Ini hari Minggu. Dia pasti akan lewat di depan rumah seperti biasanya. Dan seperti biasanya, aku yang sedang duduk di teras depan rumah ini pasti akan dipanggilnya.
“Selamat pagi, anak kecil!”
Nah.
Anak kecil. Entah mengapa dia masih menyebutku seperti itu sampai saat ini.
Hal ini sudah terjadi sejak beberapa minggu yang lalu. Sejak dia pindah ke komplek perumahan ini dan menjadi tetangga baruku. Sebenarnya dia bukanlah orang baru. Namanya Dewa. Sesungguhnya dia adalah sahabat kecilku.
Panggillan ‘anak kecil’ itu sering dilontarkannya, dulu, sebelum kami akhirnya berpisah dan tak pernah bertemu lagi. Dia memang lebih tua dariku. Tapi sebetulnya kami tak pernah mempermasalahkan hal itu. Sejak awal kami juga sudah sama-sama memanggil nama masing-masing tanpa adanya sebutan ‘kakak’ ataupun ‘adik’. Aku juga lupa sejak kapan dia mulai memanggilku dengan sebutan ‘anak kecil’. Dia memanggilku seperti itu karena kata dia, aku begitu mudah menangis. Kata dia, aku ini terlalu cengeng. Sementara dia, tak pernah kulihat dia sekalipun menangis. Dia terlihat begitu kuat, dan jago berkelahi. Dulu kami dekat sekali, dan dia selalu melindungiku dari gangguan anak-anak lain yang ada di sekitarku.
Dia sahabat yang paling dekat denganku. Keluarga kami berdua juga cukup dekat. Entah mengapa dulu kami bisa terpisah bahkan tak saling berkomunikasi. Seingatku awalnya dia masih sering menghubungiku. Namun tiba-tiba dia menghilang. Dan aku kesulitan menghubunginya. Mungkin sejak itulah aku menyerah dan mulai melupakan keberadaannya. Kupikir dia sudah lupa padaku, dan pada kebiasaannya memanggilku dengan sebutan ‘anak kecil’. Tapi ternyata sebutan itu masih saja dilontarkannya kepadaku meski kami sudah berpisah cukup lama.
“Hei, anak kecil. Lagi ngelamunin apa sih? Mikirin aku?”
Hampir saja jantungku copot melihatnya yang tiba-tiba saja sudah ada di depanku.
“Ada apa? Tumben mampir? Biasanya cuma lewat, kan?”
“Galak bener. Santai aja bisa kan ya? Senyum bisa kan?”
Lalu aku tersenyum datar menanggapi kata-katanya sambil membuang pandanganku ke arah yang lainnya.
“Nah, gitu kan jadi lebih manis. Ini nih, aku mau cari mamamu. Mamamu ada? Kemarin aku janji pagi ini mau nganterin ini. Coba tebak ini apa? Favorit kita nih. Masih inget nggak?”
Aku melihat ke dalam kotak yang dia bawa. Kue keju yang di atasnya ditaburi potongan buah strawberry. Itu kue kesukaan kami berdua. Tak kusangka ternyata dia masih ingat hal itu. Padahal sudah bertahun-tahun lamanya. Dulu mamaku dan mamanya sering membuat kue-kue bersama. Dan kami, tentu saja, membantu menghabiskan semua kue buatan mama kami berdua.
“Ini buatan mamaku lho.”
Katanya lagi sambil berjalan masuk ke rumah dan meletakkannya di meja makan. Kutinggalkan dia sejenak di ruang tamu untuk memanggil mamaku. Begitu aku kembali, dia sudah berada di balik meja makan dan kue itu sudah terpotong dan tertata di atas piring dengan rapi.
Dia tersenyum saat mamaku keluar menyambutnya. Lalu mulai bercerita. Mamaku juga tak mau kalah membalas setiap ceritanya. Seru sekali obrolan mereka. Dan aku hanya bisa terdiam, mendengar mereka berdua bercerita tentang banyak hal. Aku hanya bisa berpikir, begitu dekatkah dia dengan mamaku?
“Hei, anak kecil. Nggak mau makan kue? Nih, buat kamu.”
Tiba-tiba dia sudah menyodorkan sepiring kue kepadaku. Ah, sepertinya aku melamun lagi. Aku terlalu banyak melamun hari ini.
“Wa, kenapa sih kamu masih manggil aku anak kecil? Itu kan sebutan 15 tahun yang lalu.”
“Trus mau aku panggil apa?”
“Kamu masih inget namaku, kan?”
“Inget kok. Namamu Nina, kan?”
“Nah, kalo gitu bisa kan kamu manggil aku dengan nama itu. Aku risih karena kamu terus-terusan manggil aku dengan sebutan ‘anak kecil’. Aku kan udah bukan anak kecil lagi.”
Lalu dia terdiam. Tersenyum. Kemudian tertawa kecil.
“Hahaha. Iya. Ok. Nina si gadis kecil!”
Dia tertawa sambil menatapku.
“Tau nggak? Kamu ini susah banget dideketin belakangan ini. Susah banget ditemui, apalagi diajakin ngobrol. Kamu kayaknya sibuk banget. Bahkan aku yakin, kamu pasti nggak sadar kan hampir setiap hari aku datang ke rumahmu dan bertemu papa mamamu?”
Aku mengernyitkan dahiku.
“Aku sadar, kita udah terlalu lama nggak ketemu. Dan kita udah nggak sedeket dulu lagi. Karena itu aku cari cara biar bisa mengembalikan hubungan kita berdua kayak dulu lagi. Dan aku inget, aku punya kebiasaan manggil kamu dengan panggilan itu dulu. Yah, dengan cara itu aku berharap kamu nyadar, trus suasana yang pernah ada dulu di antara kita bisa kembali lagi. Dan kupikir kita bisa dekat lagi seperti dulu. Maaf ya, Nin, aku nggak tau ternyata itu mengganggumu.”
Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan penjelasannya.
“Maaf, beberapa tahun belakangan aku nggak nelpon kamu. Aku bener-bener lagi sibuk banget. Dan ya, aku tau aku salah. Tapi gimanapun, buatku kamu itu sahabatku dari kecil yang paling deket sama aku. Aku nggak mau ada kesalahpahaman trus kita jadi jauh.”
Aku tersadar. Beberapa kali mama bilang dia datang ke rumah dan mencariku. Dan aku selalu saja mengabaikannya. Jujur, aku memang malas bertemu dengannya jika dia masih memanggilku dengan sebutan ‘anak kecil’. Ternyata justru ini yang membuatnya masih terus-terusan memanggilku dengan sebutan itu. Dia ingin aku sadar akan keberadaannya. Dia ingin aku kembali bersahabat dengannya seperti dulu lagi.
“Tapi, Nin..”
“Ya? Kenapa?”
“Kayaknya sih aku bakalan terus manggil kamu dengan sebutan itu. Kamu pasti masih pantas disebut ‘anak kecil’. Kamu pasti masih cengeng kayak dulu. Iya, kan? Ngaku aja deh.”
Dia berkata seperti itu sambil tersenyum jahil mengejek. Sebuah cubitan mendarat di lengannya. Dia meringis kesakitan. Aku tertawa dan dia juga ikut tertawa. Lalu kami berdua menghabiskan hari itu dengan banyak cerita yang sempat tertunda untuk disampaikan, karena jarak yang pernah ada di antara kami berdua. Dan tentu saja, ditemani kue keju yang dibawanya tadi.
ditulis @gandess dalam http://gandessitoresmi.tumblr.com | Kepompong
No comments:
Post a Comment