Tuesday, September 18, 2012

Titip Nyawa Dalam Janin


Lebih hening dari sepi

Ia datang menghampiri

Lewat celah kecil di hati

Menyulam setiap mimpi

Malam tak bisa disebut malam ketika jarum jam menunjuk waktu sudah lewat tengah malam. Ini bukan sekali terjadi ketika pintu kamar Aldi terbuka tanpa diniati. Sudah puluhan kali sejak dia lahir di dunia ini.

Usianya kini duapuluh lima tahun, sudah sejak kanak-kanak dia merasa diikuti oleh sesosok makhluk yang dia sendiri tak pernah mengerti. Dia ada atau cuma khayalan?

Aldi turun dari ranjang kamar di rumah kontrakannya dengan perlahan. Keringat dingin mengucur. Awalnya hanya sebutir, lama-kelamaan menjadi basah merata. Kakinya seolah meraba hamparan lantai, tak terangkat ketika berjalan, seperti menyeret. Dan tepat di depan pintu kamar yang dengan sendirinya terbuka, Aldi melihat sesosok wanita yang tak jelas rupaya. Berbaju putih yang tak seutuhnya putih, terlihat kumal dari dekat. Rambutnya terjuntai memanjang.

Tapi tak sampai kaki Aldi berjalan semakin mendekat, wanita itu berlari dalam kegelapan yang pekat.

***

Pagi itu, di sebuah meja, berbaris lima cangkir yang terisi dengan berbagai jenis minuman. Lima orang pria tengah mempersiapkan diri mereka masing-masing, akan mulai mencari lembaran uang untuk bersenang-senang.

Lima orang. Dimas, Barry, Fathan, Mike dan Aldi. Pemuda rantau yang tinggal di satu rumah kontrakan yang disewa bersama-sama.

Aldi terlihat murung di sudut meja makan. Menatap lesu ke arah kubangan kopi di cangkirnya. Pandangan itu lekat, lamunan itu seperti membuat sekat antara Aldi dan keempat temannya. Tatapan mata itu perlahan-lahan mencipta guratan di permukaan kopi. Dan… Terkejut!

PYARRR… Secangkir kopi itu mendarat di lantai setelah Aldi dengan sengaja menjatuhkannya.

“Di, lo kenapa?” seru Barry. Ketiga teman lainnya hanya diam melihat raut wajah Aldi yang tiba-tiba memucat dan gelisah.

“Masih ada, Di? Yang lo ceritain kemarin-kemarin?” tanya Dimas bergantian.

Aldi mengangguk, “Semalem dia ada di depan pintu kamar. Barusan ada pantulan yang kelihatan dari kopi gue. Gue lihat jelas banget!” jelas Aldi ketakutan.

Kaki-kaki itu mulai melangkah merapatkan jarak. Di satu meja mereka berembuk.

“Di, kejadian kayak gini lo bilang udah dari kecil. Pernah nggak lo coba ke dukun?” tanya si perantau dari jawa, Dimas.

“Keluarga gue nggak percaya sama yang begituan, Dim.” jawab Aldi.

“Tapi kalo udah kayak gini, percaya nggak percaya lo harus percaya!” sahut Fathan.

“Ya terus gue harus apa? Mau cari tau siapa dia? Caranya gimana?!” Aldi mulai terlihat putus asa.

Dimas yang memang asli keturunan jawa, dia menatap guratan wajah Aldi seperti tak berkedip. Aldi dibuat keheranan olehnya.

“Kenapa, Dim?” tanya Aldi cemas.

“Kita pakai jelangkung?”

Keempat orang yang lain seperi mengerutkan ekspresi wajah mereka, pertanda tidak setuju. Beberapa di antaranya pergi menjauh dan seolah tidak mau mendengar lagi ucapan Dimas. Tapi, entah siapa orang lain yang mendengar ucapan ini, pintu kamar Aldi terdengar tertutup dengan sangat kasar.

BRAKKKK!!!

Mereka semua mematung. Perlahan saling menatap dari satu bola mata ke mata yang lainnya.

“Kita bagi tugas. Kita sama-sama ke pasar tradisional weekend ini!” Dimas meringis kegirangan. “Boneka batok kelapa, tanah liat kuburan, kembang tujuh rupa, kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, air putih.” lanjutnya.

“Lo serius, Dim?” pangkas Fathan.

“Cari minyak (sejenis wewangian) mizik, japaron, rose dan kembang setaman. Dupa, buhur maghribi dan menyan. Jangan ketinggalan jajan pasar tujuh jenis!” lanjut Dimas, tak menggubris Fathan.

Jadilah seminggu kedepan mereka akan disibukkan dengan pencarian syarat-syarat bermain jelangkung. Dimas seperti tahu betul akan ritual ini. Masa kecil yang dihabiskannya di desa membuatnya cukup berpengalaman dalam hal-hal seperti ini.

***

Sebuah malam di hari perjanjian.

Mereka berlima berada si satu ruangan, di kamar Aldi. Jendela ditutup rapat, pintu juga begitu. Penerangan diredupkan. Dan perlahan-lahan mereka duduk bersila, hingga membentuk sebuah lingkaran.

Dimas mulai mengeluarkan beberapa benda yang dimilikinya. Minyak mizik, japaron, rose dan kembang setaman.

“Langsung gue import dari jawa. Susah nyari beginian di kota.” tutur Dimas.

Semua sesajen sudah berada di sebuah nampan dari anyaman bambu yang lebar. Bau kemenyan menyeruak ke setiap sudut ruangan. Mike, sedikit gemetaran mengeluarkan satu benda dari tasnya. Hasil karyanya sendiri.

“Boneka batok kelapa.” dicuap Mike pelan. Sudah terpasang satu buah spidol di badan boneka, dan sudah terpampang lembaran kertas yang siap menjadi media tanya jawab gaib malam ini.

Sebenarnya ritual ini bisa dilakukan setelah lewat jam sembilan malam dan harus dengan jumlah perserta ganjil minimal lima orang. Jumlah mereka cukup, tapi Dimas sengaja mengulur waktu hingga tengah malam.

***

00.01 WIB

“Siap?” tanya Dimas memulai ritual. Di sini sebenarnya Aldi lah peran utamanya, semua ritual ini untuk Aldi.

Satu kali helaan napas, Dimas mulai membaca mantra, dan keempat orang lainnya memegangi boneka jelangkung. Bau bakaran dupa, buhur maghribi dan menyan sangat menyengat di hidung mereka.

“Hong hiyang ilaheng hen jagad alusan roh gentayangan onone jaelangkung jaelengsat siro wujude ning kene ono bolone siro wangsul angslupo yen siro teko gaib wenehono tondo ing golek bubrah. Hayo enggalo teko pangundango hayo ndang angslupo ing rupo golek wujud, wujud, wujud..” satu kali Dimas membaca mantra. Belum terjadi apa-apa di sekitar mereka.

Dua kali, tiga kali, empat kali. Masih belum terjadi apa-apa hingga keempat orang yang memegang boneka itu merasa jenuh.

Angin mulai masuk ke dalam ruangan dari celah-celah jendela setelah kelima kalinya Dimas membacakan mantra. Suasana ruang kamar Aldi mulai kacau. Horden yang melayang mengikuti tiupan angin. Lampu yang mulai berkedip dan kemudian …pecah!

Dimas masih terlihat tenang, tapi ketiga orang lainnya, terkecuali Aldi, mulai tidak kuat menahan berat beban dari boneka jelangkung itu.

Angin semakin kencang dengan bertambahnya detik waktu permainan itu dimulai. Jendela-jendela kaca terkoyak habis, puing pecahannya berserakan di lantai. Barry, Fathan, Mike, mereka seolah tak mampu lagi melanjutkan permainan itu. Teriakan kencang terdengar dari mulut mereka, dan berakhir dengan kesadaran yang hilang dari ketiganya. Ah, bukan tiga, tapi empat, termasuk Dimas.

Angin mereda, suasana perlahan tenang dalam kegelapan. Tak berpenerangan satupun.

“Dim.. Mike..” ucap Aldi pelan dalam pecariannya. “Than.. Bar! Kalian nggak apa-apa, kan?” Aldi mulai cemas dalam kesendiriannya.

Saben wayah lingsir wengi.. Mripat iki ora biso turu.. Tansah kelingan sliramu, wong bagus kang dadi papujanku.. (Setiap tengah malam, mataku tidak bisa tertidur. Selalu teringat dirimu, pria tampan yang jadi pujaanku..)

Tembang jawa itu tiba-tiba terdengar di telinga Aldi. Suaranya mengalun merdu menembus hatinya. Suara seorang wanita yang tak diketahui siapa orangnya.

“Siapa kamu?” tanya Aldi ketika matanya menangkap sesosok wanita berbaju putih terang. Tapi pengelihatannya tak mampu memandang dengan jelas. Seperti ada kabut yang mengaburkan jernih visual di sekitarnya.

“Kamu siapa?” tanya Aldi sekali lagi. “Kenapa kamu dari dulu ngikutin aku terus? Salahku apa?”

“Bukannya kita pernah berjanji sehidup semati?” jawab wanita itu dengan suara yang sangat lembut. Aldi merinding ketakutan.

“Sehidup semati apa?”

“Iya… Kita dulu pernah janji sehidup semati… Tapi, kamu lebih dulu hidup, meninggalkan aku sendiri…”

Aldi semakin heran dengan perkataan makhluk yang tak mampu dilihatnya jelas itu.

“Maksud kamu apa?!” Aldi bertanya secara emosional.

“Kamu adalah hidup kedua dari cinta pertamaku… Di kehidupannya yang pertama, dia sama-sama mati bersimpah darah denganku. Itu janji kami untuk sehidup semati, tapi dia lebih dulu mendapatkan hidup kedua daripada aku, dan itu adalah kamu..”

***

Tahun 1856.

Sepasang muda-mudi tengah berduduk santai di atas perahu. Mereka menikmati indahnya telaga tempat mereka memadu kasih. Sesekali ciuman manis mendarat di pipi ataupun bibir masing-masing dari mereka. Tapi, si wanita nampak murung setelahnya.

“Dewi, kenapa kamu murung gitu?” tanya lembut sang pria.

“Mas, apa benar kita cuma berakhir di titik ini? Apa orangtua kita benar-benar nggak mau nerima kita?”

“Jangan dipikirin, Wi. Yang penting aku sama kamu sekarang. Kamu ingat janji kita, kan?”

“Janji? Sehidup semati, mas?”

“Iya…”

Dewi menatap mata Anggoro dalam-dalam. Ada lembut ketulusan dilihatnya dari sana. Anggoro terlihat sangat tidak ingin meninggalkan Dewi, walaupun kedua orangtua mereka tidak merestui hubungan ini.

Hubungan ini, hubungan sedarah. Dewi adalah adik kandung dari Anggoro. Mereka bisa seperti ini karena jarak setelah orangtua mereka berpisah dan memutuskan untuk hidup masing-masing. Dan rasa mereka adalah cinta pertama untuk keduanya.

“Mas…” ucap Dewi sembari mengulurkan satu potongan kecil bambu.

“Sekarang, Wi?”

“Iya, Mas. Biar kita bisa cepat-cepat jadi satu di keabadian.”

Potongan kecil bambu itu menjadi alat bagi mereka untuk meregang nyawa. Pinggiran bambu yang tipis dan tajam diiriskannya ke pergelangan mereka masing masing, dan tangan mereka yang bersimpah darah dengan sangat erat saling berpengang.

“Kita akan abadi, Wi. Aku janji…”

Sejauh mana pun jarak


antara aku dan dia,



tak cukup kata tuk lukiskan,



bintang menyala terang…



Ratu cahaya,



letupan jiwaku..



Ratu cahaya,



permata angkasa…


(Astrid – Ratu Cahaya)

***

Aldi adalah Anggoro di masa lalu?

“Jadi, itu alasanmu ngikutin aku sejak aku kecil?”

“Kita berjanji sehidup semati. Memang benar kamu sudah punya kehidupan kedua. Maka, keabadian yang dulu kamu ucapkan, ingin aku tagih dengan cara menjadi pengikutmu…”

“Caramu salah! Kamu malah nakutin semua orang di rumah ini dengan menampakkan diri sewaktu-waktu..”

“Itu karena aku rindu…” balas Dewi.

Ini adalah kisah cinta pertama di masa lalu. Masa yang sudah menenggelamkan mereka di jernihnya air rawa. Tapi, keabadian yang diinginkan itu berlanjut hingga sampai di dua dimensi yang berbeda. Hidup kedua setelah Anggoro mati.

“Dewi.. Dengan cara apa biar kamu mau tenang dalam matimu?” Aldi bertanya dalam getar tubuhnya.

“Bukan tenang dalam matiku, tenangkanlah aku dalam hidupmu…”

“Maksudmu?”

“Mas Anggoro, aku hanya akan menyingkir dari bayanganmu jika kamu sudah beristri. Dan aku akan menitipkan nyawaku dalam janin yang istrimu kandung nanti…”

Itu adalah tuntutan Dewi untuk keabadian yang dia inginkan dengan Anggoro, yang adalah Aldi di masa sekarang ini. Meminjam janin sebagai penitip nyawanya jika Aldi sudah beristri kelak.

***

Selama tiga tahun setelah kejadian itu, Aldi tetap merasa ada yang mengikuti dirinya dalam segala kegiatan yang dilakukannya. Tapi Aldi yang sekarang merasa lebih tenang karena dia sudah tahu apa keinginan dan tujuan makhluk beda dimensi yang mengikutinya.

“Dia adalah cinta pertamaku di kehidupanku yang lalu…”

Hari ini Aldi terlihat panik di rumah sakit. Istrinya, Laras, berteriak kesakitan karena bayi yang ada dalam kandungannya seolah mencari jalan, ingin segera lahir.

Ini adalah hari baru bagi Aldi dan keluarga kecilnya.

“Mas Anggoro, akan kamu beri nama siapa anakmu?” seperti ada yang berbisik di telinga Aldi.

“Dewi… Aku beri nama Dewi Larasati…” jawab Aldi yang diikuti suara tangis pertama anak pertamanya. Dewi seketika sudah benar-benar hilang hari itu juga.

Mas Anggoro, kita di masa lalu adalah saudara sedarah yang saling mencinta. Kita janjikan keabadian untuk diri kita, walaupun dengan cara mati mendapatkannya. Di hidup baru ini kita pun masih sedarah, tapi aku ditempatkan pada satu darah yang tercipta dari setetes sprema yang membuahi rahim istrimu..


TAMAT

***


note: mantra sebaiknya jangan dibaca jika tidak ingin sesuatu terjadi. :)


Ditulis @misterkur dalam http://samuderakering.wordpress.com

No comments:

Post a Comment