“Kapan nih, Anda akan mengakhiri masa lajang?”
Sudah sekian ratus kali pertanyaan semacam itu ditujukan padaku. Tidak dari seorang teman ketika permainan Truth of Dare, atau ketika wawancara yang dilakukan padaku seperti saat ini. Jika pertanyaan tersebut sudah dilontarkan, aku cukup memberi jawaban dengan senyuman, maka si penanya pun biasanya mengerti dan mengalihkan topik pembicaraan dengan melontarkan pertanyaan yang lain.
“Apakah Anda mempunyai masa lalu yang tidak bisa dilupakan sehingga sampai saat ini Anda belum terpikir untuk menikah, semacam cinta pertama yang sulit dilupakan?”
Apa-apaan ini?
Kali ini aku enggan untuk tersenyum. Akhirnya si pembawa acara menutup acaranya-yang-terkenal-dengan-pertanyaan-kurang-ajar-dengan kutipan dan gerakhan khasnya.
***
Aku bergegas meninggalkan gedung televisi tempatku menjadi bintang tamu di sebuah acara talk show barusan. Dengan langkah yang terburu-buru, aku memasuki parkiran bersama asistenku, Nancy.
“Non, kalau Non nggak suka, nanti saya akan menyuruh pihak televisi untuk tidak memasukkan daftar pertanyaan seperti itu lagi.” Ucapnya sambil mengikuti langkahku. Tangan kanannya membawakan tas milikku, sementara tangan kirinya tak henti memasukkan roti ke dalam mulutnya.
Sebenarnya aku bisa saja memintanya untuk meniadakan pertanyaan tersebut. Tapi aku memilih untuk membiarkan saja mereka terus bertanya, dan biarkan saja jawabannya tetap menjadi misteri bagi mereka semua.
Ya, misteri bagi mereka yang selama ini mengagungkanku sebagai artis idola. Aku, Farah Dilla, Diva nomor satu di Indonesia yang sudah memiliki tujuh album yang sebentar lagi akan mengeluarkan album internasional yang di dalamnya terdapat tiga lagu ciptaan dari pencipta lagu penyanyi Hollywood yang….. Ah, aku tak sanggup menyebutkan ‘yang’ yang lainnya, karena ujung-ujungnya pasti akan menjadi seperti ini: yang sudah berusia 32 tahun yang sampai saat ini masih belum terlihat mempunyai kekasih.
“Sudahlah. Nggak apa-apa,” Aku melirik Nancy sambil tersenyum. “Astaga, kamu ini makan terus, katanya mau diet buat menarik perhatian satpam apartemen kita?” Aku tergelak sambil memasuki mobil.
“Non, memangnya pacar pertama Non siapa, sih? Saya jadi ikut penasaran.”
Mobil melaju perlahan. Aku mengabaikan pertanyaan Nancy dan mengalihkan pandangan ke luar, menikmati Jakarta ketika malam. Ada keresahan yang entah kapan akan berakhir.
***
Aku membasuh muka dengan air hangat, membersihkan sisa-sisa make-up dengan seksama. Duduk menghadap cermin, mataku lekat menatap seseorang yang ada di sana.
Cantik…
Semestinya tidak akan susah untukku mendapatkan lelaki jenis apapun, jika aku mau.
Tiba-tiba ada yang mengusik pikiranku, pertanyaan-pertanyaan itu mencuat kembali di otakku
Siapa cinta pertamamu?
***
Aku berlari melewati gerbang, wajah satpam sekolah sudah menujukkan ekspresi yang sangat kukenal; pura-pura marah.
“Ditunggu Dji Sam Soe-nya nanti siang ya, Bos!” Ujarku pelan sembari mengerlingkan mata.
Hari ini hari terakhir ujian. Seebentar lagi aku akan menanggalkan seragam putih abu-abu. Aku senang bahwa aku sebentar lagi akan lulus dan melanjutkan langkahku untuk menggapai mimpiku di ibu kota. Namun tetap saja ada suatu hal yang mengganjal dalam hati dan otakku, kamu, seseorang yang selama tiga tahun ini sudah mengisi hari-hariku.
***
“Kamu yakin mau kuliah di Jakarta?” Kamu memulai pembicaran sambil membelai halus rambutku. Suasana seperti ini selalu menjadi momen favorit untuk kita berdialog.
Aku terdiam, sesekali menikmati aroma tubuh yang merebak dari dadamu.
“Ya sudah, kamu pikir-pikir dulu.”
Aku mengangguk sambil mengencangkan pelukanku. Kulit kami bersentuhan dan cinta kami menyatu.
“Istriku sudah menelepon menyuruhku pulang.”
Aku tersenyum kecut. Sepertinya aku sudah salah menjalin hubungan denganmu; seseorang yang lebih tua 12 tahun dariku, dan… guruku. Tetapi siapa yang bisa melawan cinta. Kamulah yang mengenalkanku pada cinta. Bukan sekadar cinta monyet, sampai-sampai aku harus rela mengambil segala resikonya.
Haruskah merasa salah di diriku
Bila mencintaimu yang t’lah berdua
Seolah aku perawan cinta yang haus kasih
***
Hari kelulusan tiba. Aku menghubungi berkali-kali, tak ada jawaban. Aku pun hanya bisa menangis dalam diam saat mendengar kabar dari kepala sekolah saat memberi sambutan bahwa kamu baru saja dikaruniai seorang anak.
***
Hari Selasa bulan ketujuh tahun 2001. Bandara Sultan Hassanudin menjadi saksi resahnya seorang perempuan memutuskan untuk meninggalkan hati.
***
Sampai saat sekarang aku mejadi penyanyi, aku tidak mengetahui mengenai kabarnya. Dan inilah yang menjadi alasanku memilih untuk menyendiri. Jika dia menyaksikanku di televisi, setidaknya dia tahu bahwa aku masih mengingatnya, bahkan, menunggunya.
Tok tok tok “Non…” Suara nyaring Nancy memudarkan lamunanku.
“Ya, ada apa?”
“Ada telepon untuk Non Dilla.”
“Dari?”
“Nggak tahu. Katanya dari Makassar.”
*) Diinspirasi dari lagu Perawan Cinta - Rossa
Ditulis @siapapun_ dalam http://siapapun.tumblr.com
No comments:
Post a Comment