Friday, September 21, 2012

Cermin


  Butiran-butiran peluh sebesar jagung sudah mulai menggelincir turun dari kening Sati, namun perempuan muda itu tampak tak peduli. Pakaian kotor masih menumpuk, makan malam belum ia siapkan, dan suaminya bisa mengamuk jika pulang nanti tidak didapatinya makanan tersedia di meja. Sati menghela napas panjang. Bagi Sati, tamparan Raj sudah tidak berarti apa-apa lagi, ia sudah sering diperlakukan seperti itu. Sati sudah terbiasa, tapi siapa sih yang mau keluar rumah dengan bekas merah di pipi? Terlebih lagi jika tinggal di area dimana antara satu rumah dengan rumah lainnya saling berhimpitan, dan suara sekecil apapun mampu menembus tembok tetangga.

                Sayup-sayup wangi dupa terbawa angin siang ke hidung Sati. Wangi dupa ini mengingatkannya pada pernikahannya dengan Raj, pernikahan yang dipaksakan oleh orang tua Sati. Pernikahan yang didasari atas kemiskinan keluarga, yang memberikan ilusi pada orang tua Sati bahwa Raj adalah pria kaya dan baik hati. Sesosok pria bagai nabi yang mau membawa putri mereka untuk merasakan kehidupan layak, meski pada akhirnya Sati mengetahui bahwa itu hanya tipu muslihat saja. Raj tak lebih daripada seorang penjudi dan pemabuk yang kini membawa Sati kembali kepada kemiskinan. Bagi Sati, uang memang membawa seseorang kepada dua hal: jika berlebihan ia menjadi bejat, jika kekurangan ia menjadi lebih bejat.

                Sati menghentikan lamunannya, lalu dimasukkannya pakaian-pakaian basah ke keranjangnya. Sati melangkah gontai kembali ke rumah dan dibukanya pintu berdecit yang bertahun-tahun mengabdi sebagai penjaga rumahnya. Wangi dupa telah berubah menjadi bau apak rumah, tetapi Sati tak peduli. Ia berjalan menuju dapur dan saat itulah kedua telinganya mendengar ketukan di pintu.

                “Siapa? Tunggu sebentar!” Sati menyahut. Ia berlari ke arah pintu, membukanya, dan didapatinya Jinaya, tetangga Sati, berdiri di sana bersama seorang pria yang tak dikenal Sati.

                “Sati, dengar,” Jinaya berkata dengan suara sedikit tercekat, “kau pernah bilang ingin bekerja di kota bukan?”

                Sati melamun sejenak. Ya, ia memang ingin bekerja di luar desanya, dan bukan, bukan karena ia bosan, tapi karena ia butuh uang dan sudah tak tahan dengan perlakuan suaminya. Maka Sati mengangguk.

                “Nah, aku punya solusi untukmu!” Jinaya tersenyum, ia menengok ke arah pria di sebelahnya. “Perkenalkan, ini Jay. Ia datang dari kota untuk memberikan pekerjaan kepada wanita-wanita desa kita!”

                “Salam, Sati,” Jay tersenyum agak malu. “Aku mendengar banyak hal tentangmu dari Jinaya,”

                “Salam, Tuan Jay,” Sati menakupkan kedua tangannya. “Pekerjaan apa yang Tuan tawarkan?”

                “Hanya bekerja sebagai resepsionis di sebuah hotel di Agra,” Jay menunduk, “itu pun kalau kau bersedia,”

                Sebuah tawaran menarik dan Sati kembali merenungkan hidupnya. Siklus hidup Sati selalu sama: Bangun bersama matahari, melakukan pekerjaan rumah untuk suaminya yang tak berguna itu, ditampar saat ada kesalahan sekecil apapun, duduk di sudut rumah, lalu merenung kapan penderitaan ini berakhir.

                Sebagai perempuan yang terbiasa tertindas, Sati tak pernah ingin dihargai. Keinginannya itu ia tinggalkan jauh-jauh sejak dulu. Sati tidak punya sahabat, karena satu-satunya teman terbaiknya adalah realita, dan realita mengatakan bahwa ia miskin, sangat miskin malah. Dunia begitu penuh dengan lembaran-lembaran Rupee, tapi nyaris tangan Sati tak pernah menggenggam sepeserpun. Sati butuh uang. Segera.

                “Tentu saja aku mau, Tuan Jay,” Sati mengangguk, “Berapakah aku akan digaji?”

                “Gajimu mungkin tak terlalu besar tapi lumayan, Sati,”

                “Kalau begitu kapankah aku bisa memulai pekerjaan itu?”

                “Secepatnya, Sati,”

                Sati tersenyum. Sore itu ia berangkat ke Agra bersama Jay dan beberapa wanita lain dari desanya.



* * *

                Mobil polisi seperti tak ada habis-habisnya menghampiri hotel itu. Suara bising sirine memenuhi udara dan meski lewat tengah malam, orang-orang menumpuk begitu saja di depan hotel untuk mengetahui persisnya apa yang terjadi. Ini wajar, karena nyaris tak pernah ada kejadian seheboh ini dalam hidup penduduk Agra.

                Sati berdiri di dalam lobi hotel, memperhatikan seluruh kejadian di sana. Pegawai-pegawai hotel itu tak henti-hentinya menjawab berondongan pertanyaan dari polisi gendut yang tampak galak dengan kumis tebalnya. Dua orang petugas medis berlari menuju lantai tiga, seolah kaki mereka dijejali batu arang panas. Hotel sekecil ini tak punya lift! Meski begitu, semua penghuni hotel berkumpul di lobi, saling bercerita soal kejadian mengerikan di hotel itu dalam versi mereka sendiri, entah mana yang benar.

                Sati berjalan mengelilingi lobi hotel. Ia sejujurnya penasaran juga dengan apa yang terjadi di hotel itu. Hal terakhir yang diingatnya adalah bahwa ia tidur dan tahu-tahu sudah terbangun di lobi hotel ini. Maka dari itulah ia ingin mencari Jay, satu-satunya orang yang bisa dimintai informasi. Meski pandangan Sati sudah mengelilingi lobi hotel, wajah Jay tak tampak dimanapun juga.

                “Permisi! Permisi! Biarkan kami lewat!” Dua petugas medis yang tadi berlari ke lantai tiga, kini turun dengan mengangkat sesosok tubuh yang tertutup kain putih.

                Mayat? Sati berbisik. Mayat siapa? Tuhan! Semoga bukan orang yang kukenal!

                “Jadi ini mayatnya?” tanya polisi bertampang sangar tadi.

                “Ya,” salah satu petugas medis menjawab, “dan cukup memprihatinkan,”

                “Bagaimana dia mati?”

                “Dari tali yang menggantung di langit-langit kamar, dia gantung diri,” jawab petugas medis yang satunya lagi. “Orang pertama yang menemukan mayatnya adalah pengantar makanan hotel,”

                “Boleh aku lihat mayatnya?” tanya si polisi lagi.

                “Tentu saja, Pak!”

                Sati menyeruak ke dalam kerumunan orang-orang yang juga penasaran. Digesernya tubuh-tubuh para penghuni hotel sampai ia berada di posisi dimana ia bisa melihat mayat itu. Ia sungguh berharap bahwa wajah di balik kain putih itu bukanlah wajah orang yang ia kenal.

                Si polisi gendut memegang ujung kain putih yang membungkus wajah mayat itu. Ditariknya kain putih itu dan tampaklah seraut wajah dengan mata tertutup, kulit sudah berwarna biru, dan mulut yang tampak berbusa. Sati menjerit, ia sungguh mengenali wajah itu!

                Wajah di balik kain putih itu bukanlah wajah Jay, melainkan wajah Sati sendiri.



* * *

Beberapa jam sebelumnya,

                Sati terisak di atas ranjang di kamar hotel lantai tiga. Ia telanjang bulat, dan perih dirasakannya di bagian tubuh di antara kedua pahanya. Malam itu, tanpa tahu apa-apa, terbujuk bualan manis laki-laki dengan tipuan agar bekerja sebagai resepsionis hotel, beberapa pria telah menindih tubuh Sati, memasukkan bagian tubuh yang mereka banggakan ke dalam bagian terpenting tubuh Sati.

                Tubuh kecil Sati tak mampu melawan tubuh besar pria-pria itu. Sati lemah, mencoba berteriak minta tolong namun hanya isakan tangis yang keluar dari mulutnya. Sati merasa jijik, sangat jijik, dengan seringai puas pria-pria bernafsu binatang itu. Setelah puas mengeluarkan cairan tubuh mereka, kumpulan laki-laki itu melemparkan begitu saja segenggam Rupee ke atas tubuh telanjang Sati, seolah perempuan itu hanyalah benda sekali-pakai.

                Sedari kecil Sati menyadari bahwa hidup sebagai perempuan di dunia yang diatur oleh laki-laki ini, ia harus tunduk secara absolut, seolah ia adalah barang yang bisa digunakan begitu saja oleh kelompok lelaki. Hidup sebagai wanita miskin telah membuat Sati ditindas oleh lelaki dengan berbagai cara. Raj yang datang bagaikan penyelamat ekonomi keluarganya, pada akhirnya menindas Sati dengan cara fisik. Dan Jay, ya Jay! Pria itu menindas Sati dengan cara penipuan, permainan otak, simbolis, atau apa pun namanya, telah memaksa Sati untuk menjadi pelacur.

                Harapan Sati untuk menjadi wanita bebas telah kaum laki-laki itu hancurkan, remukkan, hingga sekusut lembaran-lembaran Rupee di genggaman Sati. Di dunia dimana patriarkis berkuasa, Sati tak terlindungi. Ia menangis sejadi-jadinya atas kelemahan dan ketidakmampuannya melawan kuasa lelaki. Di tengah tangisnya itu, Sati masih mampu melihat seonggok ikat pinggang tertinggal milik salah seorang pria yang memperkosanya.

             

* * *

                Entah sudah berapa lama cermin-cermin di lobi hotel itu memantulkan sosok-sosok penghuni hotel yang berlalu-lalang di sana. Pertemuan, perpisahan, tawa, air mata, bahagia, serta duka sudah menjadi makanan mereka, dan kini, cermin-cermin itu menjadi satu-satunya hal yang mampu melihat sosok arwah Sati.

                Arwah Sati tak henti-hentinya menatap marah ke arah lobi hotel, tempat dimana Raj, suaminya, akhirnya tahu bahwa Sati meninggal dengan cara bunuh diri, dan betapa menyesalnya Raj telah berlaku kasar pada perempuan itu.



“She doesn’t want to be respected

Reality’s her best friend

She needs the extra money, extra money

In the city, the town, and the household

So many things go unreported

So many things her eyes have seen, eyes have seen, eyes have seen…



This is not what she expected

Her hopes, they stretch and they bend

Wrinkle like paper money, paper money

In the city, the town, and the household

So many things can be distorted

So if you want a true life story, bring money, bring money” – Utada Hikaru



—Teruntuk semua perempuan yang telah tertindas oleh patriarki—



(Didasari atas lagu berjudul “Hotel Lobby” oleh Utada Hikaru)


ditulis @rebornsin dalam http://inwordswetrust.wordpress.com

No comments:

Post a Comment