Sumber gambar: bursabonsai.com |
*Terinspirasi dari lagu “Berhenti Berharap” ~ Sheila on 7*
[1]
Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Sementara itu, di suatu masa saat buku catatanmu adalah sepotong kebahagiaan yang enggan kututurkan pada siapa pun. Saat itu, kamu dengan suka cita memberikan buku catatanmu. Seperti biasa untuk kugandakan sebagai bahan belajar ujian. Sedangkan kamu, mungkin sedang merutuk karena aku tak kunjung mengembalikan. Bukannya aku tak mau mengembalikan, tapi kamu tidak pernah tahu, setiap membaca buku catatanmu seolah kamu tersenyum padaku. Dan, kamu tidak pernah tahu kalau senyummu adalah sumber semangat belajarku.
Mungkin terdengar lucu, tapi begitulah adanya aku dulu. Kamu bagiku adalah aksara-aksara yang berderet di setiap barisnya. Rapi tersimpan sebagai sesuatu yang tak pernah diungkapkan. Seperti itu perasaanku padamu.
Sampai akhirnya … .
“Kita ke kantin, yuk!”
“Maaf aku harus ke perpustakaan dulu, Arion.”
“Boleh aku temani?” tanyaku menawarkan diri.
Kamu hanya menggeleng. Itu artinya kamu sedang tidak menginginkan kebersamaan denganku. Aku tahu itu tanpa harus bertanya apa alasanmu. Terlebih saat sebelumnya aku melihatmu berbisik dengan seseorang yang cupu di depanku sebelum jam kuliah habis. Lelaki itu. Iya… Lelaki itu yang terkenal sebagai si kutu buku. Aku yakin itu adalah alasanmu ke perpustakaan. Tidak seperti biasanya.
Sial!
Aku pun akhirnya melangkah sendiri menuju kantin di belakang sebelah barat gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Beruntung sedang sepi, jadi aku bisa duduk di bangku kesukaanku yang kebetulan kosong.
“Tumben sendirian, Mas? Aretha kemana?” tanya Ibu kantin sesaat setelah aku duduk.
Aku tak menjawab pertanyaan itu. Mataku lekat menatap bunga bougenville berwarna merah yang tumbuh di depan kantin. Beberapa mengering, menunggu angin membawanya menuju takdirnya, gugur.
“Kok malah diam, Mas? Mbak Arethanya mana?” tanya Ibu kantin lagi.
Seandainya dia tidak lebih tua dariku, mungkin tangan ini sudah terkepal ke mulutnya. Dengan begitu dia akan diam dan tidak banyak tanya lagi.
Aku menghela napas. Sepertinya napasku sudah berkompromi dengan perasaan hatiku. Turun-naik. Begitu seterusnya untuk beberapa lama.
“Waduh! Hati-hati, lho, Mas. Mbak Aretha itu cantik. Jangan-jangan… ,” kata Ibu kantin itu menggodaku, seperti biasa.
Memang Ibu kantin suka sekali menggodaku kedekatanku dengan Aretha. Kedekatan yang entah bagaimana aku harus menyebutnya. Yang kutahu, hatiku tenang saat bersamanya. Itu saja.
“Jangan-jangan kenapa, Bu?” tanyaku setengah melotot.
“Jangan-jangan Mbak Aretha punya pacar baru, ya?”
Sungguh. Tak tanggung-tanggung Ibu kantin ini meledekku. Seandainya dia tahu kenyataan yang sebenarnya, pasti dia akan lebih menertawakanku sampai matanya tertutup oleh pipinya yang gembil.
“Ah! Alangkah bahagianya kalau Aretha benar-benar selingkuh dariku. Itu artinya ada hubungan yang pasti antara aku dengan Aretha.”
Tapi apa? Aku justru lebih memilih terus bersembunyi di balik kebaikan-kebaikanmu dibanding mengungkapkan perasaanku. Lalu, setelah seperti ini aku bisa apa? Yang aku tahu, aku hanya bisa melihatmu berlalu, membawa kepercayaan atas kebaikanmu padaku.
[2]
Aku terdampar di sini
Tersudut menunggu mati
Perlahan kantin pun riuh dengan adik tingkatku. Sementara teman seangkatanku, entah kemana perginya mereka. Mungkin ke perpustakaan juga. Biarlah!
Pesananku telah siap disantap saat sekilas aku melihatmu melintas di depanku. Kamu…. Iya… Kamu Aretha. Sendirian? Tentu saja tidak? Tapi bersama si kutu buku itu yang entah siapa namanya. Mungkin Rudi atau Budi. Entah siapa pun namanya, aku menamakannya Iwan, Ikatan Mahasiswa yang suka cari lawan. Dia tidak tahu siapa yang sedang dihadapinya saat ini. Dia harus berhadapan denganku, si pengecut.
Kamu terus saja berlalu. Tak sedikit pun menoleh ke arahku. Padahal aku yakin kalau kamu tahu aku sedang di kantin ini bersama bayanganmu. Kamu terus saja melangkah. Tanpa kamu sadari meninggalkan jejak-jejak luka yang semakin parah. Aku di sini. Menikmati soto ayam dan segelas es teh berdua, bersama bangku kosong yang ada di hadapanku. Seharusnya di sanalah kamu.
Aku tak meneruskan menyuap soto ayam itu. Bahkan tanpa kupedulikan uap panasnya telah habis berbaur dengan udara sekitar. Menghilang bersama hembusan napas kekalahanku.
“Seandainya saja aku lebih jujur pada hatiku, mungkin luka ini tak perlu kuingkari.”
Aku mengaduk-aduk es teh yang tinggal setengahnya. Suara sendok yang beradu dengan gelas tak bisa kuhindari. Kantin berangsur sepi. Hanya tinggal aku sendiri, tersudut menunggu mati.
[3]
Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi
Sudut gelap hati ini
“Mas Arion masih tetap mau di sini. Saya mau tutup, lho. Sudah pukul dua ini,” kata Ibu kantin mengagetkanku.
“Oh… Maaf, Bu,” kataku beringsut dari bangku itu.
Kusodorkan uang sepuluh ribuan. Kata Ibu kantin itu pas karena sekaligus untuk membayar hutangku yang kemarin. Aku tak mengeluh kemudian berlalu.
“Besok kita ketemu lagi, ya,” kataku pada bangku kosong yang seharusnya ada kamu di situ.
Aku melangkah perlahan menapaki jalan berlapis “paving block” bercat merah yang sudah mulai memudar. Kupetik setangkai bunga kertas kesukaanmu dan kuselipkan dalam saku. Kamu tak perlu tahu kenapa aku melakukan itu. Aku pernah ingat kamu berkata tentang filosofi bunga ini. Satu pohon bisa beberapa warna. Seperti cinta yang bisa menghasilkan aneka rasa dalam satu hati.
Aku terus menapak meninggalkan kantin sederhana yang pintunya sudah tertutup. Tapi itu tidak berarti tertutupnya kenangan tentangmu. Di manapun ada kenanganmu, tetaplah di ingatanku semua itu bermuara. Entah sampai kapan kenangan akan bersekutu kembali denganku dalam tawa nyata bersamamu.
Siang sudah terik. Matahari tanpa ragu membakar kepalaku. Selalu begitu, tapi tetap saja tak pernah mampu mencairkan segumpal ingatan kesedihan. Langit biru merona. Tak ada sedikit pun awan. Sepertinya berpindah ke hatiku, entah kapan akan menjelma hujan di pelupuk mataku. Matahari yang dulu mampu menerangi sudut gelap hatiku, kini tak lebih sekadar bulatan membara yang tak berarti apa-apa. Mungkin hatiku sudah terlalu gelap sampai matahari seakan tak berarti lagi. Kenangan tentangmu semakin menghitam. Lalu haruskah aku percaya lagi pada matahari? Entahlah.
[4]
Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta kudapat
Aku sudah melewati gedung berlantai 3 itu. Kulihat seorang gadis duduk sendirian di bawah pohon mahoni yang rindang di seberang jalan. Sekali-kali angin bertiup menerbangkan helaian rambut hitamnya. Dari kejauhan aku mengamati setiap detail gerak-geriknya. Seorang mahasiswi dengan celana jeans dipadu dengan baju kotak-kotak longgar. Dia bersandar pada batang mahoni sambil menggamit tas pundak berwarna coklat. Aku mengenali gadis itu sebagai kamu. Aretha.
Tanpa kusadari senyuman mengembang tipis di bibirku saat melihatmu. Entah magnet apa yang menarikku untuk mendekatimu. Ah! Seharusnya aku tidak perlu menanyakan ini padamu. Sebab jawabannya ada di hatiku. Dan, hanya aku sendiri yang tahu. Bukan kamu.
Tak sampai lima menit tibalah aku tepat di hadapanmu. Kamu tersenyum menyambutku. Tak ada jabat tangan dan bahkan tak ada sapaan. Aku dan kamu diam. Hanya suara air sungai yang mengalir menderu di belakang kita. Kampus pun tak jauh beda. Sepi.
“Hai… ,” kataku akhirnya, “kok kamu belum pulang?”
“Aku menunggu kamu, Arion?” jawabmu malu-malu.
Aku sama sekali tidak percaya dengan jawabanmu. Bagaimana mungkin secepat itu kamu berubah pikiran. Tapi tidak kupungkiri memang, sebaris sapamu serupa berbaris-baris kalimat dalam surat cinta yang membuat dadaku membuncah seketika. Hampir saja gejolak hatiku menjadi sebuah teriakan. Beruntung aku bisa menguasai senyummu.
“Kamu serius, Aretha?”
Kamu mengangguk perlahan. Ada debar yang tiba-tiba membuatku seperti tak sadar yang membawaku melangkah menujumu. Kamu maju dua langkah menjemput kehadiranku. Lalu, sejenak tawa pun pecah.
“Akhirnya,” bisikku.
“Kamu kok sendirian?” tanyaku sambil mengajaknya berjalan beriringan menuju motorku yang terparkir sendirian.
Kamu diam saja dan justru melangkah mendahuluiku. Aku merasa sepertinya ada yang tidak beres.
Tak sampai lima menit, aku telah berdiri di dekat sepeda motorku. Sementara kamu masih terdiam di sampingku. Dii bawah atap sembunyi dari matahari. Tapi, kali ini bagiku matahari tetap bersinar — di matamu.
“Sebelumnya aku mau minta maaf, Arion,” katamu setengah berbisik.
“Minta maaf? Untuk apa, Aretha?”
“Untuk semua kesalahanku tadi. Membiarkanmu sendirian di kantin. Sementara aku lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Adrian.”
“Tidak apa-apa, Aretha,” jawabku, “terus Adrian ke mana sekarang?”
“Ohh… Dia tadi pamit duluan karena harus ke rumah sakit. Ibunya sakit parah.”
“Terus kenapa kamu tidak ikut sekalian?” tanyaku penasaran.
“Tadi aku masih harus menyerahkan tugas ke dosen dulu,” jawabmu.
Setelah obrolan panjang tentang segala sesuatu, aku dan kamu akhirnya sama-sama terdiam. Perasaan bahagia akhirnya kamu bisa bersamaku lagi membuatku tak berpikir panjang untuk segera menghidupkan mesin sepada motorku. Tanpa kamu tahu, bagiku ini bukan kebahagiaan yang biasa. Kamu telah membahagiakanku dengan minta maaf secara sederhana, minta diantarkan pulang olehku.
Sepeda motor pun melaju membelah keheningan kampus. Setelah melewati jembatan, aku pun sampai di jalan Majapahit. Seharusnya di perempatan Pagesangan aku belok kiri ke jalan Airlangga, rumahmu, tapi kamu justru memintaku untuk terus lurus. Aku sama sekali tidak tahu tujuanmu. Kamu hanya menjawab “terus saja” saat aku menanyakan tentang hal itu. Aku menurut seperti janjiku padamu untuk mengantarkanmu kemana pun kamu mau.
Setelah dua kali lampu merah, kamu memintaku untuk mengambil arah kanan. Aku masih saja menurut. Ini demi harapanku untuk bisa lebih lama bersamamu.
Sampai akhirnya…
“Stop di sini, Arion!” teriakmu membuyarkan angan-anganku.
Kuhentikan laju sepeda motorku tepat di gerbang Rumah Sakit Kota Mataram. Mendadak harapan kebahagiaanku sirna saat kamu melangkah memasuki gerbang rumah sakit setelah mengucapkan terima kasih. Iya… Hanya terima kasih. Aku tersenyum kecut lalu tancap gas.
Sekali lagi, aku kalah.
[5]
Kenapa ada derita
Bila bahagia tercipta
Kenapa ada sang hitam
Bila putih menyenangkan
Kularikan sepeda motorku ke arah jalan lingkar selatan. Entah di mana aku akan melabuhkan harapan yang telah patah ini. Aku terus berlalu dan memutuskan berhenti di Taman Air Loang Baloq. Suasana masih sepi saat matahari masih belum juga mendekati cakrawala. Aku memilih sebuah “berugaq” yang tepat menghadap ke arah laut biru. Sendirian. Sementara kamu. Ah! Entahlah! Mungkin kamu sedang memeluk pundak Adrian untuk menenangkannya. Dan aku di sini memeluk kesendirianku.
Kudekatkan kakiku tepat di jantungku. Kurasakan detak itu masih ada. Seharusnya kakiku bisa seperti itu. Tetap menjejak dan tak kenal lelah mengejar cintamu. Tapi apa? Aku justru terpuruk, bahkan sebelum ada kata penolakan darimu karena memang aku tidak pernah mengutarakan rasa ini padamu.
Angin pantai menyadarkanku dari monologku. Aku yang bertanya tentang derita yang kualami saat ini. Bukankah aku juga berhak bahagia? Iya. Tapi, mungkin bukan sekarang. Kuyakinkan hatiku bahwa kebahagiaan tidak akan pernah datang pada hati yang selalu tak bisa bangkit dari kekecewaan.
Aku pulang.
[6]
Aku pulang….
Tanpa dendam….
Ku terima… kekalahanku…
Matahari telah menggurat senja dengan jingganya saat aku kembali mengingat tentang kebodohanku. Dan, untuk kesekian kalinya aku terluka oleh perasaan yang sama, mencintaimu. Bahkan rasa itu telah membunuh hobiku mengabadikan setiap detik senja yang berlalu. Bukan itu saja, tersebab itu juga aku harus mengikhlaskan keriuhan di tempat itu terlewat begitu saja.
Mungkin ini memang jalanku. Kamu bukan lagi harapanku. Aku mulai menyadari bahwa rasa yang terpendam hanya akan menyisakan kekecewaan. Kutenggelamkan rasa dendam bersama matahari yang perlahan sembunyi di batas cakrawala. Aku melangkah gontai melewati jalan yang berlapis beton itu. Pulang membawa kekalahan darimu dan kesalahan tidak ada keberanian mengungkap rasaku padamu.
***
*Request dari @danissyamra
ditulis @momo_DM dalam http://bianglalakata.wordpress.com
No comments:
Post a Comment