Di antara wangi vanila yang saru, derit hak sepatu di lantai kayu, dan temaram lampu yang bertujuan datangkan sendu, gelas kita berdenting—beradu. Ku putar untuk proses aerasi—pernah ku pelajari dari Ayah—lalu ku sesap isinya lebih banyak. Aku ingin hangat. Salahkan pendingin yang tersebar di langit-langit seluruh penjuru, juga gaun malam tak berlengan yang dibelikan Ibu bulan lalu.
Bar ini sedang tak terlalu ramai. Di sisi kananku, kau bertutur tentang apa yang kita teguk baru saja; tentang aroma, komposisi, dan negara produsennya. Pinot Noir ini adalah kegemaran baru, katamu, selain Muscat dan Cabernet Sauvignon. Ku rekam nama-nama asing itu dalam pikiran lamat-lamat. Kemudian, Champagne, kataku, hanya itu jenis wine yang ku tahu. Senyummu mengembang, wine bergelembung itupun salah satu kesenanganmu rupanya. Kembali ku tulis di saput ingatan. Daftar calon kesukaan baruku semakin bertambah saja.
Sayup lantunan Home oleh Michael Buble membawamu bercerita tentang rumah; tentang Ibu yang sering menyambutmu pulang dengan bolu mengepul, tentang hobi memancing dengan Ayah, tentang Nenek yang masih merajutkanmu sweater atau syal bila Natal tiba, tentang piknik keluarga di akhir pekan. Bisa ku rasakan pipimu yang menghangat. Belum apa-apa aku sudah menyukai mereka. Apa yang mampu hadirkan semu di wajahmu namun aku tidak suka?
Kau mengantarku pulang hingga ke muka rumah. “Terima kasih untuk malam ini,” bilangmu, lalu, “Aku menyayangimu.” Namun yang keluar dari mulutku sebagai jawaban hanyalah bersin. Kau tertawa, melambaikan tangan, sebelum kemudian pergi melajukan kendaraanmu lagi.
Belum sempat bibirku berucap ‘terima kasih’ atau ‘hati-hati.’ Otakku terlalu sibuk mengulang-ulang kata Pinot Noir, Muscat, Cabernet Sau—ah, kenapa begitu susah disebut?
Segera ku langkahkan kaki menuju kamar untuk beristirahat. Mungkin esok aku akan belajar membuat bolu dan merajut.
ditulis @beatricearuan dalam http://beatrice-aruan.tumblr.com
No comments:
Post a Comment