Ini adalah cerita tentang Eliezer dan Ivory.
El dan Ivy, teman lama.
El adalah sahabat dari pacar Ivy di SMA. Mereka bertiga bertetangga. Pulang pergi sekolah bersama-sama otomatis menjadi kebiasaan mereka.
El dan Ivy telepon-teleponan sesekali. Tentu saja Ivy selalu bercerita kepada pacarnya soal ini.
Tapi ketika Ivy putus dari pacarnya, selesai sudah rutinitas pulang pergi sekolah bersama. Selesai pula kedekatan mereka.
Selesai pula El bagi Ivy, dan Ivy bagi El.
Lalu dari mana cerita ini berawal?
Sederhana.
Ucapan selamat ulang tahun yang disampaikan Ivy lewat tembok jejaring sosial milik El yang berlanjut ke percakapan melalui ponsel pintar.
Setelah belasan tahun, El ternyata masih bisa membuat Ivy tertawa.
Setelah belasan tahun, Ivy ternyata lebih mudah El goda.
Begitulah. Perhatian bisa direbut lewat kelakar.
Seperti banyak yang terjadi di kota-kota besar.
Bertukar pesan berjam-jam tanpa juntrungan.
Hingga tiap kedipan lampu kecil di ujung ponsel bisa bikin jantungan.
Dari sekedar bertukar gurauan, sampai kata-kata hati-hati di jalan.
Pesan El di suatu waktu untuk Ivy ” Hey, tau gak lo? Lo bikin gue kecanduan.”
Dan reaksi Ivy? Dia hanya tertawa pelan.
El laki-laki pintar.
Apapun yang dia inginkan, selalu dia kejar.
Saat itu, Ivy lah yang dia incar.
Dan ternyata mudah saja untuk mendapatkan Ivy, semudah menyala-matikan saklar.
Ivy perempuan pintar.
Ia tahu kalau El sedang menjadikannya sasaran.
Hendak menjadikan ia sekedar pelepasan.
Tak apa, toh Ia mengikuti permainan hanya semata-mata karena El tampan.
Bukan El yang pandai merayu.
Tapi Ivy yang sengaja meladeni, ia ingin tahu seperti apa cara El, teman lamanya berburu.
El dan Ivy sama-sama pintar.
Bedanya, El waspada, dia membungkus hatinya rapat-rapat, sedangkan Ivy ceroboh, ia membiarkan hatinya tak bercadar.
Singkat cerita, mereka menentukan waktu untuk bertemu.
Untuk bercumbu.
Ivy yang lebih dulu membuat kesepakatan. Ivy tidak suka posisi di atas dan Ivy tidak mau terbawa perasaan.
El mengiyakan. Tanpa perlu repot menyusun alasan. Hasil buruan sudah menggelepar di tangan.
El hanya perlu terbang satu jam untuk bertemu Ivy.
Dan Ivy? Seminggu penuh ia merancang alibi.
” Lo sudah di hotel, El? “
” Sudah. Lo otw ke sini kan, Vy? “
” Iyalah. Kata lo kan jam 5. Sudah sempat makan?”
” Belum. Gue mau makan elo.”
” Haha. Bawa karet pengaman. Kita main aman.”
Begitulah, mereka pun bertemu.
Sedikit gugup Ivy menapaki tangga lobi, berhenti untuk menarik napas di depan pintu.
Pintu terbuka. Dan El ada di sana.
Berdiri menyambut Ivy dengan senyum di bibirnya.
Rok pensil hitam, dipasangkan dengan cardigan baby gold yang menutupi kamisol abu-abu.
Kemeja kotak-kotak dengan jins biru.
Mata mereka beradu.
“Hai. Elo kurusan yah, Vy.”
“Hai, El. Ga nyangka, elo bisa tambah tinggi.”
“Hahaha”
“Hahaha”
Pintu lift tertutup.
Pintu kamar terbuka, mereka masuk.
Ivy meletakkan tasnya di atas meja, melirik ranjang, kemudian duduk.
El mengeluarkan ponselnya.
” Ini anak gue, Vy.” Dia menunjukkan foto seorang anak yang belum genap setahun sedang digendong oleh seorang perempuan cantik, istrinya.
” Ganteng ya anak lo, El.”
” Iya lah, liat aja ayahnya.”
” Hahaha”
” Hahaha”
Mereka berbicara, tentang pekerjaan, tentang band dimana El menjadi salah satu personilnya, tentang ayah Ivy yang baru saja meninggal, tentang ini-itu, tentang mengejar belasan tahun waktu yang mereka lewati sendiri-sendiri.
Yang El tidak tahu, Ivy berusaha memasukkan suara El ke dalam ingatan, untuk diputar ulang nanti.
Yang Ivy tahu El sebenarnya gugup, meracau ia berkali-kali.
” Jadi gimana? The deal still on right?”
El mendekati Ivy.
Ivy mendekati El.
” Menurut lo?”
El tersenyum.
Ivy tersenyum.
El melepas cardigan Ivy, mengecup lehernya, membaringkan Ivy pelan-pelan.
Ivy mengulum bibir El, menangkupkan jemarinya di kedua pipi El perlahan.
Jemari El menjelajahi tubuh Ivy, senti demi senti.
Ivy membuka kancing kemeja El, satu demi satu, tidak ada yang terlewati.
El membuka gesper, kemudian melucuti celananya.
Ivy menunggu El kembali menarikan jemarinya.
Kenapa Ivy tidak ikut melepas pakaian? El bertanya-tanya.
Tapi ini bukan saatnya untuk berpikir panjang.
Maka El memutuskan untuk kembali naik ke ranjang.
Dan yang terjadi selanjutnya, mereka berbagi lenguhan, berbagi dekapan, bertukar cairan.
El sedikit kasar tapi anehnya di saat yang sama Ivy merasa terlindungi, Ivy merasa dimenangkan.
Sementara El…selama penisnya bisa masuk keluar, tidak ada yang perlu dipikirkan.
Menit demi menit tubuh mereka menyatu.
Ivy seperti tidak mau melepaskan peluk, diejanya detak jantung El satu-satu.
“Just. Finish.Me.” Bisik Ivy di telinga El.
Dan tubuh El meregang, melepas setiap sel.
Kemudian selesai.
Ivy terbaring dengan pakaian dan rambut yang kusut masai.
El di sisinya, memeluk dan mengecup bibir, bahu dan punggung.
Ivy terdiam, merasakan hatinya sedang ditelikung.
Ponsel El berbunyi.
“Bini gue. You don’t go anywhere. Stay!”
Ivy turun dari ranjang, merapihkan pakaian, rambut, dan melangkah ke depan jendela.
Kurang dari lima menit , setelah menyalakan keran di kamar mandi, El menyusul, mereka melihat gerimis yang membasahi bias lampu kota di bawah sana.
Sedikit percakapan ringan, diselingi kecup di bibir, bahu, dan punggung, lengan El memeluk Ivy dari belakang.
Masih dengan tubuh yang telanjang.
Sampai Ivy merasa, sudah saatnya ia untuk pulang.
“Gue antar sampai lobi?”
“Ga usah lah. Bukannya lo mau mandi?”
El bersandar di pintu.
Sementara Ivy memakai sepatu.
“Okay, this one, stays here. Don’t act surprised if tomorrow I delete you from my contact list.”
Ivy mengernyit.
“Not if I delete you first. What the fuck, El?”
“Bercanda, ah.” Dan satu lagi kecup dibibir.
Ivy mundur satu langkah menjauhi El.
” El… this gonna sounds weird, I know that I should forget this, tapi kalau gue ga bisa?”
El tersenyum. Menarik pinggang Ivy, jarak mereka tidak sampai lima senti.
“Don’t forget, just try to not remember.”
Dan satu lagi kecup di bibir.
El tidak tahu kalau Ivy merinding, hati Ivy tergelincir.
Ivy meraih gagang pintu, tapi El menarik tangannya, kemudian memeluknya.
Satu pelukan sebelum Ivy pergi.
“Gue ga tau kapan lagi gue bisa peluk elo.”
Bisik El sebelum mereka dipisahkan selapis pintu.
Demikianlah. Tidak sampai menghabiskan lima jari tangan untuk menghitung waktu mereka bertemu.
Setelah hari itu, mereka masih sering bertukar pesan.
Tentu saja El yang memulai duluan.
Tapi El hebat.
Dia bisa berlagak kalau hari itu tidak pernah lewat.
Sedangkan Ivy melewati hari-hari sesudahnya dengan bayangan senyum El yang masih melekat.
Hati Ivy tercuri, bahkan sebelum ada kesepakatan diantara mereka, Ivy terlambat sadar.
Rindunya mekar.
Tidak bisa tidak, Ivy harus bertanya.
“El…should I keep you?”
“Mmmm…are you okay?”
“Just answer it! Goddamned, El!”
“Ya..simpan gue, terus lepas lagi, simpan, terus lepas. Like a joy ride. Gitu aja, Vy.”
“I’m serious!”
“So don’t. Don’t keep me, Vy.”
“………..”
Ivy sudah menduga jawaban El.
Setelah hari itu, El semakin jarang menghubungi Ivy.
Semakin jarang.
El masih ada tapi tidak pernah menyapa, apa bedanya dengan menghilang?
Ivy bingung bukan kepalang.
Bukan hanya sekali dua kali Ivy mencoba meraih El, mulai dengan metode yang paling absurd, menebar kode di status ponsel pintar, sampai cara yang lebih absurd lagi, mengoceh di lini masa hingga bertebaranlah kicauannya menyaingi burung yang dijual di pasar.
Dan sepi tanggapan. El tidak mungkin mendadak tidak bisa baca. Ivy curiga El pura-pura buta. Padahal tidak perlulah Ivy kecewa.
Jauh di dalam hati, Ivy sadar bahwa El hanya berhenti perduli. El tidak pura-pura buta, apalagi mendadak tidak bisa baca.
Yang diinginkan Ivy sebenarnya sederhana.
Bertukar pesan berjam-jam tanpa juntrungan.
Hingga tiap kedipan lampu kecil di ujung ponsel bisa bikin jantungan.
Dari sekedar bertukar gurauan, sampai kata-kata hati-hati di jalan.
Dan sekali lagi mambaca Pesan El ” Hey, tau gak lo? Lo bikin gue kecanduan.”
Itu saja.
Andai El tahu kalau dia bisa membuat Ivy tertawa.
Bukan sekedar mengetik “Hahahaha”
Seperti yang Ivy lakukan pada laki-laki yang lainnya.
El tidak tahu apa-apa tentang Ivy.
Bagaimana bisa, kalau pertanyaan apa kabar dianggap El sebagai basa-basi.
Ivy hanya bisa menduga kalau El takut Ivy jatuh cinta.
Padahal cinta Ivy sudah habis tanpa sisa.
Yang Ivy rasa hanyalah rindu belaka.
Sedikit lucu, tapi rindu tanpa cinta ternyata ada.
Ada kalanya Ivy nekat menginjak gengsi dan mengirim pesan.
Biasanya saat ia sedang rindu tidak karuan.
Memulai pembicaraan cukuplah dengan topik ringan.
El yang menerima pesan, membalas dengan asal.
Ivy menatap layar, kemudian menyesal.
Kembali memunguti gengsi yang terlanjur menjadi remah.
Ivy menghela napas, pasrah.
Tapi ada kalanya, sangatlah jarang, El yang mengirim pesan.
Entah, mungkin El sedang kesambet setan.
Dan Ivy membaca kalimat El perlahan-lahan. Kemudian bingung menyusun balasan.
Saat sudah terkirim pun Ivy masih kebingungan.
Bagaimana kalau balasannya nanti tak berbalas?
” Sebodo amat” Ivy menggumam dengan memelas.
Lalu hatinya mengumpat ” Bajingan. Ponsel bangsat!”
Padahal Ivy tahu setahu-tahunya kalau El hanya menganggap setiap detik dan detak yang dikenang Ivy adalah petualangan seputar selangkangan. Dan mungkin El sedang kembali mengincar, kali ini perempuan keturunan cina daratan.
El tidak bisa disalahkan. Karena setahu El fungsi dirinya hanyalah sebagai jaring pengaman saat Ivy ingin keluar dari zona nyaman. Bukankah sejak awal, Ivy yang tidak mau terbawa perasaan?
Mereka sama-sama tidak mencari cinta. Hanya mencari apalah namanya? Sweet escape with a bit of adrenalin rush? Terserahlah mau disebut apa.
Bedanya, El membiarkan endapan adrenalin yang berupa rindu mati dimakan jarak yang nyata terbentang.
Dan buat apa rindu disayang-sayang?
Toh saat bertemu beberapa bulan yang lalu Ivy tidak mau telanjang.
Sedangkan Ivy, persetan dengan jarak!
Dan di hati Ivy, endapan itu berkerak.
Dia sukarela menghayati rindu.
Dilinting sedikit demi sedikit, untuk dihisap sebagai candu.
Masih dikenangnya kulit El yang selembut beledu. Dan harum El yang seperti hutan randu.
Dan soal tidak mau telanjang? Ivy hanya ngeri kalau El batal ereksi.
Karena dibandingkan si istri, tubuh Ivy kalah seksi.
Sekali lagi
El dan Ivy sama-sama pintar.
Bedanya, El waspada, dia membungkus hatinya rapat-rapat, sedangkan Ivy ceroboh, ia membiarkan hatinya tak bercadar.
Bedanya lagi, buat Ivy cerita ini belum final, sedangkan buat El semua sudah dianggap kelar.
Dan saat ini, hujan sedang turun.
Lagu dari iPod El mengalun.
I know we’re just like old friends . We just can’t pretend. That lovers make amends.
We are reasons so unreal. We can’t help but feel that something has been lost. But please you know you’re just like me.
Next time I promise we’ll be Perfect.
El menatap hujan, lalu tersenyum kecil saat melintas di kepalanya sosok Ivy . Memang begitu sesekali.
Sementara, 900 km dari El yang sedang melamun.
Lagu dari radio di mobil Ivy mengalun.
Angel, you know it’s not the end. We’ll always be good friends . The letters have been sent on. So please, you always were so free . You’ll see, I promise we’ll be Perfect .
Ivy menatap hujan, lalu El menyerbu dari hati ke kepala, melukis senyum yang buru-buru ia hapus sebelum sang suami yang sedang di belakang kemudi bertanya-tanya.
Entah mengapa, Ivy merasa lagu itu untuknya.
Begitulah cerita mereka.
El dan Ivy.
Eliezer dan Ivory. Teman lama. Bertemu hanya sekali setelah belasan tahun tidak berjumpa.
Biarkan saja. Mungkin dengan begitu, mereka sempurna.
***
*) Diinspirasi dari lagu Perfect - Smashing Pumpkins
Ditulis @noiirio dalam http://katanyanoi.wordpress.com
Cerpen favorit aku di edisi Cinta Pertama ini... <3
ReplyDelete