan ku nikahi nantinya.
“Halo,” suara lembut dari seberang.
“Din, aku membutuhkanmu.” kataku sambil terisak.
“Sayang, kamu kenapa?”
“Apa kau benar-benar mencintaiku?”
“Tentu saja, Akbar. Ada apa? Kenapa kau ini?”
“Bukankah kau ingin mengenal keluargaku? Aku ingin mengajakmu menemui ayahku.”
“Tentu saja aku mau, Akbar.”
“Tapi berjanjilah. Kau akan tetap bersamaku, kau akan tetap mau menikah denganku setelah kau mengetahui seperti apa keluargaku dan seperti apa tempat asalku.”
“Akbar, ada apa ini. Apa maksudmu?”
“Aku berasal dari kampung kecil, Din. Aku berasal dari keluarga miskin. Tak sepertimu,”
“Hey, Akbar. Lalu apa masalahnya? Lagi pula kenapa aku harus mempermasalahkannya?”
“Berkemaslah. Kita harus berangkat ke Sulawesi. Ayahku sakit keras. Ku mohon ikutlah denganku. Dia ingin mengenalmu. Kau pun harus mengobatinya.”
“Baiklah. Aku berkemas. Ku tunggu kau menjemputku.”
Aku bergegas mempersiapkan diriku. Menghubungi salah satu temanku di sebuah maskapai penerbangan bermaksud memesan dua buah tiket pesawat yang akan segera berangkat ke bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Beruntung aku mendapatkan tiket pesawat yang akan berangkat tiga jam lagi.
Aku berangkat menjemput Dina, lalu menuju bandara. Aku memeluknya. Tak dapat ku tahan tangisku. Aku kemudian menangis di pelukannya, mencurahkan semua penyesalanku. Dia melepaskan pelukannya lalu mengusap air mataku, kemudian tersenyum sambil berkata, “Belum terlambat, sayang. Kau bisa berubah dari sekarang. Percayalah, aku akan tetap bersamamu apa pun yang terjadi,”.
***
Kami mendarat di bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan merental sebuah mobil Avansa ke sebuah desa di Kabupaten Sidrap. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam, sampailah kami ke sebuah desa kecil. Dadaku semakin bergetar saat menginjakkan kaki di depan rumah. Rumah panggung yang masih kokoh dengan dinding bambu di bawahnya sebagai kandang ayam. Sumur tua di halaman rumah masih dimanfaatkan hingga kini. Suara bebek dan angsa terdengar dari kolam di samping rumah. Tak ada yang berubah kecuali bendera putih yang berkibar di pagar depan rumahku.
Aku menggenggam tangan Dina erat kemudian melangkah memasuki halaman. Tetangga berkumpul ramai di halaman rumah menyambut kedatangan kami. Terdengar lantunan surat Yasin dari dalam rumah. Aku melangkah gontai didampingin Dina, menahan tangis dan perih di dalam dada.
Aku dan Dina melangkah menaiki anak tangga kemudian memasuki pintu. Aku bungkam melihat sosok ayahku yang terbaring tertutup kain. Aku melangkah mendekatinya. Perlahan air mataku menetes. Aku tak kuasa menahan tangis ketika kubuka kain yang menutupi wajahnya yang Nampak bercahaya sambil tersenyum. Aku memeluknya kemudian menangis sejadi-jadinya. Tak dapat kulukiskan dengan kata-kata penyesalan diriku. Wajah ini terakhir kulihat tiga tahun yang lalu. Dan wajah ini kulihat untuk terakhir kalinya hari ini.
Dina mencoba menenangkan diriku. Di genggamnya tanganku kemudian berbisik, “Sayang, sudahlah. Tak ada gunanya kau menangis. Lebih baik kita mendoakannya dan melepas kepergiannya dengan ikhlas. Itu akan membuatnya lebih tenang,”.
“Kau tak tahu, Din. Kau tak merasakan apa yang kurasakan. Aku durhaka terhadapnya. Aku menelantarkannya. Aku menyia-nyiakannya di saat-saat akhir hidupnya. Seminggu yang lalu di terus merengek ingin bertemu denganku, dia ingin mengobrol denganku, dia ingin mengenalmu. Tapi tak kuhiraukan. Dan kau tak akan tahu pedih yang kurasakan. Aku tak sempat bertemu dengannya, Din. Aku tak sempat merasakan hangat peluknya, tak sempat mendengar nasehatnya, tak sempat mengenalkanmu padanya,” aku menunduk sambil menangis terisak-isak.
“Hei, dia masih disini. Raganya terbaring di depanmu dan mungkin saja jiwanya ada di samping atau dihadapanmu,” katanya sambil memegang kedua pipiku.
Aku hanya menangis dan menyesali diriku. Ku pegang tangannya yang masih menempel di pipiku kemudian menggenggamnya erat. Aku duduk di bersama Dina di samping jasad ayah, kemudian berkata, “Ayah, maafkan aku. Aku durhaka terhadapmu. Aku tak memperdulikanmu selama beberapa tahun ini, Ayah. Maafkan aku telah menyia-nyiakanmu. Aku bahkan tak sempat merawatmu. Aku menyayangimu, Ayah. Maafkan aku yang dibutakan oleh harta. Aku ini bodoh, Ayah.” aku menarik nafas menahan tangis yang terisak-isak. Aku menggenggam erat tangan Dina lalu berkata “Ayah, ini Dina. Ini calon menantumu, Ayah. Harusnya kuperkenalkan dari dulu padamu agar dia bisa mengobatimu. Dia seorang dokter, Ayah. Betapa bodohnya aku ini,” aku tak kuasa menahan tangis kemudian kembali memeluk jasad ayahku.
***
Lima tahun kemudian…
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Aku duduk santai di sofa ruang keluarga rumahku. Tak sengaja ku temukan remote radio-tape di sampingku. Iseng aku menekan tombol on, kemudian terdengar lantunan lagu berjudul Ayah yang dinyanyikan oleh Ariel feat Candil:
Dimana akan kucari
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi

Untuk Ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata dipipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

Lihatlah hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah aku ingin bertemu
Denganmu aku bernyanyi

Air mataku mentes mendengar alunan lagi itu. Ayah, aku merindukanmu. aku sangat menyesali diriku ayah. Mengapa saat dulu kau masih hidup, aku tak merindukanmu. Kini, saat kau tiada aku merindukanmu. Aku merindukan suaramu, Ayah. Aku merindukan pesansingkatmu yang selalu memenuhi inbox ponselku. Aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin memelukmu, Ayah. Aku merindukanmu, amat sangat merindukanmu. Ayah…Aku mencintaimu...

ditulis @Ddeedott dalam http://hanyasekedarceritaa.blogspot.com

No comments:

Post a Comment