Monday, September 3, 2012

Surat Kematian dari Masa Lalu

Malam ini, tepat hari keempat puluh sejak pemakamanku. Dia yang sekarang berada di depanku, seorang gadis dengan bola mata kecoklatan yang bulatnya nyaris sempurna. Ada yang ingin sekali aku tanyakan padanya “Apakah kamu tahu? Ketika Tuhan masih memberikanku kesempatan hidup, aku sama sekali tidak pernah mencemaskan kematianku sendiri, yang selama ini lebih aku cemaskan adalah seberapa banyak orang-orang yang sudi untuk sekadar mengantarku ke pemakaman dan menyaksikan tubuhku dicerna liang lahat. Apa kabarmu?”.

Aku tahu, setiap malam dia melakukan hal yang selalu sama seperti yang sedang aku saksikan sekarang, merebahkan tubuh kecilnya yang semakin kurus di atas ranjang. Mata bulat coklatnya menatap kosong ke arah langit-langit kamar, sesekali dirinya mengutuk air matanya sendiri menjadi mata air. Lagu-lagu bernada minor berlirik sendu dari laptop miliknya juga masih setia mendayu memenuhi seisi ruangan kamarnya dengan aroma khas parfum yang sering dia gunakan sehari-hari, harumnya lembut sekaligus pekat tetapi tidak terlalu menyengat.

Aku yakin, dia tidak pernah tahu kabarku dan dia tidak pernah mau untuk mencari tahu tentang keadaanku yang sekarang. Semenjak malam perpisahan kami empat puluh delapan hari yang lalu aku tidak pernah menghubungi dirinya, begitupun sebaliknya. Andai saja dia tahu, bukan karena aku sombong atau benar-benar menghapusnya dari ingatanku. Dari empat puluh delapan hari jeda perpisahan kami sampai hari ini, delapan hari yang aku lewati hari demi harinya aku gunakan untuk tetap berjuang mempertahankan nyawaku di ruang ICU. Sedangkan empat puluh hari sisanya aku gunakan di alam yang sudah tidak lagi sama.

Entah apa yang membuatku sampai hati untuk berkunjung ke rumahnya lalu masuk tanpa ijin ke kamarnya malam ini. Yang jelas aku senang karena ternyata aku tahu jika malam ini dia mengenakan baju pemberianku tiga bulan yang lalu.

“Apa kamu berniat mengenakan baju pemberianku itu untuk tidur?”, aku mencoba melontarkan pertanyaan yang aku sendiripun sudah tahu jika dia tidak akan pernah bisa mendengarnya.

Tetiba dia mencoba membangunkan tubuh kurusnya yang tadi sempat tertidur, kemudian dia terduduk sembari mengelap beberapa tetesan air mata yang mengalir dari kedua matanya yang bulat dengan menggunakan pergelangan tangan kanannya.

“Aku kangen..”, begitu kalimat yang terucap dari bibir tipisnya yang bergetar hebat karena menahan tangis. Aku tidak ingin terlalu cepat merasa besar hati karena merasa dirindukan, mungkin saja saat ini dia hanya sekadar rindu dengan kekasih barunya yang entah itu siapa.

“ah.. kalimat tadi pasti bukan untukku”, gumamku dalam hati untuk meyakinkan diriku sendiri.

Empat puluh delapan hari yang lalu

Sekitar pukul sebelas malam. Aku meninggalkan dia di teras rumahnya sesaat setelah kami memutuskan untuk berpisah, dia menamparku malam itu. Tamparan yang cukup panas di kulit pipiku, rasanya seperti terkena percikan bara rokok yang dengan sengaja dilempar hingga hinggap di kulit wajahku. Aku tidak membalas tamparannya, bagiku lelaki yang memukul wanita kedudukannya jauh lebih rendah daripada hewan yang paling najis di muka bumi.

“Maaf.. aku tahu aku salah, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini. Kita sudahi saja semuanya, silahkan kamu melanjutkan hidupmu yang baru dan aku akan memulai hidupku dengan membiasakan diri tanpa kehadiranmu”, ucapku dengan lantang dan penuh keyakinan di depannya saat itu.

“Baiklah, kalau itu maumu. Aku setuju”, jawabnya singkat.

Tidak lama kemudian aku pamit dan menyalakan mesin motorku, aku arahkan kepalaku ke belakang untuk melihat wajahnya yang masih menangis. Ku tatap matanya dalam-dalam dari balik helm yang aku gunakan, sengaja aku pandangi raut wajahnya hanya untuk memastikan jika dia baik-baik saja. Siapa yang mengira itu terakhir kalinya dia menatap mataku.

Satu jam setelah perpisahan kami, saat itu otakku terlalu fokus kepada sakit yang aku terima satu jam sebelumnya, hingga lupa memperhatikan keadaan jalan.  Sampai akhirnya aku dikagetkan oleh cahaya yang menyilaukan, aku pikir itu pasti lampu truk berukuran cukup besar. Sial, semua sudah terlambat untuk menghindar. Motor beserta tubuhku dihantam truk berkecepatan tinggi saat perjalananku untuk kembali pulang ke rumah, akupun lupa bagaimana kejadian secara detailnya. Hari demi hari dalam ketidaksadaranku di ruang ICU, aku menunggu kedatangan dirinya yang mungkin saja berkenan untuk datang menjengukku. Aku memang tidak bisa melihat apa yang ada di sekitarku saat itu, tapi paling tidak aku masih bisa mendengar. Berharap dia datang dan mengatakan sesuatu yang bisa membangkitkan semangatku untuk terbangun dari  koma berkepanjangan ini.

Delapan hari aku tetap setia menunggunya, dia tidak pernah datang dan Tuhan berkehendak lain atas kesembuhanku.

Di kamarnya
Dia masih menangis, suara lagu dari laptop miliknya masih mengiringi kesedihannya, seolah menjadi bagian soundtrack dari karnaval kesedihan yang dia ciptakan sendiri. “Tunggu sebentar! sepertinya aku kenal lagu ini” kataku dalam hati. Suara dari lagu tersebut melantun semakin kuat dan mendorong ingatanku.

Tersungkur di sisa malam
Kosong dan rendah gairah

Puisi yang romantik
Menetes dari bibir

Murung itu sungguh indah
Melambatkan butir darah

Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi

Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati

“Ah iya benar, ini lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Melankolia” , kataku.
Lagu ini adalah lagu yang sempat direkomendasikan olehnya untuk aku dengarkan.

Sepertinya dia semakin kacau malam ini, kalau saja aku bisa membaca pikirannya. Aku pasti tidak akan berlama-lama memperhatikannya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dia rasakan. Jika benar dia masih merindukanku, pasti dia akan mencari tahu kabar serta keberadaanku sekarang. Tidak lama saat aku pandangi dirinya, ia mulai membangkitkan tubuhnya dan beranjak mendekati laptop. Ku saksikan tangannya mulai mengetik beberapa huruf di sana. Dia mencoba untuk mengakses alamat blog milikku, sepertinya dia ingin mencari sesuatu di sana. Tapi aku rasa dia tidak akan pernah menemukan apa-apa, karena tulisan terakhir yang aku tulis di sana adalah tulisan yang aku pikir tanpa makna apapun. Aku sekadar membuat tulisan itu empat puluh delapan hari yang lalu, tepatnya tiga jam sebelum keberangkatanku menuju rumahnya untuk menyampaikan salam perpisahan atas hubungan kami.

Sekarang dia justru semakin menangis setelah membuka blog milikku, tangisannya semakin pecah dan aku bingung. “Hal apa yang membuatnya menangis? Apa karena tulisan di blog milikku? ah.. itu hanya tulisan sampah tanpa makna”, ini kesekian kalinya aku bertanya dalam hati. Ku arahkan penglihatanku ke layar laptop miliknya, aku dapati dia sedang membaca tulisanku.

Pemakaman Prematur

Kalau aku mati.
Datanglah ke rumahku, tanyakan penghuni lainnya, di mana aku dimakamkan.
Kalau kau tidak tahu rumahku.
Datanglah ke sahabatku, tanyakan di mana aku dimakamkan.
Kalau kau tidak tahu siapa sahabatku.
Datanglah ke teman-temanku, tanyakan di mana aku dimakamkan.
Kalau kau tidak tahu siapa teman-temanku.
Datanglah ke musuhku, tanyakan di mana aku dimakamkan, dia pasti tahu karena dialah yang paling mengharapkan kematianku.
Kalau kau tidak tahu siapa musuhku.
Datanglah ke tempat terakhir kita bertemu.
Di sana, jauh sebelum aku mati.
Aku sudah memakamkan diriku sendiri di depanmu.
Tanpa sepengetahuanmu.

-Jakarta.



Aneh rasanya, ketika membaca kembali tulisan di blogku tadi seolah aku sudah mempersiapkan sebuah surat yang akan aku berikan untuknya hari ini, padahal ketika menulisnya empat puluh delapan hari yang lalu aku sama sekali tidak pernah berpikir jika kata-kata yang ada di dalamnya akan mewakili perasaanku saat ini. Karena jika dihubungkan dengan apa yang sedang terjadi sekarang, tulisanku di blog tadi secara kebetulan adalah hal yang sebenarnya ingin sekali aku sampaikan kepadanya saat ini. Aku masih bingung, mungkin saat itu diriku sendiri tanpa sadar telah menulis surat dengan isi pesan tentang kematian yang datangnya jauh lebih awal dari kematian itu sendiri.

Setelah selesai membaca tulisan di blogku, dia kembali beranjak ke tempat tidurnya. Kali ini dia merebahkan tubuhnya dengan gontai lalu menarik selimut dan memejamkan matanya diikuti aliran air mata yang terus menetes hingga membasahi baju yang sempat aku berikan kepadanya.

“Aku kangen..”, katanya.

Kali ini aku yakin, perkataan tadi pasti ditujukan untukku, lalu aku jawab dengan sangat lantang sekali walaupun aku tahu dia tetap tidak akan bisa mendengarnya.

“Aku juga..” kataku.

Kemudian dia kembali melanjutkan karnaval kesedihan yang diciptakannya sendiri sebelum tidur dengan diiringi lagu-lagu yang masih setia melantun dari laptop miliknya yang sengaja dia letakan di atas meja, tepat di pojok kamar yang berhadapan langsung dengan ranjang yang menjadi tempat dia tertidur.

Dan aku, seketika pandanganku menjadi gelap, seolah ada sesuatu yang menarik tubuhku entah kemana dengan sangat kuat.  Ah iya.. aku lupa, sekarang sudah masuk pukul dua belas malam, itu berarti sekarang sudah lebih dari empat puluh hari sejak pemakamanku. Semoga Tuhan tidak membawaku menuju neraka.

Terinspirasi dari lagu Efek Rumah Kaca “Melankolia”.

Depok, September 2012


ditulis @soyidiyos dalam http://apeubangetanjing.wordpress.com

No comments:

Post a Comment