Monday, September 3, 2012

Striptease Dancer


Hari ini sampai juga aku di Bali!

Sebentar, biar kuingat-ingat dulu. Sebelum ke Bali, aku sempat berkeliling Jakarta, setelahnya Bali, Jakarta lagi, dan sekarang kembali ke Bali!

“Cuma urusan wanita ini? Sampai harus bolak-balik Jakarta Bali?” gerutuku.

Jam lima sore baru sempat aku check-in di salah satu hotel. Sengaja aku cari hotel yang agak mahal, toh bukan dengan uangku sendiri nantinya aku bayar. Urusan kantor!

Beberapa saat setelah tubuhku meluncur di atas empuknya kasur hotel, ponsel pintarku berdering.

“Bos! Baru nyampe juga, udah ditelepon!” gerutuku untuk kedua kalinya hari ini. “Ya, bos?! Udah di Bali nih!”

“Oke, Ben! Kalau misi lo kali ini gagal, mending lo cari aja kantor majalah lain buat kerja. Jurnalis kayak lo nggak guna di sini!”

“Iya, iya, Bos! Santai aja napa sih. Lagian gue juga udah siapin surat pengunduran diri.”

“BENNY!!!” pekik bosku dari ujung telepon. Dan bye! Aku matikan sementara ponselku.

Papi Magazine. Redaksi majalah tempatku bekerja memang lebih banyak membahas tentang gaya hidup, lebih tepatnya gaya hidup malam. Majalah untuk kaum pria ataupun wanita dewasa.

Satu tugasku kali ini mendapatkan kisah asli dari striptease dancer yang baru-baru ini booming hampir di semua club malam di Indonesia.

“Christina Indranova…” gumamku sambil mengamati tiket show tunggal Christina di salah satu diskotik terbesar di Bali. Iya, Christina, striptease dancer yang sedang dikejar banyak media untuk mendapatkan wawancara. Termasuk aku yang mengejarnya.

***

19.33 WITA. Sixty Nine Diskotik. Kawasan Kuta, Bali.

Gila, rasanya sayang membuang uang lima ratus ribu hanya untuk menonton seseorang tengah memamerkan kemolekan tubuhnya.

Coba bayangkan, senafsu apapun melihat Christina striptease, dengan uang tiket lima ratus ribu belum bisa untuk membawanya ke ranjangku! Tapi ya terserahlah, bukan uangku juga, uang kantor.

Pelan-pelan aku berjalan memasuki tempat itu, ternyata sudah ada beberapa dancer yang mempersiapkan diri di lantai dansa. Lampu-lampu mulai meredup.

Sesekali aku melihat ke sekelilingku. Yang aku lihat di sini, mereka-mereka ini sepertinya dari kalangan atas. Pengunjung VVIP.

Aku memang sengaja tidak membawa kamera yang biasanya aku pakai untuk bertugas karena memang dilarang. Hanya berbekal satu smartphone malam ini aku bekerja.

“Jennifer Lopez, Papi.” gumamku ketika telingaku mendapati satu lagu yang sedang diputar mengiringi para striptease dancer menari. Ada sekitar empat orang penari latar, dan seseorang berambut blonde terlihat nampak sensual di tengah-tengah lantai pertunjukkan.

Mulailah gairah malam itu tersulut. Sorak-sorai pengunjung terdengar ketika Christina mulai merenggangkan kedua belah kakinya, lalu membelai tubuhnya sendiri.

Now I’m a superlady…

I got my baby, if you got your baby, baby…

Move your body, move your body,

Dance for your papi…

Rock your body, rock your body,

Dance for your papi…

Shining dress. Christina betul-betul terlihat seperti diva di panggung malam. Secara perlahan, satu per satu kain yang ada di tubuhnya terlepas berirama. Seperti biasa, tubuhnya meliuk-liuk di sebuah tiang besi. Benar-benar sang ratu penggoda.

Tak sampai terlepas semua pakaiannya. Dia berhenti di dua helai kain yang tersisa. Kalian pasti tahu di bagian mana. Tak perlu aku sebut, pasti terdengar jorok karena aku tidak tahu bahasa sopannya BH dan.. celana dalam.

Put your hands up in the air,

Dance for your man if you care,

Put your hands up in the air, air, air…

Malam yang gemerlap di tengah-tengah lautan gairah. Christina, kalau saja bisa, biar aku gendong tubuhmu yang menggemaskan itu sampai di kamar hotelku!

Now I’m a superlady…

I got my baby, if you got your baby, baby…

(Jennifer Lopez – Papi)

Dan hentakkan akhir alunan perkusi mengakhiri malam menggiurkan itu…

***

Wow, untung pertunjukkan ini bukan dengan uangku sendiri aku membeli tiketnya. Kalau saja iya aku menghabiskan lima ratus ribu hanya untuk menonton Christina yang hanya tiga jam, pasti aku keluar dari diskotik dengan kepala cenat-cenut dan celana yang menyempit!

“Fokus, Ben! Ini tugas…” bisikku untuk diriku sendiri.

Setelah pikirku kembali ke tugas, aku menunggu Christina di luar diskotik. Yah, ini pasti penantian yang lama. Sudah tiga kali aku seperti ini sampai pagi, dan tiga kali pula mataku tidak mendapati Christina keluar dari diskotik atau bar tempat dia show kemarin-kemarin.

***

Sepertinya pengunjung sudah mulai membubarkan diri. Satu wanita terakhir keluar dari diskotik itu yang aku lihat.

“Gila! Keluar diskotik jam dua belas, sekarang setengah dua pagi. Mau keluar jam berapa tuh cewek? Dipake dulu kali ya sama yang punya tempat!” ocehku.

Sesaat setelah aku berhenti berucap, ada seorang wanita menghampiriku. Wanita yang baru saja keluar dari diskotik tadi. Seperti agak marah kulihat wajahnya. Tapi kemarahannya tertahan seketika aku memandangnya.

“Mbak, kenapa?” tanyaku ketika dia memutuskan untuk menunda kemarahannya, lalu pergi.

Kuingat-ingat lagi, muka wanita itu serasa tidak asing di memoriku.

“Dua bar di Jakarta, satu diskotik di Bali. Ah, nggak! Dua diskotik di Bali, termasuk hari ini! Empat kali gue lihat cewek itu!” pekikku ketika mengingat wanita itu. “Christina??” lanjutku memanggilnya.

Langkah kakinya sempat sejenak kulihat berhenti, sebelum akhirnya dia berlari diantara kaki-kaki turis yang masih saja mencari hiburan di pagi buta seperti ini.

Ya sudah pasti aku juga ikut lari. Otakku masih saja mencoba untuk mencerna dugaanku. Kuingat rambut Christina berwarna blonde di show tadi, kalau yang satu ini juga Christina kenapa rambutnya hitam pekat?

Sempat aku menyerah, mataku kehilangan sosok itu. Berhenti aku menghela napas, mencari-cari ke setiap ramainya malam di Bali.

“Kampret! Gagal lagi gue? Mati, dipecat gue.”

***

Hari kemarin sudah lewat. Dan tetap dengan kegagalan.

Sore itu aku berjalan pelan, masih di kawasan pantai Kuta. Di tepian pantai lebih tepatnya. Beberapa orang turis memandangi wajahku. Mungkin kelihatan lusuh bercampur cemas.

Tapi kembali ada gairah setelah aku melihatnya lagi! Iya, wanita yang aku kejar semalam tadi. Kali ini dia berjalan berlawanan arah dariku, aku tunggu saja dia sampai tepat di hadapanku.

“Christina…” ucapku pelan sambil kuraih pergelangan tangannya. “Bentar doang! Pleasee..”

Tapi… PLAK! Pipiku tertampar.

“Kenapa?” tanyaku tertegun melihatnya.

“Jangan panggil gue pake nama itu! Anjrit, lo doang yang tau!”

“Ups! Oke, oke! Tapi please, kasih gue kesempatan buat wawancara bentar sama lo!”

“Wawancara apaan? Ah nggak biasa! Nggak mau!”

“Gue teriak nih? Gue panggil lo Christina?”

“Ah kampret! Wawancara apaan sih?” berontakknya. Tapi aku masih menggengam kencang tangannya.

“Anjir, sok banget sih. Lo tu udah terkenal sekarang! Cuma wawancara profil lo doang!”

“Oke! Oke! Tapi nggak gratis!”

“Kampret, mata duitan ya lo!”

“Mau apa nggak? Kalau nggak, lepasin tangan gue, gue pergi!”

“Fine. Lo mau berapa? Biar gue bilang bos gue buat transfer ke rekening lo!”

“Sejuta tiap satu pertanyaan!”

“Nggak bisa! Lima ratus ribu!”

“Ogah! Lo pikir di pasar pake nawar?”

“Oke, deal sejuta!”

***

“Bos, sejuta satu kali nanya. Ada duit ga lo?” si bos sepertinya agak kebingungan di ujung telepon sana. Dia diam beberapa saat.

“Nggak bisa ditawar ya, Ben?” sekalinya menjawab terdengar lesu.

“Udah nggak usah nawar. Gue dikira tukang pasar tadi. Sanggup ga lo?”

“Ya udah deh, Ben. Tapi awas, lo jangan nanya banyak-banyak!”

“Yang jurnalis siapa? Suka-suka gue dong!” dan kututup…

“Oke, Chris. Kita mulai wawancaranya.”

“Benny Wirawan? Nama lo?” tanyanya pas aku mengalungkan name take di leherku. “Kok lo kenal sih kalo gue Christina Indranova?” dia bertanya lagi.

“Lo yang bego ah. Gue panggil Christina, lo ngabur! Ya udah jelas gue tau, padahal mah nggak tau juga sebenernya.”

“Berarti rugi ya gue lari!”

“Berisik! Mulai ah wawancaranya.”

Dan interogasi itu pun aku mulai. Satu demi satu pertanyaan aku ajukan. Keluarga, karir, dan semua hal tentang dia tercatat melalui ucapan mulutnya yang kurekam.

Langit menyenja. Di tepian pantai Kuta, wajahnya meremang disorot matahari yang mengintip.

“Chris. Dari pernyataan lo, bokap direktur, nyokap dokter, kenapa lo jadi striptease dancer?”

“Gue kan udah nggak di sana. Ya karena ini gue dibuang!” tuturnya.

“Sorry kalau gue nanya gini. Tapi, selain striptease dancer apa lo juga punya kerjaan sampingan?” dengan dua kode tanda petik dari dua jariku aku mengucapnya.

“Pecun maksud lo? Jujur sih iya. Gue fun kok ngelakuinnya. Tapi gue pilih-pilih pelanggan. Ga sembarang orang bisa nikmatin gue,” jawabnya santai. “Satu lagi! Gue moody buat masalah seks. Biar dikata pecun, nggak setiap saat gue bisa dipake!”

Dari Christina juga aku tahu, pelacur tidak selamanya menjadi pelacur. Kadang pelacur melacurkan diri juga untuk mencari kepuasan biologis, bukan selalu soal uang.

Selama ini banyak cacian soal profesi ini. Kebanyakan mereka dikesampingkan dari pergaulan, tapi ada juga pergaulan yang memang terbentuk dari profesi ini sendiri.

Sebenarnya sah saja mau memilih profesi apapun. Termasuk sebagai seorang striptease dancer ataupun pelacur. Kalau ada yang tidak setuju, harusnya mereka lebih memilih untuk menghujat pelanggan, bukan pemilik langganan.

“Biarpun sama-sama bersalah, kenapa selama ini cuma pecunnya yang dimaki? Kenapa bukan yang nyari pecun yang dimaki? Kan mereka yang nyari, dan mereka yang lebih punya nasfu. Kalau mereka nggak ada, kita juga nggak ada!”

***

“Chris. Gue kan butuh foto lo juga sebagai seorang Christina Indranova. Pembaca nggak bakalan percaya kalau ngelihat foto lo tanpa make up! Lo beda banget.”

“Modus ya, Ben? Bilang aja lo mau gue privat striptease?”

“Ya… Kalau lo mau sih!”

“Yok, ke hotel lo!”

Jadilah malam itu terasa dua kali lebih menggairahkan dari malam lalu. Lagi-lagi dari uang kantor aku mendapatkan kenikmatan.

“Lo bisa pake kamar mandi buat make up…” pintaku.

“Oke, tunggu ya..”

***

Beberapa saat aku menunggu. Jantung berdebar, keringat berkucuran, pikiran sudah melayang ke balik pintu toilet.

Perlahan pintu itu terbuka. Terlihat seorang wanita yang tadinya berambut hitam pekat kini menjadi blonde.

“Ini Christina. Benar-benar beda dari Christina yang biasa..” ucapku.

“Berapa foto? Siap? Show time!”

Aku menggenggam kamera dengan tanganku yang gemetaran. Membidik setiap lekukan tubuh Chris yang menggeliat di hadapanku.

“Now you are a superlady.. You got me, baby. And I got you, baby,” mulutku bergumam melantunkan lagu yang kemarin kudengar di diskotik dengan sedikit perubahan lirik. “Move your body, move your body… Dance for your papi…” lanjutku bernyanyi, hanya terhenti sampai Chris mendaratkan tubuhnya di dekapanku…

***

“Ben, apa lo masih mau ngelanjutin ini kalau lo tau siapa gue?” ucapnya dalam desah percintaan.

“Maksud lo, Chris?”

“Ben, gue dibuang dari keluarga gue karena gue ngambil duit bokap buat operasi kelamin.. Yeah, gue transgender…”

Ah, tapi seutuhnya lo sudah terlihat sebagai seorang wanita buat gue! Kenapa harus nggak mau? Lanjut…

TAMAT.


ditulis @misterkur dalam http://samuderakering.wordpress.com

No comments:

Post a Comment