Friday, September 14, 2012

Bara Pengelana

Terlahir dari keluarga yang baik-baik saja, Bara tumbuh sebagai anak yang sangat penurut. Sang Ibu adalah orang yang sabar, setiap harinya ia menunggu kios kecil miliknya yang juga tak jauh dari rumah. Sang Ayah bekerja di luar pulau Jawa sebagai pegawai proyek di pertambangan. Di rumah Bara tinggal bersama Ibunya dan dua adik. Apapun yang diperintahkan oleh sang Ibu, ia menurutinya, karena Bara anak tertua, dan tentu saja memberi contoh kepada adik-adiknya. Bara senantiasa tidak pernah melawan Ibunya.

Hari berlalu, musim berganti. Bara menginjak Sekolah Menengah Atas tingkat dua kala mengenal sesosok gadis. Namanya Kelana. Ia datang menawarkan kelembutan yang setulus kata bernama cinta. Bara tak terlalu dini mengenal cinta. Pengiring cita cinta bergelora. Datangnya indah, tatkala masa berseragam abu-abu, diiringi gerimis hujan beraroma wangi. Bara dan cintanya tumbuh, walau usia terpaut jauh. Bara jatuh cinta.

Di sekolah Bara terdapat banyak kegiatan ekstrakurikuler, dan ia memilih satu diantaranya, karate. Ia menyukai seni bela diri tersebut sejak kecil. Dengan persetujuan Ibunya pula Bara menekuninya. Juara demi juara ia dapatkan. Satu demi satu piala dan medali ia kumpulkan, hanya satu inginnya, menjadi kebanggaan orangtua. Dan bukan saja mereka, sang kekasih, Kelana, seringkali ia tinggalkan bila ada pertandingan. Tapi Kelana bilang Bara membuatnya bangga. Bara merasa sangat bangga memiliki Kelana. Ia baik dan mengerti keadaannya. Ia sahabat dan teman dalam kesepian. Ia pun bisa menjadi kakak yang penuh kasih sayang dalam menjaga Bara. Kelana.

Suatu hari Bara merasa sesak di dada ketika tanpa sengaja ia membaca pesan mesra dari seorang perempuan di handphone Ayahnya yang baru pulang dari Kalimantan. Kelana, Kelana, Bara membutuhkan pelukanmu. Sang Ayah beristri baru.

Kelana bermuka haru, wajahnya pasi, sendu. Dibelainya wajah Bara penuh sayang. Ketika Bara mendekap, Kelana semakin mendekap. Kelana, hanya kita yang tahu. Jangan sampai Ibuku ikut merasakan kepedihanku. Tenanglah Sayang, Ayahmu hanya merasa kurang. Kelana menghujat dalam diam sambil terus mendekap Bara yang sesenggukan.

Enam bulan berlalu semenjak peristiwa itu. Bara dan Kelana selalu bersama melangkah. Sang Ibu mulai curiga bila Bara sering pulang larut malam, karena Bara selalu menyempatkan diri bertemu Kelana, lalu Ibunya pun mulai mengaturnya. Bara tak diperbolehkan lagi keluar sampai larut malam. Kalau sudah begitu Bara cuma bisa membayangkan pada raut malam wajah Kelana yang teduh penuh pengertian, ia tak pernah tak kangen pada Kelana.

Bara membenci sang Ayah yang diam-diam menduakan sang Ibu. Namun begitu, ia tak bisa melakukan apapun selain diam menyimpan. Baginya, Sang Ibu adalah segalanya, yang tak seharusnya disakiti. Maka Bara bertekad untuk tak pernah menyakiti Ibunya.

Bara masih berjalan tegak menyapa hari, hingga pada suatu malam ditemukannya kenyataan yang membuat roboh hati. Kelana yang ia kenal telah berubah. Setahun mengikat hati seperti tak bermakna lagi. Diajaknya Kelana duduk berdua walaupun dengan dada yang membuncah lara, hanya untuk menanyakan mengapa. Kelana terdiam. Ini masalah hati. Bara masih menunggu, menunggu Kelana kembali. Namun Kelana tak bergeming, harapannya telah melambung tinggi bersama kekasih lain, dan Bara tahu itu bukan dirinya. Tapi mengapa?

Adakah kerinduan masih tersimpan di dalam pijar matamu,
Ataukah semuanya luruh bersamaan dengan bulir air mata yang jatuh?

Bara membawa pergi luka dan pertanyaan. Bara bahkan tak mengerti apa yang kurang. Baginya selama ini Kelana adalah angin yang berhembus begitu saja memerahkan bara api. Lalu kini sang angin pergi, meninggalkan abu yang tak mungkin nyala kembali. Bara serta merta membawa pulang sesak hatinya. Ia tak beda nasib dengan Ibunya.

The sun is breaking in your eyes
To start a new day.
This broken heart can still survive
With a touch of your grace.

Keterpurukan tak selamanya hinggap di dalam hidup Bara. Kebenciannya pada Kelana melahirkan asa yang lantang. Bara kembali bangkit, memukulkan kepalan tajam tangannya kepada lawan. Prestasi demi prestasi kejuaraan bela diri ia genggam. Seakan-akan berdiri angkuh, menutupi kenangan yang membuatnya rapuh.

Tak begitu lama jalan yang berliku membawa Bara bertemu dengan sesosok gadis. Gadis yang tak beda jauh dengan Kelana. Mereka bertemu pandang dalam suasana perpisahan. Perpisahan sang gadis dengan kekasihnya yang belum lama. Awalnya biasa, tapi kebetulan tak selalu hanya kebetulan. Sang gadis bernama Tiara membutuhkan teman dalam kesepian. Mereka pun bertemu dalam hati yang ragu. Harusnya Bara menguasai diri, namun ia membiarkan pelukan Tiara menghambur dalam pelukannya.

Hubungan yang masih sebentar itupun kandas. Dibanding Kelana, Tiara lebih cepat meninggalkan Bara. Nampaknya Bara hampir terbiasa menuai luka. Ia sudah mirip Ibunya, kuat, tak terbantahkan. Tak lagi menjadi penurut, ia merubah dirinya menjadi penuntut. Jadilah Bara seorang keras, tak mudah jatuh. Lalu bergantian bulan-bulan berlalu sambil membekaskan pilu.

Angin sore hari menjelang senja bertiup pelan, menyapa ujung-ujung rambut dan wajah Bara. Tak ada lelah yang berarti sore itu. Bara menjalani latihan bela diri seperti biasa bersama teman-temannya. Beramai-ramai Bara dan teman-temannya menuju ruang ganti, berganti pakaian dan bersiap pulang. Ia berpapasan dengan perempuan cantik yang menggamit mesra lengan kekasihnya, teman Bara. Sempat sebentar mata perempuan itu menatap mata Bara dan tersenyum kepadanya. Ponsel Bara bergetar yang kemudian diambilnya dari dalam saku celana. “Kutunggu nanti malam di kos ku, aku pulang dulu, Say.” Begitu bunyi pesan yang ia terima. “Hati-hati, Sayang.” Bara menekan tombol kirim sambil memandang perempuan cantik itu. Tak lama mata mereka beradu. Perempuan cantik itu menganggukkan kepala dan tersenyum.

Berdesirlah sebentuk angin
Menghembus kesana kemari
Tak peduli apakah bara api akan mati
         
What about now?
What about today?
What if you're making me all that I was meant to be?
What if our love never went away?
What if it's lost behind words we could never find?


ditulis @haqey dalam http://faappuccino.blogspot.com

No comments:

Post a Comment