Monday, September 24, 2012
Satu Cinta Sebesar Semesta
AK-47 yang ditenteng terasa mengiris bahu seorang tentara yang tampak sedikit berlari di tengah tandusnya kamp-kamp pengungsian. Kalung name tag besi bertuliskan “Garcia Rodriguez” tampak menjuntai kesana kemari dari lehernya. Garcia tak pernah membayangkan selama 24 tahun hidupnya ia bakal ikut kemiliteran seperti saat ini, apalagi dikirim ke daerah tandus, berpasir, dan terik macam Afghanistan.
Sebelum menjalani hari-harinya sebagai tentara, Garcia hanyalah seorang tukang reparasi TV di pinggiran Los Angeles. Ia tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah lama meninggal dan adiknya entah berada dimana. Bertahun-tahun lamanya ia tak berjumpa Pedro semenjak adiknya itu berniat mencari kerja di New York. Keluarga Rodriguez adalah imigran, dan seperti kebanyakan imigran lainnya, mereka miskin.
Meski begitu, nyonya Rodriguez tak pernah luput mendidik anak-anaknya soal Tuhan. “Tuhan selalu memanjakan kita. Ia tak pernah lupa memberikan udara untuk kita hirup, pagi untuk kita sapa, dan malam untuk kita peluk saat lelah,” Kata nyonya Rodriguez suatu ketika. Garcia sebenarnya tak begitu percaya dengan sesuatu yang tak bisa panca indera-nya tangkap, tapi ia menerima segala nasihat Ibunya, termasuk mencium salib saat hendak tidur.
Ibu Garcia sudah lama sakit-sakitan, dan uang dari reparasi TV hanya sanggup untuk menyicil beberapa resep obat saja. Ibunya butuh berada di tangan professional, namun batasan ekonomi menghalangi niatan Garcia. Ia mencintai ibunya. Sangat mencintainya. Layaknya orang yang penuh cinta, Garcia takut kehilangan.
Sampai suatu ketika Garcia melihat formulir kemiliteran Amerika. Batinnya berkata bahwa sukses dalam militer berarti sukses dalam keuangan, dan dengan itu ibunya bisa sembuh. Dan disinilah ia sekarang, di kamp-kamp pengungsian yang tandus dan berpasir, karena semua yang ia lakukan berujung pada satu wanita yang paling dicintainya: Ibu. Bagi Garcia, Ibunya telah memberikan hanya satu cinta, namun besarnya melebihi semesta, dan tidak akan anggup bagi Garcia untuk membalas cinta sang Ibu.
* * *
“Berhentilah bermalas-malasan dan cepat ke sini, idiot!” si Sersan tak henti-hentinya berteriak layaknya orang bodoh. “Perintah dari pusat! Perintah dari pusat!”
Garcia berlari bersama rekan-rekannya sampai ke suatu tenda. Sersannya sudah menunggu di dalam, dengan radio di tangan dan bertumpuk-tumpuk kertas berhamburan di hadapannya. “Berita ini baru masuk dari pusat,” kata Sersan itu pelan, berbeda dengan intonasi suara yang biasa ia lakukan saat memerintah anak buahnya, “Lokasi pemimpin teroris dan resisten Timur Tengah ditemukan.”
Hening sesaat, Sersan itu kemudian melanjutkan, “Lokasi persembunyian resisten berada di sini,” Sersan itu melingkarkan setitik daerah kecil di peta di hadapannya. “Bunuh setiap orang yang kalian anggap mecurigakan. Sisanya lakukan semau kalian. Jelas? Atau ada pertanyaan?”
Tak ada pertanyaan. Sersan itu kemudian mengangguk dan berkata, “Kita berangkat besok pagi buta. Sekarang, bubar!”
Garcia kembali ke baraknya. “Kau siap untuk aksi besok?” katanya kepada rekannya yang sudah berada di dalam barak lebih dulu.
“Tentu saja!” jawab rekannya.
“Apa kau pernah membayangkan bagaimana jadinya kita setelah ini? Ah! Aku kangen rumah! Aku ingin melihat ibuku tersenyum bangga,”
“Aku malah ingin bertemu tunanganku,”
“Kita akan membantai pria-pria berjenggot lebat esok, dan kita akan dianggap pahlawan karenanya!” jawab Garcia bersemangat.
Garcia tak tahu bahwa cintanya pada ibunya, terlebih lagi cintanya pada Tuhan, justru akan diuji besok.
* * *
Garcia tak pernah menyangka akan hal ini. Tempat persembunyian resisten Timur Tengah adalah pedesaan miskin! Tak ada pria-pria berjenggot lebat dan berwajah kasar, hanya ada wanita, anak-anak, dan pria-pria tua! Sersannya tak henti-hentinya berteriak, “Bunuh mereka! Bunuh mereka!”
Suara desing peluru terus mengudara, namun begitu senapan Garcia belum memuntahkan satu peluru pun. Dalam kebingungannya, Garcia mengikuti seorang rekannya yang berlari menuju salah satu rumah penduduk. Rekannya menendang pintu rumah dan menodongkan senjata ke hadapan seorang wanita tua dan seorang bocah kecil yang meringkuk di pelukan si wanita.
“Giliranmu,” kata rekannya.
“Giliran apa?” Tanya Garcia, bingung dengan kata rekannya.
“Kamu belum membunuh satu orang pun!”
“Tapi mereka hanya wanita dan anak-anak!” suara Garcia gemetar.
“Kita tak bisa mengambil risiko! Tak pernah ada yang tahu apa yang bisa mereka lakukan terhadap negara kita!”
“Tapi..”
“Demi Tuhan!”
Garcia akhirnya memutuskan untuk turut menodongkan senjatanya. Seketika kenangan terhadap ibunya melintas. “Jika musuhmu menampar pipi kirimu, berikan ia pipi kananmu,” Kata ibunya dalam ingatannya, “cintai ia layaknya Tuhan mencintai umat-umatnya.”
Jari Garcia gemetar di sekitar pelatuk senapan. Suara tangis wanita tua dan si bocah terus melintasi telinga Garcia. “Tuhan mencintai kita, Garcia, maka cintailah setiap manusia. Cintailah mereka layaknya saudaramu sendiri,” kata Ibunya lagi dalam ingatannya. Ingatan itu kemudian berubah menjadi sosok ibunya yang tak henti-hentinya batuk berdarah.
Dan seketika suara senapan meletus terdengar dua kali dari rumah wanita tua dan bocah kecil itu.
* * *
Garcia tak bisa tidur malam itu. Air mata sesekali melintasi pipinya. Setelah pembantaian itu, rekan-rekannya sudah terlanjur tidur dan Garcia berniat berdoa di atas ranjangnya. Baru kali ini ia berharap Tuhan tak memalingkan cinta-Nya pada Garcia. Tuhan pasti mencintai ibunya, tapi ia tak yakin apakah Tuhan juga mencintai Garcia, seseorang yang baru saja membunuh wanita tua dan bocah kecil dikarenakan rasa cinta pada sang ibu.
Garcia menggenggam erat salib pemberian ibunya, kemudian berdoa pelan, “Tuhan, apakah ini jalan-Mu? Apakah tindakanku atas rasa cintaku pada Ibu adalah salah di mata-Mu?”
Tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar barak. Sersan berteriak kencang, “Kita dikepung! Siap bertempur semua!” Suara rekan-rekan Garcia saat mengambil dan mengokang senapan masing-masing, suara langkah sepatu-sepatu boot yang terus berderap, suara desing-desing peluru, tampak tak menghentikan doa Garcia di atas ranjang. Ia sedang berada di batas keimanan dan ia butuh berkomunikasi dengan Tuhan.
“Tuhan, maafkan jika selama ini aku tak tahu betapa Engkau mencintai semua makhluk ciptaan-Mu. Aku juga tahu Engkau mencintai wanita tua dan anaknya yang kubunh tadi pagi. Tuhan, apakah aku masih pantas untuk Kau cintai?”
Suara bom meledak di barak dekat barak Garcia terdengar nyaring.
“Tuhan, aku mungkin belum pernah bertemu Dirimu, tapi aku tahu Kau adalah cinta yang siap menjaga Ibu. Aku adalah manusia yang baru saja membunuh atas nama cinta. Aku mungkin tak pantas Kau cintai, aku tahu itu. Aku menyesal karenanya,” Garcia meneteskan air mata, “Tuhan, akan kulakukan apapun agar Kau tetap mencintaiku.”
Wajah bahagia ibunya terlintas di kepala Garcia. Wajah hangat penuh rasa sayang pada anaknya yang sudah menyesali perbuatannya. Tiba-tiba rasa hangat menyelimuti seluruh tubuh Garcia. Ia tahu Tuhan telah memaafkannya. Penyesalannya sungguh-sungguh, dan Garcia menikmati kembali rasa sayang dan cinta Tuhan serta Ibu-nya dalam hatinya. Tuhan adalah cinta, dan hangatnya cinta Tuhan begitu nyaman di tubuhnya.
Hangatnya cinta Tuhan bahkan melebihi hangatnya timah panas yang melintasi jantung Garcia.
(Didasari lagu berjudul “Mama Said” oleh Metallica)
P.S. Teruntuk para Ibu dengan cinta sebesar semesta, dari seorang anak dengan hati yang merindu bahagia
ditulis @rebornsin dalam http://inwordswetrust.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment