“Ma, liet sepatu biruku nggak?” Sherine bertanya pada mamanya sambil membongkar isi lemari sepatunya.
“Sepatu biru yang mana? Sepatu birumu kan ada banyak banget.” jawab mama Sherine.
“Sepatuku, Ma. Yang suka aku pake itu lho. Talinya warnanya putih, Ma.” jawab Sherine sambil mengeluarkan satu per satu kotak sepatu di depannya. Satu per satu kotak-kotak itu dibukanya.
“Oh, yang kucel sobek-sobek itu ya?” tanya mama.
“Itu nggak sobek, Ma. Emang modelnya gitu. Lagian nggak kucel kok kan abis aku cuci. Waktu itu aku cuci trus aku simpen di kotak aku masukin ke lemari sini, Ma.” jawab Sherine.
“Oh, sepatu yang itu. Udah Mama kasih ke Malika, dia seneng banget tuh pas dapet sepatu itu. Untung ukurannya sama kayak ukuranmu.” jawab mama Sherine.
“Hah!? Ngapain juga dikasih ke dia, Ma? Dia kan punya lebih banyak sepatu daripada aku. Lagian kalo dia mau dia juga bisa beli sendiri kan, Ma?” Sherine tak dapat menahan airmatanya lagi.
“Kemarin waktu Mama lagi beres-beres dia minta sepatu itu. Ya udah Mama kasih aja kan. Mama pikir sepatu itu udah nggak kamu pakai lagi. Udah deh nggak usah dibahas lagi, orang udah dikasihin juga masa mau diminta lagi? Ya udah Mama minta maaf, besok kita beli sepatu baru yang sama kayak itu, ya?” ujar mama sambil mengusap kepala Sherine perlahan.
Sherine tak menjawab kata-kata mamanya lagi. Sambil menggerutu dia membereskan kotak-kotak sepatunya dan menatanya kembali di lemari sepatunya. Lalu sambil menahan amarahnya dia kembali ke kamarnya di lantai 2.
Sepatu biru itu bukan sepatu biasa untuknya. Sepatu biru itu hadiah dari papa untuk dia. Pemberian terakhir dari papanya sebelum papa meninggalkan dia dan mamanya untuk selamanya karena penyakit jantung 2 tahun yang lalu. Sepatu itu diberikan kepadanya karena Sherine berhasil meraih juara 1 lomba lari cepat jarak 100 meter tingkat nasional mewakili sekolahnya. Sherine menganggap sepatu itu salah satu benda berharga miliknya. Dia selalu memakai sepatu itu dan menjaganya dengan baik bahkan tak membiarkan orang lain mencuci sepatu itu.
Sepatu itu memang diberikan papa diam-diam untuknya. Mamanya hanya tahu sepatu itu adalah salah satu hadiah dari panitia lomba karena dia berhasil memenangkan perlombaan itu. Mamanya tak pernah mendukung hobi larinya itu. Sementara papa sangat mengerti dan mendukung dia. Bahkan seringkali menemaninya latihan diam-diam di lapangan kosong di dekat rumah mereka. Papanya dulu juga pelari. Meski akhirnya tak menjadi atlit, namun menjadi pelari profesional adalah mimpi terpendam papanya. Karena itu, melihat Sherine memiliki hobi berlari membuat papanya bahagia dan terus menerus mendukungnya. Dan Sherine begitu bahagia saat dia berhasil membuat papanya bangga atas keberhasilan yang diraihnya itu. Setidaknya dia berhasil membuat prestasi sebelum papanya pergi dari dunia ini.
Sherine berhenti berlari semenjak papanya pergi. Dia hanya bisa memendam keinginannya untuk berlari. Apalagi mamanya tak pernah mendukungnya. Dan mamanya semakin melarangnya setelah kepergian papanya. Lagipula dia tak punya waktu lagi untuk menjalani hobinya itu. Terutama sejak dia disibukkan oleh pelajaran tambahan yang harus ditempuh oleh siswa kelas 3 SMA seperti dia.
Lalu, hidup Sherine semakin sibuk setelah datangnya anggota keluarga baru. Setengah tahun yang lalu mama Sherine menikah lagi dengan seorang duda beranak satu. Dan anak yang dibawa oleh papa barunya itu umurnya setahun lebih muda daripada Sherine. Anak itu bernama Malika. Ya. Kepada Malika lah mama memberikan sepatu biru kesayangan Sherine. Seringkali Sherine merasa mamanya begitu sayang pada Malika. Bahkan sampai Sherine menganggap mamanya sudah melupakan dirinya.
Sherine mendengar suara langkah kaki di depan kamarnya. Dia mengenalnya dengan baik. Kemudian dia bergegas keluar kamar dan menyapa pemilik suara itu.
“Ma, sepatu biruku, ada dimana?” tanya Sherine.
“Sepatu biru yang pake tali putih itu maksud lo?” jawab Malika.
“Iya. Balikin dong itu sepatu kesayangan aku.” pinta Sherine kepada Malika.
“Enak aja. Gue suka sepatu itu. Lagian udah dikasih sama Mama lo kok ke gue. Masa mau lo minta gitu aja.” jawab Malika.
“Kenapa sih? Itu kan sepatu lama. Kenapa nggak minta beliin yang baru aja ke Mama? Atau ke Papa kan juga bisa?” ujar Sherine.
“Nggak. Gue udah nyari sepatu itu kemana-mana tapi gue nggak nemu. Gue liet lo punya, dan gue liet Mama lo lagi beresin sepatu itu kayak mau dibuang. Ya udah langsung gue minta.” sahut Malika meninggalkan Sherine menuju kamarnya. Lalu Malika menutup pintu kamarnya dan menguncinya.
Sherine yang masih terdiam di depan pintu kamar menghela nafasnya pelan. Malam hari saat sedang makan malam bersama, Sherine mencoba meminta sepatu itu lagi. Namun masih tetap gagal. Bahkan mendapat bonus bentakan mamanya yang marah karena dia masih saja membahas sepatu biru itu.
Keesokan harinya sebelum berangkat ke sekolah, Sherine mencoba membujuk Malika lagi.
“Ma, please. Sekali lagi aku mohon banget. Tolong kembaliin sepatu biru itu. Aku bakalan lakuin apa aja demi sepatu itu.” ujar Sherine.
“Serius lo? Apa aja?” Malika yang mulai lelah mendengar rengekan Sherine terlihat tertarik dengan tawaran Sherine itu.
Sherine mengangguk mantap melihat Malika yang sepertinya setuju dengan tawarannya.
“Ok. Kalo gitu, gue mau lo beliin gue sepatu baru.” jawab Malika.
“Ok. Sepatu apa?” tanya Sherine.
“Yang jelas gue nggak mau yang murah. Nanti gue pilih-pilih dulu baru gue kasih tau ke lo.” jawab Malika sambil meninggalkan Sherine yang masih berdiri di depan pintu rumah mereka.
…..
“Nih, sepatu yang gue mau.” kata Malika tiba-tiba ketika mereka sedang makan siang berdua di rumah.
“Gila! Ini kan mahal banget. Uang sakuku aja nggak sampai segini, Ma.” sahut Sherine.
“Terserah lo. Kan lo yang nawarin tadi pagi.” ujar Malika asal.
“Ok. Nanti akan aku beliin. Tapi sabar ya.” jawab Sherine.
“Jangan lama-lama, keburu sepatunya diambil orang. Gue nggak mau sepatu yang lain. Kalo lo nggak dapet sepatu ini, sepatu lo akan jadi milik gue selamanya.” kata Malika.
Sherine menyelesaikan makannya segera kemudian menuju ke kamarnya mencari buku tabungannya. Masih ada sisa tabungan yang cukup untuk membeli sepatu itu. Tapi itu hasil tabungannya selama setahun ini. Tabungan itu akan digunakannya sewaktu-waktu jika ada keperluan mendadak. Dan mamanya pasti akan marah jika tahu dia menggunakan tabungan itu untuk membeli sepasang sepatu agar dapat menukarnya dengan sepatu biru kesayangannya.
Tapi Sherine terlalu sayang dengan sepatu biru pemberian papanya itu. Akhirnya dia memutuskan untuk berbicara dengan mamanya sebelum mengambil tabungannya di bank.
“Buat apa kamu ambil-ambil tabungan segala? Beli sepatu mahal banget ngapain sih?” tanya mamanya terkejut mendengar permintaan Sherine.
“Malika yang mau sepatu itu, Ma. Aku udah janji mau beliin itu buat dia. Biar bisa dituker sama sepatu biruku yang waktu itu Mama kasih ke dia.” jawab Sherine.
“Ya Tuhan, kamu masih bahas si sepatu biru itu? Seberharga apa sih sepatu itu sampai-sampai kamu mau menukarnya dengan tabunganmu? Sadar, Sher, sadar!” kata mama Sherine setengah membentak. Tanpa sadar mama mendorong tubuh Sherine hingga Sherine terduduk di tempat tidurnya.
Sherine terdiam. Lalu mulai terisak. Airmatanya tak dapat ditahan lagi. Sesaat dia mengatur nafasnya. Kemudian mencoba menjelaskan kepada mamanya.
“Sepatu itu jauh lebih berharga daripada tabunganku, Ma. Sepatu itu peninggalan terakhir dari Papa. Mama inget nggak, waktu aku menang lomba lari? Waktu itu aku berharap bisa membuka mata Mama dan membuat Mama bangga. Tapi Mama justru marah dan membentakku. Waktu itu cuma Papa yang ada dan menghiburku. Cuma Papa yang mendukungku. Dan Papa memberikan sepatu itu untuk menghiburku. Sepatu itu sepatu kesayanganku. Nggak mungkin bisa tergantikan oleh sepatu-sepatu yang lainnya.” Sherine menyelesaikan kalimatnya kemudian keluar dari kamar meninggalkan kamarnya. Meninggalkan mamanya yang terpaku mendengar penjelasannya. Malika yang sedari tadi menguping pembicaraan Sherine dan mamanya pun ikut terdiam di luar pintu kamar. Dia merasa bersalah.
Malika menghampiri Sherine yang sedang menangis di taman belakang. Dia menepuk pundak Sherine kemudian duduk di sampingnya.
“Ini, punya lo, gue kembaliin.” Malika menyerahkan sepasang sepatu biru kepada Sherine. Sepatu kesayangan milik Sherine.
“Beneran ini?” Sherine mengusap pipinya yang basah karena airmata. Dia memandang ke arah Malika tak percaya.
“Iya, nih. Buruan ambil sebelum gue berubah pikiran.” kata Malika sambil membuang pandangannya ke arah lain dan menyodorkan sepatu itu kepada Sherine.
“Makasih, Ma.” jawab Sherine kemudian merangkul Malika erat. Keduanya terdiam.
“Gue juga punya, barang peninggalan Mama gue. Masih gue simpan sampai sekarang. Maafin gue ya, Sher. Gue nggak tau itu dari Papa lo.” kata Malika.
“Thanks, Ma. Harusnya aku bilang dari awal ya. Mungkin aku nggak mau keliatan cengeng di depan kamu jadinya aku nggak ngasih tau alesan sebenernya kenapa aku pengen banget sepatu ini balik.” ujar Sherine.
“Sher, kita baikan ya? Mau kan lo maafin gue? Dan nerima gue jadi sodara lo? Jadi sahabat lo juga. Cerita ke gue kalo lo punya masalah. Gue juga bakal cerita ke lo kalo gue punya masalah.” kata Malika disambut anggukan oleh Sherine.
Mama yang sedari tadi mengamati, menghampiri mereka lalu menyerahkan sebuah buku berisi catatan papa Sherine.
“Ini punya Papa. Catatan Papa. Termasuk catatan latihan sehari-hari yang dulu Papa tulis untuk melatihmu menjadi pelari yang hebat. Seharusnya Mama nggak melarang kamu, Sher. Mungkin Papa nggak pernah cerita. Papa dulu pernah cedera sampai hampir nggak bisa jalan lagi. Mama takut kamu mengalami hal yang sama. Karena itu dari dulu Mama melarangmu.” mama terdiam sejenak lalu melanjutkan kata-katanya. Sherine mendengarkan mamanya dengan sepenuh hati.
“Mama nggak tau ternyata keinginan kamu sekuat ini. Mama minta maaf ya, Sher? Mama nggak akan melarang kamu lagi. Ini cita-cita Papa, dan cita-cita kamu juga. Mulai sekarang Mama akan mendukungmu sepenuhnya.” ujar mama kemudian memeluk erat Sherine. Malika ikut memeluk Sherine. Dan Sherine pun membalas kedua pelukan itu lebih erat lagi.
Sherine bahagia. Akhirnya sepatu biru kesayangannya kembali kepadanya. Dan terlebih lagi, dia mendapat restu dari mamanya untuk melanjutkan hobinya yang sempat terhenti, yaitu berlari. Meski sedikit terlambat, mulai saat ini dia bertekad akan menjadi atlit lari dan berusaha meraih banyak medali untuk dipersembahkan kepada papanya yang sudah ada di surga sana. Dia berjanji, dia akan mewujudkan cita-citanya dan cita-cita papanya. Dan dia berjanji, dia akan membuat papanya, mamanya, dan orang-orang di sekelilingnya bangga kepadanya.
ditulis @gandess dalam http://gandessitoresmi.tumblr.com | Over The Rainbow
No comments:
Post a Comment