Februari 2012 – Banyak yang menyebut bulan ini sebagai bulan cinta. Saling berbagi hadiah; coklat, bunga dan barang lainnya sebagai ungkapan rasa cinta. Sementara di ruangan sebuah rumah sakit, waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Tampak seorang anak muda sedang menjaga ibunya yang sedang sakit keras. Arian namanya. Sulung dari empat bersaudara. Malam ini adalah tugas jaganya Arian. Sudah 3 hari ibunya berada di rumah sakit. Malam-malam sebelumnya, adik-adik Arianlah yang menjaga ibunya.
Semakin malam, ibu semakin mengeluhkan sakitnya. Badannya sakit. Tiada henti bibirnya berdzikir. Ia kemudian memanggil Arian. Arian mendekat. Ibu memeluk tubuh Arian,erat. sambil berbisik; “aku sayang kamu, nak!” kalimat itu membuat tubuh Arian bergetar. Ia menangis sambil membalas pelukan ibunya.
Sudahlah, bu. Istirahat! Tidurlah! Lekas sembuh dan pulang ke rumah. Bukankah sebelum kemari, ibu katakan hanya 3 hari saja di sini. :kata Arian
Setelah itu, ibu kemudian tertidur. Sesekali ia terbangun karena kesakitan. Bertanya apa langit sudah terang. Apa sudah pagi. Kemudian tidur lagi. begitu terus hingga benar-benar pagi.
Sebelumnya ibu memang sudah sering sakit-sakitan. Beliau sering bolak-balik ke dokter. Sudah empat dokter yang ia temui. Sempat juga melakukan pengobatan alternatif. Tapi sakitnya tak kunjung sembuh. Saat-saat itu Arian sering tidak berada dirumah dan jarang sekali mengantar ibunya ke dokter. Beruntung mereka punya keluarga besar yang saling bantu satu dengan lainnya. Apapun itu, baik dari segi moril maupun materi.
pernah sekali Arian disuruh ibu ke laboratorium membawa hasil rontgennya untuk dibuat perbandingan; apakah sakitnya tambah parah atau sudah berkurang. Sepulangnya, mereka mengobrol sebentar. ibu mengeluhkan sakitnya pada Arian. Dadanya sering sesak dan agak sakit. Pernah, waktu ia batuk, ada cairan lendir bercampur darah yang keluar bersamaan. Mendengar itu, hati Arian sedih sekali. Selama ini, Arian selalu menghindar dari pembicaraan dan situasi seperti itu. Berusaha menjauh agar tidak terbawa kesedihan. Egois memang.
Hari sudah pagi. banyak yang menjenguk ibu. Ibu tak lagi cerewet seperti semalam. Itu dikarenakan sakit yang dialaminya pada seluruh badan. Barangkali karena terlalu lama ditempat tidur dan tidak banyak gerak. Ia juga sering ingin mencabuti jarum infusnya. Dan selalu dilarang Arian. Diamnya ibu membuat Arian sedikit takut. Menurutnya, lebih baik ibunya banyak bicara daripada hanya diam menahan sakitnya. Dokterpun datang. Ia mengecek nadi ibu. Dan membawa hasil test darahnya. Ternyata ibu ada sedikit gangguan diginjalnya. Ibu juga terkena asma. Dan banyak cairan ditubuh yang membuat kaki dan wajahnyanya sedikit membengkak. Semakin sore kondisi ibu makin melemah. Dokter memberi isyarat bahwa kondisi ibu kritis. Ibupun dipasangi oksigen, untuk membantu pernapasannya. Suasana dalam kamar rumah sakit semakin haru. Keluarga dekat semuanya telah datang berkumpul. mereka disuruh dokter agar mengikhlaskan kepergian ibu. Tentu saja. Hal itu membuat sedih. Keempat anaknya; Arian, Arya, Ardan dan Nissa bergantian membisiki telinga ibunya seraya memohon maaf bila ada kata atau perbuatan selama hidup mereka yang menyinggung dan menyusahkan ibu. Suami ibu, ayah dari keempat anak itu telah berpulang lebih dulu sekitar tiga tahun lalu.
Arian kemudian duduk disamping ibunya. Bibirnya terus membisikkan kalimat syahadat di telinga ibu. Mengantarnya menuju sang pencipta. Tak lama kemudian. Tarikan nafas ibu berhenti. Ibu telah pulang menghadap illahi.
***
Malam itu genap 100 hari. diatas lantai, tergelar tikar tempat bersila sanak keluarga dan tetangga melakukan pengajian, kini kosong. Mereka sudah selesai mengirim du’a. tampak Arian merebahkan tubuhnya disitu. Mencoba untuk tidur tapi masih saja terjaga. matanya sembab, ia bersedih. teringat kepulangan ibunya.
Setelah kau tiada, lalu siapa?
Lalu siapa yang akan meneleponku?
Menanyakan kabar dan kapan aku pulang ke rumah.
Lalu siapa yang akan merindukanku, ibu?
Ketika aku sedang berada jauh darimu.
Lalu siapa yang akan jadi lawanku merebut remote tv?
Yang pemenangnya dihadiahi acara kesukaan masing-masing.
Lalu siapa yang akan memarahiku?
Ketika hari gelap dan lampu belum juga kunyalakan.
Lalu siapa yang akan mengomeliku?
Melihat kamar tidurku yang berantakan serta pakaian kotor yang berserakan dilantai.
Lalu siapa yang akan mencandaiku dengan kalimat: “tanpa aku, tak ada uang s-aku.”
Lalu du’a du’a siapa yang akan baluri tubuh kurusku?
Tak ada yang benar-benar kurindukan selain merindukanmu, ibu.
Ibu, wajahmu hujan, mata jendelaku berkaca-kaca.
engkau cermin, aku retak melihatmu berkaca.
ditulis @onossel dalam http://tempathurufberkumpul.wordpress.com
No comments:
Post a Comment