Wednesday, September 12, 2012

Semua Demi Neneng


Suasana sangat riuh. Ratusan orang berkumpul di sini, sebuah area pesawahan yang disulap sedemikian rupa menjadi sebuah pasar malam. Hari ini malam terakhir. Seperti biasa, apabila malam terakhir tiba, pihak penyelenggara dan pemerintah setempat selalu mengadakan hiburan ekstra berupa orkes dangdut dari kota.

Berada di sebuah kampung di ujung selatan Jawa Barat yang sangat jauh dari kota, membuat masyarakat di sini haus akan hiburan. Tidak heran, apabila ada acara seperti ini, masyarakat tumpah dari berbagai desa, tidak ada yang mau ketinggalan.

Wahana-wahana permainan terlihat penuh sesak, suara musik berisik terdengar dari segala arah, pedangan-pedagang meneriakkan dagangannya dengan logat Jawa. Orang bilang pasar malam seperti ini biasanya memang berasal dari daerah Jawa, entah Jawa bagian mana.

Akan ada berapa puluh juta uang masayakat yang akan hilang karena nantinya ‘diangkut’ oleh pihak penyelenggara. Masyarakat tidak peduli, apalah arti selembar-dua lembar uang berwarna hijau jika dibandingkan tawa anak-anak mereka yang kegirangan duduk di komidi putar. Begitu pula aku, peduli amat dengan hal-hal penting tersebut, malam ini ada hal lain yang lebih penting dari segalanya, hal yang telah kutunggu-tunggu sejak lama.

Aku menyusuri kerumunan manusia dengan senyum sumringah. Betapa tidak, artis dangdut idolaku akan manggung malam ini, di sini, di kampungku. Siapa lagi kalau bukan Neneng Gurilem, nama yang sudah tidak asing lagi, bukan? Aku mengidolakan dia semenjak kemunculan pertamanya di televisi ketika aku kelas 6 SD. Di samping suara dan penampilannya yang seksi, goyang ulek sambel yang menjadi ciri khasnya pun membuatku jatuh hati. Aku kemudian semakin tergila-gila saat sering merasakan geli yang tak terhingga menyerang pangkal paha ketika wajah dan goyangannya bermain dalam alam bawah sadarku. Dan kunyatakan secara resmi, bahwa dialah objek mimpi basah pertamaku.

Menginjak bangku SMP, hari-hariku selalu dipenuhi oleh bayangan Neneng. Fantasiku semakin merajalela. Hampir setiap malam aku meraup kenikmatan dengan balutan jemari dan lotion, sambil memandang mesra posternya yang terpajang di dinding kamar.

Hingga sekarang aku berada di tingkat SMA, jika ada yang bertanya siapa artis idolaku, dengan bangga dan cepat aku menyebut nama Neneng Gurilem. Ah, ya, aku juga mengucapkan terima kasih kepada sekolahku yang menyediakan mata pelajaran ICT sehingga aku bisa mencari dan memiliki lebih banyak foto dan infromasi mengenai idolaku ini, bahkan aku tidak segan untuk memasang fotonya dan mencantumkan namanya sebagai favorite singer di halaman Facebook-ku.

Untuk bisa mendapatkan album Neneng, aku selalu menyisihkan uang jajan. Neneng merupakan penyanyi dangdut yang paling eksis. Di saat penyanyi dangdut lain timbul dan tenggelam, dia masih eksis tampil di berbagai acara televisi dan konsisten mengeluarkan album setidaknya dua tahun sekali. Pun, di saat sekarang usianya hampir menyentuh kepala tiga, alih-alih keriput, Neneng malah terlihat semakin kencang dan semok.

Aku senang bukan main begitu mendengar bahwa Neneng akan mengunjungi kampungku. Namun ketika itu aku sempat dibuat kaget dengan selentingan kabar yang menyebutkan bahwa Neneng batal datang dikarenakan kurangnya dana. Maka dengan semangat yang menggebu, aku berinisiatif mengadakan pengumpulan sumbangan. Aku sampai rela bolos sekolah karena harus mendatangi rumah-rumah dan toko-toko untuk meminta pasrtisipasi. Demi apa? Demi Neneng.

Suasana bejubel tidak mematahkan semangatku untuk menuju barisan penonton paling depan, aku ingin melihat Neneng lebih dekat. Aku menggenggam erat seseuatu yang sudah kusiapkan dari rumah: sebuah amplop berisi surat dan CD rekaman suaraku sendiri yang menyanyikan sebuah lagu spesial untuk Neneng. Akan  kulemparkan ke panggung pada saat Neneng menyanyi nanti.

Mungkin karena terlalu bersemangat, secara tidak sengaja aku menyenggol salah satu penonton, oh, tepatnya preman. Aku menengok hendak meminta maaf. Sebelum kata maaf keluar dari mulutku, satu hantaman keras mendarat ke pelipis kananku. Seketika suasana menjadi ricuh. Si preman berusaha untuk terus memukulku, namun beruntung aku ditarik oleh penonton yang lain.

Aku dibawa ke posko P3K dan disarankan untuk pulang. Tidak, aku tidak boleh pulang. Ini hanya sebagian kecil dari rintangan untukku supaya bisa bertemu dengan artis idolaku. Setelah kurasa aku kuat, aku kembali berjalan dan menerobos hiruk pikuk manusia.

Ketika sedang sibuk mencari celah, aku mendengar pembawa acara memanggil dan meneriakkan nama Neneng. Aku senang sekaligus gelisah, sebentar lagi Neneng muncul sementara aku belum sampai ke barisan penonton paling depan, masih terjebak di area tengah-tengah. Aku mempercepat langkahku. Tubuhku perlahan terasa panas. Ketika nama Neneng disebutkan untuk yang ketiga kalinya lewat lengkingan pembawa acara, kepalaku tiba-tiba terasa pusing dan pada saat itu juga ingatanku mendadak kabur.

*****

“Kang, sudah bangun?”

Aku membuka mata perlahan, terlihat dua orang laki-laki berseragam putih berada di depan wajahku. Aku mengerjapkan mata, melihat sekeliling. Oh, rupanya aku sedang berada di ruang P3K.

“Sudah saya sarankan untuk pulang, Akang malah keukeuh pengin nonton Neneng.” Salah satu lelaki yang bertugas sebagai perawat itu terkekeh mengejekku.

Aku sedikit emosi. Apa yang mereka tahu tentang aku dan Neneng? Apa yang mereka tahu tentang perjuanganku selama ini untuk Neneng? Tanpa banyak bicara aku beringsut keluar tenda. Kusibak pintu tenda yang terbuat dari plastik, dan….. tiba-tiba aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang kusaksikan dengan kedua mataku.

“Kang, kami pulang duluan ya, sudah malam.”

Mataku perih melihat keadaan sekitar. Kuremas amplop yang dari tadi kupegang. Kubuka, dan kurobek surat yang ada di dalamnya. Aku berteriak sekuat tenaga.

*****

Aku berjalan gontai melewati lapangan dan area wahana permainan yang lampunya sudah mati sebagian. Betapa penyesalan terasa begitu menyakitkan. Langkahku terhenti di sebuah lapak DVD yang masih buka dan sedang memutarkan sebuah lagu dengan kencang.

Kujual baju celana itu semua demi Nyai, aku kerja jadi kuli demi Nyai…
Walaupun Madonna cantik, Marilyn Monroe juga cantik, tetapi bagiku lebih cantik Nyai…
Aku rela korban harta demi Nyai…
Aku rela korban nyawa demi Nyai…

Dalam hati aku ikut menyanyikan lagu tersebut. Lagu yang sama seperti yang sudah kurekam dalam CD yang aku pegang, hanya saja aku mengganti setiap lirik “Nyai” dengan “Neneng”.

Di antara deretan DVD-DVD bajakan, kulihat beberapa sampul DVD yang memamerkan foto Neneng. Aku menatapnya lekat. Neneng balas menatap dan tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumannya. Neneng…..


ditulis @siapapun_ dalam http://siapapun.tumblr.com

No comments:

Post a Comment