Terlalu sepi, detak jam terdengar nyaring. Embun di kaca cukup tebal membuat titik laser merah tak berhenti mencari sasaran, bekas peluru menembus dari balik kaca yang entah dari mana asalnya. Keringatku menetes, darahku mengucur dari balik jas hitam dan nafasku pun menderu.
Di layar televisi, puluhan polisi mengacungkan senjata ke sebuah gedung dan aku di dalamnya. Terdengar suara baling-baling helikopter yang saling berbalap dengan degup jantungku.
Sungguh, aku tak mengira akan berakhir di sini, di depan terminal pemberangkatan setelah apa yang kualami seharian. Bungkusan di balik jas hitamku pun mulai menyala. Berkedip-kedip dan berbunyi dengan berisik.
Siapa sangka atasan mengajakku meeting dan makan siang, padahal pesan pendek berkali-kali muncul di telepon genggam? Mesin fax pun mendarat di kepalanya. Bahkan di jalan seorang ibu-ibu yang baru belajar menyetir berjalan pelan mengambil dua jalur, dan kaca spionku pecah saat mencoba menyalip beserta cacian sesaat kubuka kaca jendela.
Detik masih berjalan, jalanan menuju bandara macet total. Kakiku mengayun cepat, dua kilometer kemudian terlihat dua mobil paling depan bertabrakan dan adu mulut, polisi tak mampu melerai. Beberapa pukulan mendarat di muka dan perut pengemudi tadi. Persetan, setidaknya mereka merasakan keegoisan telah mengacaukan laju lalu lintas. Beberapa mobil kini mulai memutar roda melintasi kami, sang polisi pun menggamit tanganku ke belakang. Bukankah aku pahlawan bagi mereka?
Kini aku di mobil polisi berwarna putih biru, sang polisi meninggalkanku sendiri berjalan ke arah dua pengemudi tadi. Kunci masih tergantung, ini kesempatanku. Dengan tangan terborgol aku melompati kursi dan menyalakan mobil, setidaknya aku berhasil kabur dan suara tembakan terdengar dari belakang. “Kupinjam mobilmu sebentar, bila waktu telah tiba, akan kukembalikan” ucapku dalam hati.
Sirene meraung memberi jalan untukku, setidaknya aku bisa lebih cepat menuju bandara tanpa gangguan apa pun lagi. Hingga tiba di bandara, aku lari masuk ke pintu, namun detector berbunyi saat aku melintas dan polisi bandara langsung menggeledahku karena aku menyimpan sesuatu di dadaku. Puluhan mata melirikku namun memalingkan muka ketika aku menatapnya.
Mereka kira aku teroris, padahal aku tak membawa bungkusan berisi bom atau senjata api. Dengan tangan terborgol yang kusembunyikan di balik jas, aku mengalungkannya ke polisi bandara dan beradu kepala dengannya. Seluruh petugas keamanan langsung menghampiriku dengan senjata tongkat. Perkelahian tak terelakkan, seorang diantaranya mengambil pistol di sakunya, namun kulemparkan sepatu ke arahnya terlebih dahulu.
Nafasku terengah, tiga jam sudah aku dalam perburuan. Sebuah pesan pendek darinya lagi, pesawatku dibatalkan. Tak kuat lagi aku menahan luka di balik jas hitamku, tubuhku mulai rebah dan terasa amat ringan. Sungguh aku bukan teroris, aku hanya orang yang merindui kekasihnya dengan sangat. Hingga seluruh isi jantungku ingin meledak karena ingin bertemu. Beberapa orang menatapku dengan terharu, mereka tahu bagaimana jahatnya rindu. Beberapa dari mereka pun membakar dirinya dengan minyak tanah, lalu berteriak kesakitan sambil berlarian.
Rindu sungguh kejam, aku menyerah dengan luka di sekujur tubuhku selama ini. Pandanganku kini mulai kabur, aku lupa seperti apa wajah kekasihku selain dari foto dalam dompet. Tanganku pun mulai mati rasa, dan manusia yang terbakar itu pun mulai memelukku. Panas, aku terbakar! Bungkusan itu terlempar jauh dariku.
Sebelum nafasku terhenti, aku melihat dirinya di televisi bersama teman lelakinya. Jantungku berdegap kencang, dadaku sesak oleh asap yang membakar. Aku terbakar api cemburu, bungkusan yang terjatuh pun terbuka, bandara meledak oleh rasa yang tak tentu.
ditulis @dhanzo dalam http://serigalasalju.wordpress.com | Fire Starter
No comments:
Post a Comment