Monday, September 3, 2012

Tunggu Aku Tua


“Minggu depan aku akan menikah.”

Kata-kata yang meluncur mulus dari mulut Sukma terdengar seperti gelegar guruh di siang hari milik Malik.

“Hei. Malik ada di sini kan?”

Sukma menatap Malik lekat-lekat. Dia yakin jiwa Malik sedang berkelana. Padahal Malik sedang menata perasaannya yang seketika hacur mendengar kabar tersebut. Malik tersenyum.

“Menikah? Dengan?”

“Dengan pangeran berkuda putih yang selalu diharapkan kehadirannya oleh putri cantik ini.”

“Kebanyakan dibacain dongeng pas kecil ya? Atau masih jaman berkhayal seperti itu?”

“Akhir-akhir ini kamu gak pernah selalu ada buat aku. Sampai akhirnya aku merasa bersalah karena kamu jadi sahabatku yang terakhir yang tahu aku akan menikah.”

Sukma memasang muka cemberut kemudian tertawa memamerkan kedua lesung pipinya. Perasaan Malik makin tak karuan. Sebenarnya dia sudah tahu bahwa banyak laki-laki di luar sana yang mendekati Sukma. Malik sadar dia hanyalah pengecut, hanya memendam perasaannya kepada Sukma selama 6 tahun ini. Malik merasa minder sekaligus iri pada seorang laki-laki yang minggu depan akan menjadi suami Sukma. Dia pasti memiliki sesuatu yang telah hilang dari diri Malik. Dan minggu depan dia akan memiliki tubuh dan cinta Sukma seutuhnya.


“Pokoknya aku mau kamu jadi pendamping pengantin wanita. Dan bila perlu, kamu harus mengajak pasanganmu datang ke akad nikahku.”

“Nyindir?”

“Hei. Kamu itu sahabat terbaik aku. Jadi wajar dong kalo aku pengen kamu juga ikut bahagia di acaraku nanti.”

Malik tersenyum lagi. Kali ini, kecut.

“Mulai malam nanti aku sudah dipingit. Gak boleh keluar rumah lagi. Kalo tiba-tiba aku kangen kamu, kamu main ke rumah ya,”

Senyum Malik makin kecut.

“Aku pulang dulu ya. Papa uda di depan. Bayarin minumku ini ya,”

Sukma bangkit dari tempat duduknya kemudian menyempatkan diri untuk memeluk Malik. Malik merasa ini mungkin pelukan terakhir yang bisa dirasakannya.

Dasar pengecut! Mau terus terang aja susah. Selamat menyesal ya Malik.

Malik bertengkar dengan dirinya sendiri. Meratapi kebodohannya. Seketika penglihatannya kabur dan kepalanya terasa berat.

**

Malik yang berada di sebuah ruangan besar dengan aroma karbol pekat sedang dikelilingi beberapa orang berbaju hijau muda dan mengenakan masker.

“Sudah siap Mas Malik?”

Malik mengangguk. Dimasukkan cairan berwarna putih susu ke dalam pembuluh vena tangannya. Hidungnya sekarang ditutupi masker. Kelopak matanya berat tapi sayup-sayup dia masih mendengar percakapan orang-orang dalam ruangan tersebut.

“Mari kita berdoa sebelum operasi ini dimulai. Berdoa dimulai.”

Kemudian suara borehole terdengar dan mulai melubangi kepala Malik sementara Malik sudah tak merasakan apa-apa lagi.

“Setel lagu yang diminta Malik ya. Pelan saja.” pinta laki-laki yang tadi memimpin doa pada seorang perempuan di hadapannya.

You will remember when this is blown over~
And everything’s all by the way
When I grow older I will be there at your side to remind you
How I still love you~

Sementara berpuluh kilometer dari ruangan itu, di sebuah ruangan terasa aura penuh kebahagiaan dan kekhidmatan menyaksikan bersatunya dua anak manusia dalam ikatan perkawinan. Dan tak ada satu orang pun dalam ruangan itu yang tahu bila di dalam pikiran pengantin wanita tengah berkecamuk memikirkan sahabat terbaiknya.


ditulis @mareretha dalam http://primariayu.wordpress.com

No comments:

Post a Comment