You’ve kept me hanging from a string
While you make me cry..
Sepanjang malam, tidurku tak lelap. Pagi ini aku bangun dengan mata lebam dan hiasan hitam di kantung matanya. Puluhan kertas lembut yang kugunakan untuk membasuh air mataku semalaman berserakan di atas tempat tidurku.
Aku patah hati. Iya, sesaat setelah menerima balasan pesan singkatmu padaku. Belum sempat kamu mendengarkan penjelasanku. Tapi kesepihakan telah memutuskanku.
Pikiranku mandul. Tak tahu mengapa kau melakukan ini padaku? Tak tahu apa yang ada dipikiranmu selama beberapa hari ini? Aku merasa terbuang.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kamu membuat tembok perlindungan atas dirimu sendiri. Rimba. Sigh.
***
I feel like such a foolThere’s nothing I can do
I’m such a fool for you..
Bodoh. Memang aku bodoh. Ingatan tentangmu saat menerima telepon darinya membuatku menggelengkan kepala. Tak habis pikir. Cello.
Sengaja aku memutuskan sepihak. Aku memang tak ingin hanya menjadi pelampiasan semata. Jadi, ini bukan hanya tentangku, tapi juga tentang cinta pertamamu. Cinta yang kamu elu-elukan; dulu.
“Sebelum jam makan siang aku sudah di sana. Mau kubawakan apa?“
“Oh okay. Pizza ukuran besar untuk dua orang. Sampai ketemu nanti, Sakti.“, jawabmu mengulang keinginan seseorang di ujung telepon ketika kamu sedang berada di halaman belakang membelakangiku dan aku baru saja sampai di rumahmu untuk berkunjung sehari setelah kedatanganku dari Bangkok. Diam-diam aku ke rumahmu sekalian menghabiskan hari cutiku.
Kemudian, aku membalikkan badan dan mengurungkan niat bertemu denganmu.
Sakti. Yang kini entah bagaimana kembali bisa kembali dalam kehidupanmu. Aku yang tak tahu menahu dari mana semua berasal. Karena kamu memang tak pernah menceritakannya padaku. Atau kamu seperti aku, menyelipkan unsur sengaja; sengaja menyimpannya dariku.
Kepercayaanku seolah dilecehkan. Namun, inikah yang dinamakan terlanjur sayang? Meski hati berkata tidak untuk kembali padamu secara konkret, namun memori tentangmu melintas tajam, tak mau pergi dan meminta untuk bersatu lagi.
I can’t take it
What am I waiting for?
I’m still breaking
I miss you even more..
Kucoba pandangi jalanan lengang siang hari dari lantai tiga puluh empat kantorku. Tak ada yang berubah. Ya, analogiku lalu bermain. Layaknya permasalahan hubunganku dengan Cello. Permainan pikiranku takkan mengubah apapun selama aku tak mencari tahu sendiri kebenarannya. Lebih baik sakit sekalian karena kenyataan daripada terus menerus menambah tanda tanya besar dipikiranku.
To: Cello
“Temui aku selepas jam kantor. Di coffee shop tempat biasa kumpul teman-teman. Jam 7 malam, mungkin?”
Sent 13:28 WIB
Kembali aku khidmat dalam deburan pikiranku tentangmu sambil menatap jalanan lengang yang sama.
***
Every now and then when I’m all aloneI’d be wishing that you would call me on the telephone
Say you want me back but you never do..
From: Rimba
“Temui aku selepas jam kantor. Di coffee shop tempat biasa kumpul teman-teman. Jam 7 malam, mungkin?”
Sent 13:28 WIB
Mataku berbinar. Perasaan apakah ini? Hanya lega yang kurasa. Aku ibarat induk burung yang mendapatkan cacing dan ingin segera pulang memberikan makan kepada anak-anaknya. Dia mengajakku bertemu. Ah aku senang sekali. Akhirnya. Hampir seminggu aku tak ada komunikasi denganmu. Lalu ada kabar baik datang di dalam kotak masuk pesan ponselku.
Sebuah kesadaran menggempur pikiranku. Dahsyat. Apakah ia masih menginginkanku di hidupnya? Atau hanya ingin bertemu denganku, lalu berpisah secara formal? Bila sesuai dengan pertanyaan kedua, maka aku harus bisa mempersiapkan kemungkinan terburuknya.
To: Rimba
“Ya, jam 7 malam. Terima kasih sebelumnya.”
Sent 13:47 WIB
Kerinduan ikut menari di hati. Aku tak sabar bertemu denganmu nanti sore.
***
And I can’t fake itThe way I could before
I hate you but I love you
I can’t stop thinking of you
It’s true, I’m stuck on you..
Jam 7 malam. Coffee shop.
Aku sudah hadir lebih dulu ketimbang Rimba. Dengan manis aku duduk menunggunya ditemani segelas Greentea latte. Di meja paling pojok smoking area cukup untuk dua orang. Seperti biasa.
Tak sabar. Sungguh. Jantungku berdetak kencang tak beraturan. Ini lebih mirip kencan anak SMA. Aku grogi. Meski sudah kucoba mengatur napas, namun sia-sia.
Di depanku duduk empat orang laki-laki yang sedang asyik online menggunakan wi-fi coffee shop yang tersedia. Mereka berempat sebaya. Sederetan denganku, seorang ibu-ibu menunggu suaminya yang mengantri untuk membeli minuman.
Lalu, tiba-tiba saja berdiri di sampingku seorang pria. Rimba. Aku terkejut. Tampangnya masam dan tampak tertekan. Sepatu kantornya tak lagi mengkilap. Rambutnya juga sudah mulai panjang. Janggut tipis menghiasi dagunya.
“Hei. Kamu..”
“Sudah lama?”, Rimba memotong.
“Lumayan.”
“Ma…mau kupesankan apa?”
“Nanti saja.”
Dia pun menghempaskan tubuhnya di sofa yang cukup untuk satu orang, di depanku.
Diam. Hening. Dia hanya menatapku lekat-lekat dengan kepalanya di senderkan ke pundak kursi. Aku salah tingkah. Berkali-kali aku mengambil minumanku dan menyeruputnya. Berkali-kali juga aku berusaha menutup mukaku dengan gelas minumanku agar tidak malu dan kebingungan.
“Kamu baik-baik aja?”, tanyaku memecah sunyi.
Rimba mengangguk.
“Jadi?”
Pundak terangkat. Tak mengerti maksud pertanyaanku.
“Kamu…kita…ke…sini.”, aku gugup.
“Oh.”
Rimba menarik napas dalam-dalam dan membenarkan posisi duduknya. Kali ini lebih condong ke arahku.
“Kamu dan Sakti… Sakti memang sakti ya?”
“Aku tidak ada apa-apa sama Sakti, Rim. Dia itu…jadi karena itu kamu ngajak ketemu? Jadi karena itu juga keputusan sepihakmu datang?”, aku balik bertanya padanya dengan penuh emosi.
Sekarang aku tahu mengapa sikapnya dingin kepadaku. Tapi, ini kesempatanku untuk menjelaskan semua. Semuanya. Kepada Rimba. Aku harus bisa menyelamatkan hubunganku dengannya. Aku menatap matanya demi meyakinkan segala ceritaku.
Perlahan dan terbata. Dengan air mata yang jatuh sesekali dari pelupuk mataku.
“Berhenti Yang.”, Rimba menyebutku dengan panggilan kesayangannya padaku.
“Aku minta maaf.”
“Aku yang minta maaf.”, sahutku.
“Harusnya tidak selarut ini.”
Tangisanku pun menjadi. Sesegukkan. Rimba menggeser tempat duduknya menjadi di sebelahku.
“Kemari.”, tangannya kini sudah merangkul pundakku.
Aku luntur dalam dekapannya. Bersama rasa rinduku. Hatiku pun kembali berdamai.
“Rimba, kamu mungkin bukan cinta pertamaku. Tapi aku ingin kamu menjadi yang terakhir bagiku.”, bisikku.
Diangkatnya mukaku dengan kedua tangannya.
“Cello, aku memang kecewa dan benci kamu tapi rasa sayangku mengalahkan rasa benciku. Please jangan dilakuin lagi?”
Aku mengangguk. Dan ia memelukku makin erat.
***
Rimba & Cello; 17 September 2012.*) Diinspirasi dari lagu Stuck - Stacie Orrico
Ditulis @TengkuAR dalam http://tengkuar.wordpress.com
No comments:
Post a Comment