Saturday, September 22, 2012

Aku Yang Harus Pergi


Sudah tiga hari aku ikut tinggal bersama sepasang kakak beradik yang baik hati ini. Bukan di rumah yang indah, teratur. Ini hanya rumah kardus, di sudut kota entah taman kota yang luas. Aku tiba di sini ditolong mereka, kata si adik aku pingsan di dekat ayunan taman kota.

Tempat tinggal mereka kecil, tetapi rapi. Di dalam hanya mereka berdua. Tetapi ada beberapa rumah tinggal seperti ini di samping kanan kiri mereka. Di sini semua ramah, dan hangat. Pekerjaan mereka sama, sebagai pemulung.

Si Kakak bernama Nanang, seumur denganku. Si Adik bernama Nining. Mereka yatim piatu, dan sudah tak bersekolah lagi. Mereka saling menjaga satu sama lain, membuatku terharu. Mengingatkanku pada Kakakku, yang juga selalu sayang padaku. Tetapi tiga hari lalu aku pergi dari rumah, tanpa pamit. Kupikir biar kakak mengerti.

Nanang mencari uang, Nining menjaga rumah. Jika malam Nining belajar membaca, menulis, dan berhitung dengan Nanang. Pun mejelang tidur Nanang membacakan cerita dari buku cerita yang sudah lapuk. Kini melihat mereka, aku kangen Kakak.

Oiya. Aku Lala, namaku Stella. Usiaku 10 tahun. Kakakku bernama Bintang, aku memanggilnya kak Abin, dia 14 tahun. Hobinya merakit robot. Orangtua kami sudah bercerai setahun lalu. Semestinya aku ikut Mama, bukan aku memilih ikut Papa, tetapi aku tak mau berpisah dengan Kak Abin. Dialah yang memeluk, melindungiku dari benda-benda yang beterbangan kala pertengkaran orangtua kami. Aku hanya bisa menangis tanpa suara.

Sebulan sebelum pelarianku, Kak Abin sedang sibuk mempersiapkan kompetisi robot di kota kami. Sepulang sekolah tak pernah bermain lagi denganku, menemaniku menulis atau menggambar. Rumah jadi sepi. Walau sebenarnya aku sendiri sunyi.

Aku belum cerita ya.. Aku tuna rungu.

Hingga hari itu, aku kehabisan kertas gambar. Meminta Kakak menemani membeli sepertinya tak mungkin. Sekarang masuk kamarnya saja pasti Kakak sudah melotot, biar aku tak mengganggunya.

“Ah Kak, Lala tahu, tak mungkin mengganggu Kakak, suara pun aku tak dengar. Aku mau temani Kakak, seperti Kakak selalu temaniku.”

Aku pernah melihat banyak kertas di meja Kakak. Diam-diam, sambil mengendap-endap aku masuk kamarnya. Benar. Ada banyak kertas. Tetapi di atas tumpukan kertas ada rangkaian robot yang sudah jadi dan siap untuk kompetisi. Berhati-hati aku sedikit menggesernya agar mudah aku mengambil kertas itu.

Tetap saja aku kurang berhati-hati, entah akhirnya tanganku menyenggol dan menjatuhkan rangkaian itu. Sedikit berhamburan. Cepat aku berjongkok berusaha membenahi. Aku gugup.

Tiba-tiba seseorang dari belakang menghentak bahuku. Tangan Kak Abin. Dengan gugup aku berusaha sekuat tenaga menjelaskan dengan bahasa isyarat. Kak Abin telanjur murka. Dari gerak bibirnya aku membaca. Kak Abin menyuruhku pergi, bahkan menyuruhku keluar dari rumah. Kak Abin tak mungkin melihat tanganku di pelipis, tanganku di dada meminta maaf. Kakak sudah menutup pintu.

***

Hari ini aku harus meneruskan ke rumah Mama. Ini keputusanku. Aku sudah berpamit pada Nanang dan Nining. Kutinggalkan mereka dengan buku gambar, buku tulis, serta spidol warna. Juga buku-buku cerita, agar mereka selalu belajar. Mereka memberiku bekal sepotong bakpao, ah ini seharga setengah hari kerja Nanang. Kutulis di kertas ucap terima kasih kepada mereka. Iya, mereka akhirnya tahu aku gadis cacat. Dari gerak bibir Nanang terbaca ucapan terima kasih, hati-hati, dan selamat jalan.

***

Perjalananku tidak jauh, aku tahu rumah Mama. Aku menuju dan pasti. Digenggamku ada jepit rambut bentuk bintang, pemberian Kak Abin.

“Kak Abin, Lala hanya ke rumah Mama. Maafkan Lala, Kak. Hari itu Lala sungguh tak sengaja, bukan tak menghargai jerih payah Kakak, seperti yang Kak Abin ucapkan pada Lala. Kelak jika tinggal kita berdua, Lala harap saat tiba waktu itu, Lala sudah kuat, sudah mandiri, tak lagi menggantungkan diri pada Kakak. Lala selalu ingat kata Kak Abin, jaket dan obat-obatan, lihat Kak, Lala sudah membawanya. Tetap sehat ya Kak, semoga Kakak menang.”

–Lala cuman kangen Kakak..

@_bianglala


meski mungkin aku yang harus pergi
tak apa tanpa harus ku mengerti

biar aku melangkah
menemani bintang menerangi malam
jangan resahkan aku
yang penting bahagia untukmu selalu kasihku


(Bintang – Kahitna)


Ditulis oleh @_bianglala dalam http://pelangiaksara.wordpress.com

No comments:

Post a Comment