Wednesday, September 12, 2012

Arcadia dan Asmodeus


    Baju besi Jeanne bergemerincing berisik saat ia setengah berlari menuju singgasana Raja Charles VII. Dua tahun lebih sudah berlalu semenjak ia membantu Prancis membebaskan diri dari tangan tirani Inggris pada Perang Seratus Tahun.  Tak pernah ada yang menyangka sebelumnya, bahkan warga desa Domremy tempat kelahirannya, bahwa gadis lugu putri dari seorang peternak kambing mampu menjadi ksatria wanita pertama Prancis. Orang-orang pun mulai menamainya Jeanne d’Arc.

                Masih terlintas di ingatan Jeanne saat ia masih remaja, tiga malaikat bernama Michael, Catherine, dan Margaret turun dari surga dan memberitahunya bahwa ia harus membebaskan Prancis. Sayangnya satu hal yang tidak diungkap sejarah adalah kenyataan pahit bahwa perang antara Prancis dan Inggris ini bukan sekedar perang antar dua negara, melainkan perang antara manusia dengan pasukan iblis—fakta yang dianggap konyol sehingga tidak masuk buku sejarah manapun. Ketiga malaikat yang turun di hadapan Jeanne menugasinya bukan sekedar membebaskan rakyat Prancis, tetapi membasmi iblis yang merasuki negara Inggris—pencetus terjadinya invasi ke Prancis.

                Masih ingat pula Jeanne bagaimana ia berhadapan dengan Raja Henry VI dalam usahanya mengusir Inggris dari tanah Prancis. Sang raja dari Inggris itu ternyata dirasuki oleh seekor iblis bernama Asmodeus. Iblis itu lepas dari neraka dan merasuki sang raja dengan tujuan membuat seluruh daratan Eropa sebagai rumah baru bagi pasukannya. Maka, dengan pedang yang telah diberkati oleh ketiga malaikat, Jeanne berhasil menebas leher raja Henry VI.

                Sayangnya, Jeanne hanya mampu menebas tubuh fisik raja Henry VI. Jiwa Asmodeus berhasil kabur tepat sebelum pedang Jeanne mendarat di leher sang raja, dan sebagai usaha balas dendam terakhir Asmodeus, ia menusukkan cakarnya ke jantung Gilles de Rais, teman seperjuangan sekaligus kekasih hati Jeanne d’Arc. Sejak saat itu, Jeanne bersumpah akan memburu Asmodeus bahkan jika ia kembali pulang ke neraka sekalipun!

                Prancis bebas, namun hati Jeanne tak bisa lepas dari dendam kepada Asmodeus. Jeanne kini memimpin pasukan khusus Prancis dalam menangani hal-hal berbau mistik, langsung di bawah perintah raja Charles VII. Maka di sinilah ia, membungkuk di hadapan sang Dauphin, menunggu perintah selanjutnya.

                “Anda memanggil, Yang Mulia?”

                Raja Charles VII berdehem sedikit. “Ya, La Pucelle d’Orleans. Kurasa tugas kali ini sebaiknya kau saja yang langsung turun tangan,”

                Jeanne mengangkat kepalanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung. Sudah lama sang raja tak memberinya tugas untuk ditangani langsung oleh Jeanne. “Tugas seperti apa kalau hamba boleh tahu, Yang Mulia?”

                “Jeanne, dengarkan baik-baik,” raja Charles mengambil napas, “Sudah beberapa hari ini seekor iblis terlihat di kota Chinon, Jeanne. Warga ketakutan dengan keberadaannya di sana,”

                “Apa sudah ada korban jiwa, Yang Mulia?”

                “Tidak ada. Atau mungkin belum,” jawab raja Charles VII, “Iblis itu hanya berdiri diam saja di puncak menara benteng St. Augustins setiap malam,”

                Jeanne mengangguk mengerti. “Akan hamba tangani, Yang Mulia,”

                “Aku belum selesai, Jeanne,” Sang raja melanjutkan. Jeanne tidak jadi beranjak dari tempatnya. “Kau tahu kenapa tugas ini khusus untukmu?”

                Jeanne mencoba menebak-nebak. Gagal. “Tidak, Yang Mulia,”

                “Menurut deskripsi, iblis di kota Chinon itu adalah Asmodeus,”

                Jeanne menggenggam pedangnya dengan begitu keras.



* * *

                Sang Iblis berdiri begitu anggun di puncak menara St. Augustins. Sayapnya yang lebar terlipat dengan anggun di punggungnya. Cakar-cakarnya yang besar begitu mengkilat terkena cahaya rembulan. Pemandangan yang begitu kelam dan menyedihkan. Pemandangan yang hanya berupa dendam bagi Jeanne.

                Jeanne berlari menuju puncak menara. Pedangnya terhunus dan sosok sekarat Gilles de Rais terus membayangi kepalanya. Mata Jeanne nyaris basah namun ditahannya mati-matian. Ia tahu dendam tidak akan membawa sosok Gilles kembali hidup, tapi ia tak peduli. Jantung Asmodeus adalah jawaban amarahnya.

                “Asmodeus!” teriak Jeanne saat ia sudah berada di menara St. Augustins dan berhadapan dengan sang Iblis.

                Asmodeus menoleh. “Jeanne..,”

                “Aku menantimu, Iblis!”

                Asmodeus terdiam. Sayapnya sedikit mengepak.

                “Kembalikan ia,” Jeanne tak tahan lagi. Air matanya menetes, “Kembalikan Gilles!”

                Hal yang terjadi berikutnya adalah pedang Jeanne menembus jantung Asmodeus, dan seketika, sekeliling Jeanne mendadak gelap gulita. Jeanne pingsan.



* * *

                “Aku di mana?” Jeanne mengerjapkan mata. Ia baru saja tersadar dari pingsannya dan hal terakhir yang dia ingat adalah membunuh Asmodeus. Jeanne menolehkan pandangan ke sekitar. Gelap. Jeanne mencoba berdiri kemudian ia meraba-raba. Ia tak menemukan apapun.

                “Demi tiga malaikat, aku ada di mana?” Jeanne masih saja menolehkan pandangannya, berharap ia menemukan sedikit cahaya.

                Tiba-tiba saja tanah yang dipijak Jeanne mulai memendarkan cahaya. Jeanne melihat ke bawah, dan didapatinya sebuah pentagram besar berpijar malu di bawah kakinya. Pentagram itu begitu ajaib, memamerkan beragam gambar bergerak. Samar-samar, Jeanne mengenali sebagian besar sosok-sosok dan adegan-adegan yang dilihatnya di pentagram itu.

                “Kita rebut benteng Tourelles!” kata sesosok pria sambil mengeluarkan peta Prancis. Gambar di pentagram tiba-tiba berganti.

                “Matilah kau, anjing Prancis!” teriak seorang tentara. Gambar berganti lagi.

                “Oh, Jeanne…” Jeanne tersentak kaget. Dilihatnya sosok dirinya di dalam pentagram itu, tersenyum manis. Gambar kemudian berganti lagi.

                “Aku akan merebut apa yang kau cintai, Jeanne!” teriak sesosok iblis. Jeanne mengenali adegan ini: saat-saat sebelum Gilles menghembuskan napas terakhir.

                “Berhenti!” Jeanne menangis lagi. Ditutupnya kedua matanya. Ia tak mau melihat mimpi buruk ini untuk kedua kalinya.

                Dalam isak tangisnya, Jeanne sayup-sayup mendengar seseorag memanggil namanya. “Jeanne..,” kata suara itu. Jeanne kenal betul pemilik suara ini.

                “Gilles?” Jeanne menolehkan pandangan ke arah datangnya suara. Sesosok pria terlihat berdiri dan tersenyum. Pria yang dicintai Jeanne. “Gilles? Kaukah itu? Kau masih hidup?”

                “Ya ini aku Jeanne,” sosok Gilles, “dan tidak, aku sudah mati. Ini hanya jiwaku,”

                “Kita ada di mana, Gilles?”

                “Kau dan aku berada dalam hati Asmodeus, Jeanne,”

                “Oh Gilles, apa yang terjadi?”

                “Dengarkan aku, Jeanne,” sosok Gilles kemudian membantu Jeanne berdiri, lalu memeluknya erat. “Ingatkah kau saat Asmodeus menembus jantungku?”

                Jeanne mengangguk lemah. Ia benci diingatkan akan hal itu, tapi sosok Gilles ada di depannya. Mendekapnya erat seperti dulu.

                “Saat Asmodeus menusuk jantungku, di saat itu pula aku menyelam ke hatinya,”

                Jeanne melepaskan pelukannya. “Apa maksudmu, Gilles?”

                “Saat menyelami hati Asmodeus, aku menawarkan jiwaku untuk sang Iblis, sebagai pengganti hidupmu, keselamatanmu,”

                “Aku tak percaya ini, Gilles!”

                “Kau lihat pentagram di bawahmu, Jeanne?” Gilles menunjuk tanah pijakan Jeanne. “Itu adalah ingatanku, dan bukti bahwa aku sudah terikat kontrak dengan Asmodeus,”

                “Apa yang harus kulakukan agar kau bebas, Gilles? Haruskah aku membunuh diriku sendiri agar Asmodeus juga mengambil jiwaku?”

                “Hentikan pikiranmu itu, Jeanne. Hidup tiap manusia adalah seni terhebat kita, seni yang tak dimiliki oleh iblis.”

                “Lalu bagaimana hidupku jika aku tak bersamamu?”

                “Jeanne,” Gilles kembali memeluknya. “Aku tak bisa meramal masa depan, pun aku tak tahu bagaimana cara untuk hidup. Satu-satunya yang kutahu adalah apa yang kurasa benar, Jeanne: mencintaimu. Mencintaimu memberikanku cahaya di tempat paling gelap sekalipun,”

                “Gilles…,”

                “Jeanne. Hapuskan dendammu. Dua unsur utama pembentuk hati manusia adalah tindakan memaafkan dan tindakan cinta, dan kau menunjukkan betapa besarnya dua aspek itu di hatimu,”

                “Tapi..,”

                “Sudah Jeanne. Kini saatnya kau kembali ke permukaan. Tempatmu bukan di sini, tetapi di atas sana,” Gilles menunjuk ke arah langit. Cahaya kecil muncul di sana. Gilles pun memeluk Jeanne untuk terakhir kalinya. “Ingat Jeanne: tidak ada pemenang jika dendam berkuasa.”

                “Aku mencintaimu, Gilles!” Tubuh Jeanne melayang pelan menuju cahaya.Ia mencoba menggapai tangan Gilles, namun tubuhnya tak mengikuti keinginannya.

                “Aku tahu, Jeanne. Aku tahu. Mungkin kita akan bertemu lagi dalam sosok yang berbeda, di waktu yang berbeda, tempat yang berbeda, dan kehidupan yang berbeda. Kita akan memulai lagi kisah dari awal,”

                Tubuh Jeanne kini benar-benar sudah ditelan cahaya, sementara sosok Gilles pelan-pelan menghilang kembali ke dalam kegelapan.



* * *

                Kaki Jeanne kini menapaki lantai batu menara St. Augustins. Sosok iblis Asmodeus menghilang entah kemana, tetapi ia tak khawatir, jiwa Gilles menahan Asmodeus agar sang iblis tidak mencelakai manusia. Meski Jeanne masih menangis, bibirnya menyunggingkan senyum. Cahaya pagi menyentuh kulit wajahnya, dan hatinya tersadar bahwa pemaafan dan cinta jauh lebih ampuh untuk menghilangkan musuh daripada sebilah pedang.



—The only thing that are hearts are made of are the acts of forgiveness and love—



(Didasari lagu berjudul “Forgiveness and Love” oleh Miley Cyrus)


ditulis @rebornsin dalam http://inwordswetrust.wordpess.com

No comments:

Post a Comment