Friday, September 14, 2012

Jingga Di Ujung Senja

Aku masih ingat betul, setahun yang lalu di ujung Jembatan Ampera yang menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini pertama kali aku bertemu denganmu, tepat saat langit berwarna jingga di ujung senja yang sebentar lagi akan terkalahkan oleh malam.

    Kau datang dengan sejuta pesonamu
    Kau buatku terpaku saat kau tersenyum
    Sesaat waktu berhenti saat kau langkahkan kaki
    You’re the beauty
    Beauty is you — (Abdul and The Coffee Theory)


Saat itu kamu melintas masih dengan seragam kerjamu. Lalu berhenti tepat di sampingku, karena kita berdua memiliki hobi yang sama: menikmati senja jingga di atas hamparan sungai Musi yang memantulkan sinar mentari yang hampir tenggelam.
Aku berusaha sepenuh jiwa untuk mengusir raguku yang ingin menyapa dan sekadar berkenalan denganmu. Entah, akhirnya dari mana kekuatan itu muncul dan kata-kata yang sebelumnya belum pernah terpikirkan oleh otakku pun meluncur begitu saja dari mulutku. Pun juga denganmu.
Kita menjalin cinta tanpa istilah jadian. Semua mengalir begitu saja seiring berjalannya waktu.

    Ku cinta kau saat ini
    Lebih dari hari yang kemarin
    Dan akan kuberikan lebih dan lebih
    Sampai akhir hayat nanti — (Abdul and The Coffee Theory)


Begitulah kata-kata yang selalu aku, kamu, dan kita selalu ucapkan untuk saling menguatkan, yang membuatku selalu nyaman saat bersamamu dan berjanji akan segera melamarmu.
Dan aku masih sangat ingat sebulan yang lalu. Orang tuamu menolak lamaranku, pun juga orang tuaku yang tidak menyetujui hubungan kita. Hubungan cinta kita terombang-ambing, menyisakan pilihan yang berat. Kita hanya berpegang pada ranting rapuh, sedang badai terus datang menghantam kita. Terlebih saat orang tuamu sudah menjodohkanmu dengan lelaki yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan orang tuamu. Mereka tidak akan mengakuimu sebagai anak jika kamu menolak menikahi lelaki itu.

    ‘Cause you’re a criminal
    As long as you’re mine — (Lady Gaga)


Dan aku tidak bisa membiarkan hal ini. Tubuhmu menjadi hak miliknya, sedang hatimu masih kau titipkan dan malah masih menjadi milikku. Ini adalah kejahatan dalam hubungan cintamu dengannya, pun aku yang menanggung sakit yang sama dengan sakit dan perih luka yang kamu alami. It’s not fair.
Besok adalah tanggal pernikahanmu dengannya. Hari ini, tepat satu tahun setelah kita bertemu waktu itu, tepat saat langit berwarna jingga di ujung senja yang sebentar lagi akan terkalahkan oleh malam, kamu menemuiku di tempat yang sama. Kulihat matamu yang sangat indah, kini terlihat mendung dan sembab. Kita berdua hanya saling tatap tanpa bahasa. Lama. Kita saling menyelami kedalaman mata yang masih mengisyaratkan harap. Seketika tangismu tumpah. Aku mendekat, hingga dada kita menyatu dan degup jantung kita menjadi selaras. Kuhirup aroma parfum yang masih tersisa di pakaian kerjamu, menghirup aroma tubuhmu. Aku berbisik pelan di telingamu:

    But baby don’t cry, you had my heart at least for the most part
    ’cause everybody’s gotta die sometime,
    We fell apart, let’s make a new start
    ’cause everybody’s gotta die sometime, yeah
    but baby don’t cry — (Avenged Sevenfold)


Kulirik benda mengkilat yang kuselipkan di ikat pinggangku. Ku meraihnya. Cairan merah hangat membasahi dadaku dan dadamu. Semua menjadi gelap. Gelap. Dan hanya gelap. Selebihnya hanya sesal. Kita tak lagi punya kesempatan memohon ampun-Nya.

ditulis @aa_muiz dalam http://butirbutirhujan.wordpress.com

No comments:

Post a Comment