Alia menarik lengan Emil agar mendekat padanya, "Kamu mau ke mana?" dia bertanya dengan nada cemas.
"Aku harus pergi, Alia. Waktuku sudah habis di sini." Jawabnya sambil melepaskan pegangan tangan Alia perlahan.
"Kamu jaga shift siang, 'kan? Jam 2 itu masih lama. Kamu jangan ke mana - mana, di sini saja bersamaku." Alia mendesak, namun Emil menggeleng.
"Baik - baiklah kamu di sini. Kelak, aku tidak akan bisa datang lagi di saat kamu membutuhkanku, walaupun kamu memohon."
"Emil, jangan pergi!"
Teriakannya kosong mengambang di udara. Emil tidak mendengarkan dan membalikkan badannya untuk pergi dari tempat itu. Alia masih terus berteriak namun ketika dia ingin mengejar, kakinya seolah terpaku di bumi. Alia panik, dia berusaha berteriak lagi. Sekuat tenaga. Namun yang dia dapati hanyalah tubuhnya sendiri, yang basah dibanjiri keringat dingin dengan kedua tangan terkepal mencengkeram selimut. Emil datang lagi ke mimpinya. Alia memejamkan matanya sejenak, beradaptasi dengan kenyataan.
Aku terlalu memikirkannya. Dia baik - baik saja. Ya, aku tahu dia akan baik - baik saja. katanya dalam hati, sekaligus untuk menghibur dirinya sendiri.
Kemudian dia merentangkan tangannya untuk meraih steker lampu meja yang ada di samping tempat tidurnya. Kamar yang semula gelap itu kini samar - samar mendapat penerangan. Jam meja waktu itu menunjukkan pukul 3.40.
Dengan menghembuskan nafas panjang dia bangkit dari tidurnya. Udara segar langsung memenuhi ruangan kamarnya begitu dia membuka jendela. Langit masih terang oleh bulan purnama, yang sinarnya membuatnya mampu melihat menembus kegelapan. Dari kamarnya dia bisa melihat hingga ke ujung jalan kompleks rumahnya. Sesekali berkas cahaya itu hilang ketika bulan tertutup awan yang melintasinya, membuat bulan itu terlihat seolah bergerak.
Kasihan bulan kesepian di sana, sendirian. Karena itu dia jalan - jalan untuk mencari teman.
Dia ingat pernah mengatakan hal itu pada Emil, ketika mereka sedang berjalan pulang setelah menyelesaikan tugas piket shift sore di rumah sakit. Emil menertawakannya karena dia kekanak - kanakan, terlalu banyak nonton drama romantis. Dia bilang itu tidak cocok untuk calon dokter seperti mereka yang setiap hari menghadapi darah dan pisau bedah.
Ada milyaran galaksi di jagad raya ini, jadi kamu jangan merasa kasihan. Bulan tidak pernah kesepian meskipun dia tampak selalu sendirian.
Alia tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dia lakukan bersama Emil. Senyum di wajahnya yang lelah usai bertugas mampu membuat sal - sal rumah sakit yang dingin itu menjadi hangat, setidaknya bagi Alia. Sekedar sapaan di sela - sela padatnya pekerjaan mereka sudah cukup mengembalikan moodnya. Kadang hanya duduk di sebelahnya saja, menghabiskan makan malam tanpa berbicara apapun, sudah cukup.
"Alia."
Terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar. Alia membukanya.
"Ada telfon untukmu. Kenapa HP mu tidak aktif?"
"Batrenya habis dari tadi malam. Aku lupa belum ngecharge lagi."
Katanya sambil berjalan menuju ruang tengah. Dia mengangkat gagang telfon sambil berdiri dan dengan tangan kanannya yang bebas dia memencet air dari water dispenser.
"Hallo. Dengan Alia di sini."
Sapanya setelah menghabiskan air minumnya.
"Alia?"
"Kak Alma? Ada apa tumben menelfon pagi - pagi?"
Hening sejenak. Alia merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Tubuhnya seperti terhembus angin dingin yang membuatnya bergidik.
"Kak... ada apa?" dia bertanya dengan hati - hati.
"Alia... maaf kakak harus mengabarimu dengan cara seperti ini." Alma diam, seperti sedang menyusun kalimat yang tepat untuk disampaikan pada Alia. "Emil... sudah pergi."
"Kak..."
"Sekitar jam 3 dia sempat sadar, tapi hanya sebentar. Jam 4 tadi... dokter bilang Emil sudah meninggal. Mungkin ini yang terbaik untuknya, 2 bulan koma sudah membuatnya cukup menderita. Kakak juga ngga tega melihatnya." Alia bisa mendengar suara Alma yang serak karena sedang menangis. "Kamu tidak perlu ke rumah sakit, sebentar lagi kami membawa Emil pulang. Biar nanti kakak atau Gilang yang menjemputmu."
Gagang telepon itu jatuh tergantung nyaris menyentuh lantai, memotong percakapan 2 wanita yang sama - sama terluka. Alia tahu hari ini akan tiba, namun dia tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Di luar sana langit sudah terang, bulan yang tadi bersinar cantik kini semakin pucat, lelah dan kesepian. Setidaknya dia tidak sendiri, Alia pun, kini merasakan hal yang sama.
ditulis @rohmah_ dalam http://mystoryland-myworld.blogspot.com
No comments:
Post a Comment