Kaki ini membawaku berjalan namun pikiranku membawaku melayang ke setiap hamparan kenangan yang terbang melintas cepat membawaku kembali harus menatap sepasang manik biru yang menatap tajam bersama sebuah senyuman yang seakan menikmati pujian yang dilemparkan.
I cover my ears and listen to you.
I close my two eyes and picture you.
“Dia menang lagi.”
“Siapa?”
“Menurutmu siapa lagi?”
“Dia.”
“Ya, dia. Ah ya, selamat kau di peringkat kedua.”
“Selamat?”
“Ya, kau hebat bisa mengalahkan yang lain.”
“Yang lain?”
Aku kembali menghela nafas dengan berat tanpa berusaha menghalangi ingatan masa lalu yang harusnya tak begitu penting terbersit sekarang, kali ini kembali ke beberapa putaran bumi mengelilingi matahari, menampilkan sepasang manik mata yang sama kali ini dengan sebuah tawa penuh semangat menunjuk gambar yang terpasang di dinding ruangan.
“Tak ada yang akan menolak, itu adalah sesuatu yang hebat. Impian yang sulit ditolak.”
“Kau benar – benar akan menjadi itu nanti.”
“Ya, aku bisa. Aku pasti bisa.”
“Aku juga bisa.”
“Tidak. Kau tak bisa.”
“Kau meremehkanku?”
“Ya.”
Tanganku bergerak merapikan angin yang mengacak helai rambutku berusaha mengembalikannya ke keteraturan yang kuharapkan. Tepat seperti beberapa hitungan jutaan detik sebelumnya saat ini, sepasang manik biru itu menatap tajam,
“”Kenapa?”
“Bukankah itu impian dari dulu?”
“Kenapa bukan yang lain?”
“Kenapa harus yang lain?”
“Jawab saja!”
“Karena….”
“Karena apa?”
“Karena ini impianku.”
“Kau tak akan bisa mengalahkanku.”
Setelah itu hiruk pikuk menenggelamkan, tepat seperti saat ini. Aku berusaha mengangkat daguku, mengacuhkan setiap kesibukan yang tak ada kaitannya denganku. Kueratkan genggaman tangan kiriku di kertas besar yang penuh tulisan. Menahan tawa yang sepertinya tak kuasa untuk tak berderai.
‘Kali ini aku menang.’
‘Tak ada namanya, hanya ada aku.’
‘Aku berhasil mengalahkanmu’
Sebuah siluet di ujung sana menyurutkan senyumku, menyadarkan lamunanku.
‘Apa yang dilakukannya?’
Bisa kurasakan geraknya yang semakin nyata. Semakin bergetar, saat tubuh itu memutar menghadapku. Aku mengenalnya. Aku mengenal sepasang manik biru sekalipun tersembunyi oleh tirai persegi hitam padat yang bertengger di depannya. Sekilas menatapku sebelum kembali sibuk dengan benda persegi bercahaya yang tadi sempat disandarkan ditelinganya.
“Kau darimana?”
“Pengumuman.”
“Hasilnya?”
“Lulus.”
“Hasil lengkapnya?”
“ Kedokteran. Seleksi Nasional. Pertama.”
Entah apa yang dilakukan sepasang manik biru itu di belakang tirai hitam pelindungnya saat wajah itu masih terpaku di depanku. Tak pernah kurasakan menang darinya akan sekaku ini.
“Kau?”
“Jurusan Bisnis. Inggris. Direkomendasikan.”
Is it a daydream? Seandainya aku bisa kembali ke waktu ini nanti, aku benar benar akan menampar wajah terkejut yang terpasang di diriku. Manik biru itu kemudian menebar kearoganan khasnya setelah tirai hitam itu dihela oleh tangan kanan. Di detik yang sama hujaman manik itu melempar serpihan kenangan yang tak sempat terbersit.
“Bukan karena tak bisa, tapi kalian sudah menyerah bahkan sebelum berdiri di hadapanku.”
“Aku tak akan menyerah.”
“Untukmu pertanyaannya adalah bagaimana caranya?”
“Memulainya dengan berdiri di hadapanmu.”
Bisa kudengar langkah panjang dan kibasan jaket biru itu mengejek di telingaku. Sesak. Kuhabiskan sedekade di belakangnya, mengerahkan setiap sel tubuhku untuk berpacu mengejarnya, melawan setiap keinginanku sendiri.
Even if it hurts, even if I get hurt, I can only live if there is you.
A life without you is like death.
I can’t go forward or backward.
How can I? How?
Entah berapa lama aku menjadi seperti ini. Matian – matian ingin mengalahkannya. Tapi, jika ia tak kesana, bagaimana dengan aku? Siapa yang akan kulawan? Langkah panjang itu terhenti.
“Hei! Apa kau selama ini mengikutiku?”
Manik biru itu tertangkap pandanganku saat kepala itu menoleh. Bisa kurasakan kebekuan sesaat yang menyergap setiap jengkal tubuhku. Ingin kumaki waktu yang seakan berkhianat untuk maju.
“Kau tak akan pernah menang dariku.”
Jika bisa, seandainya jika bisa aku berharap aku lenyap tak berbekas. Tidak sekarang, aku benci kilat kesombongan manik biru itu.
“Kau tak akan pernah bisa mengalahkanku.”
Ingin kupejamkan mataku namun kedua manik biru itu mencengkeram kelopak mataku, menahannya terbuka untuk menatap kilat arogan terakhir yang nyata bersama sebuah pernyataan sebelum ditutupi tirai pelindungnya.
I can’t believe it’s ending like this.
Just because of this.
“Menyingkir! Jangan berusaha berdiri di belakangku!”
*)Diinspirasi oleh lagu Daydream - Super Junior
Ditulis oleh @viniprscla dalam http://sereneofcleine.tumblr.com/
No comments:
Post a Comment