Monday, September 17, 2012

Boleh Aku Berkenalan?

Boleh Aku Berkenalan??

Perjodohan itu menurutku hal mengesalkan selain menunggu di ruang praktik dokter saat badan sedang nggreges. Alasannya sederhana. Ini bukan lagi tentang memilihkan baju atau kolor saat aku cuma bisa menetek pasrah. Ini tentang kehidupanku. Aku yang menjalaninya hari ini dan kelak. Seharusnya sudah cukup jelas bagi mereka untuk menghormatinya. Bukan justru memaksakan ukuran dan standardnya padaku. Sudah lama aku tidak sreg dengan pilihan mereka. Sejak aku duduk di bangku SMP, aku sudah berniat akan menolak. Tapi saat itu aku masih terlalu kecil. Alasan apapun akan dianggap tak logis. Kuakui saat itu keberanianku pun masih seujung kuku untuk mengambil keputusan besar.

“Biarlah Along cari sendiri, Mah. Along sudah dewasa. Tua malah. Tak perlu lagi Mamah dan Bapak mengarahkan Along harus ikut ini atau ikut itu. Mamah repot sendiri, Along belum tentu suka,” kataku suatu hari.

“Siapa bilang kami repot, Nak?? Kami tidak merasa repot.  Kami cuma meneruskan. Ini sudah tradisi. Sebagai garis keluarga, kau tidak akan melanggarnya bukan?? Kau tidak akan durhaka pada Mamahmu ini kan??”

Selalu begitu. Alasan klise yang diulang-ulang. Apa hubungannya antara tradisi dan durhaka kepada orang tua?? Apa iya harus tetap melanjutkan tradisi jika sudah tak lagi baik untuk kehidupan sendiri?? Kaku. Keluarga ini tak siap pemikiranku berubah.

Karena sudah tak tahan lagi, aku memutuskan melakukan pencarian ini sendiri. Yang jelas aku tak bisa menerima apapun alasan perjodohan ini. Dengan hanya berbekal backpack besar, aku keluar dari rumah. Pecah tangis Mamah ketika itu. Anak lelaki tertuanya berani melawannya. Sedang Bapak terlihat marah meski diam. Adik-adik kecilku ikutan menangis melihat Mamahnya menangis.  Segera kupalingkan punggung. Tekad ini sudah tak terbendung.

-

Kudatangi acara ceramah demi ceramah. Kuikuti tiap ritual yang kutemui di perjalananku. Aku mau menemukan apa yang mereka cintai, kemudian aku belajar mencintainya pula. Aku berusaha mendekatkan diri ini pada apa yang membuat mereka terikat. Kujelajahi tempat-tempat yang orang bilang sakral. Namun aku masih belum puas. Rindu ini masih belum menemukan pemiliknya.

Hingga kemudian kurasakan pencarian ini sudah sampai batasnya. Dua tahun delapan bulan sudah aku buang-buang waktu. Hati ini tetap tak menemukan pautan. Kosong, hampa, tak ada cinta. Seketika terbayang wajah Mamah dan Bapakku dengan raut memandangku kasihan. Ah, apakah ini berarti aku harus menerima perjodohan itu?? Tapi ini adalah hidupku. Apa aku bisa menjalani hidup dengan pilihan keyakinan dari orang lain?? Aku pusing. Kurasakan leherku seketika menegang. Rasa kesal, marah, putus asa, dan lapar ini akhirnya membuatku pingsan.

Saat aku sadar, kutemukan aku tengah berbaring di atas tumpukan kardus dekil. Kepala ini masih pusing, pandanganku masih berputar-putar. Kulihat seekor kecoa melintasi betisku. Sebelum tanganku sempat mengusirnya, seorang bocah sudah menangkapnya duluan lalu membuang ke luar.

“Abang udah bangun?? Minum dulu, Bang,” disodorkannya segelas air putih padaku. Aku kemudian duduk. Kuminum air itu tanpa rasa curiga. Saat dia masuk ke dalam, ku amati tempatku kini berada. Sebuah bedeng kumuh dari kardus-kardus yang disusun. Tidak ada tembok batu-bata. Semuanya kertas. Aku mulai menebak aku ada di mana dan bersama siapa.

Bocah itu kembali lagi. Kali ini dia membawa semangkok bakso.

“Abang, makan dulu. Kami cuma punya ini. Abang makanlah biar sehat,” katanya ramah. Tubuhnya dekil. Hitam dekil. Kurasa dia ini pemulung. Seorang bocah lain yang lebih kecil ada di belakangnya dan menatapku polos. Saat kutatap dia balik, dia tersenyum. Aku balas senyum.

“Abang mau kemana?? Abang tadi pingsan. Aku yang bawa Abang kesini. Maaf tapi tadi Abang aku seret. Nggak ada orang yang bisa dimintain tolong,” katanya.

“Makasih ya. Siapa namamu??”

“Rizal. Ini adik saya, Marwa.”

“Teddy. Orang tua kalian ada??”

“Enggak, Bang. Udah mati pas ikutan demo nolak digusur,” katanya enteng.

“Abang makan baksonya gih. Nanti keburu dingin. Kami sholat dulu ya Bang.” Kemudian aku ditinggalkannya masuk ke dalam. Kupandangi bakso yang sudah menjadi hangat ini. Kerucuuukkk…….perut ini memang jujur. Kumakan dengan lahapnya. Tak sampai lima menit bakso itu sudah ludes kumakan.

Kudengar suara denting sendok beradu dengan piring dari dalam. Mereka sedang makan, batinku. Aku berniat mengembalikan mangkok ini dan mencucinya. Aku harus tahu diri sebagai tamu. Kuberanikan diri untuk melongok ke dalam. Tirai tipis dari kain kafan yang sudah tidak putih lagi ini kusibak sedikit. Bisa kulihat kedua kakak beradik ini sedang duduk di atas kardus. Di hadapannya ada piring dan sendok yang…….kosong. Kuperhatikan dengan lebih seksama. Piring itu kosong dan bersih. Tidak ada sisa makanan apapun di dalamnya. Rizal dan Marwapun tak terlihat seperti sedang mengunyah. Aku bingung. Apa mereka sedang melakukan sebuah ritual?? Ritual apa??

“Kalian sudah makan??” kataku. Rizal tampak kaget.

“Euh…ss…sudah Bang.”

Kudekati mereka dan mengangkat piring yang ada di hadapan Rizal.

“Ini kan piring bersih. Mana?? Nggak ada bekas makanan sedikitpun. Kalian makan apa tadi??”

Keduanya tampak kebingungan. Rizal menunduk tak berani melihatku. Sedang adiknya, Marwa bersembunyi di balik badan kakaknya.

“Boleh kutahu kalian tadi sedang apa?? Kenapa memukul-mukul piring dengan sendok??”

Agak lama suasana bedeng ini menjadi sepi hingga kemudian Rizal menjawab.”

“Maaf Bang. Kami….kami terpaksa begitu. Uang kami cuma cukup buat beli semangkok bakso buat Abang tadi.”

“Kenapa tidak bilang?? Kenapa repot begitu??” kataku kaget. Mereka diam. Ah kenapa pula aku marahi mereka. Mereka pasti cuma ingin berbuat baik.

“Lalu kenapa memukul piring dengan sendok??”

“Kata Emak dulu, kalo kami kedatangan tamu lalu kami cuma punya makanan cukup buat kami maka kami harus memberikannya pada tamu. Lalu kami akan pura-pura makan biar tamunya nggak merasa nggak enak hati, Bang. Emak juga bilang, kami nggak usah khawatir nggak bisa makan. Tuhan pasti ngasih gantinya.”

Seketika aku seperti dilolosi seluruh tulang sendiku. Jantungku berdetak kencang. Aku meneteskan air mata haru. Sekelibat otakku memutarkan cerita Ibrahim yang akhirnya menemukan apa yang dia cari.

“Boleh aku berkenalan dengan Tuhan kalian??”

Di hadapan anak-anak kecil ini, aku mengucapkan cinta untuk pertama kalinya.

“Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku

Hanya diriMu yang bisa membuatku tenang….”

ditulis @ildesperados dalam http://whatthehhh.tumblr.com

No comments:

Post a Comment