Dengan sedikit berjinjit, aku berjalan mengendap dan membuka pintu rumah dengan gerakan yang sangat pelan. Aku tidak ingin menggugurkan rencana hanya karena ketahuan oleh orang rumah.
Setelah berhasil berada di luar, aku bergegas menuju halaman belakang. Hamparan ladang jagung seluas sekitar satu hektar terlihat kelam dalam temaram cahaya bulan. Ya, orang tuaku bekerja sebagai petani yang bertugas mengurusi ladang jagung milik juragan desa. Di desaku, ada sekitar lima hektar ladang jagung yang masing-masing hektar diurus oleh satu keluarga. Keluargaku salah satunya.
Dengan berbekal lampu senter dan sedikit cahaya bulan, aku menerobos melewati pohon-pohon setinggi dada. Aku mengikuti jalan setapak yang di beberapa sisinya sudah kutandai dengan tongkat kecil. Sesekali aku membuka kompas, takut-takut kalau aku keliru membaca tanda. Kuabaikan rasa gatal yang ditimbulkan oleh merang halus dari pohon jagung. Aku ingin segera sampai dan menuntaskan rindu yang selama ini kubendung.
Senyumku merekah ketika mataku menagkap bayangan sebuah tongkat panjang berukukuran sekitar satu meter yang sebelumnya sudah kutancapkankan sebagai penanda. Aku sampai di tempat tujuan: area tengah dari ladang ini.
Hai… Ucapku pada tongkat tersebut.
Di sini, di area tengah ladang jagung belakang rumah, setiap malam Minggu pada minggu kedua di bulan genap, aku selalu menuntaskan rasa rindu yang menggebu.
*****
Sekitar dua tahun yang lalu, saat aku sedang bermain di ladang sore-sore. Entah karena kecapaian setelah tak henti berlari dan menari, aku ketiduran di tengah-tengah ladang.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara hantaman mirip benda jatuh ke atas tanah. Mataku terbuka. Aku terhenyak dengan kehadiran seseorang di hadapanku, kamu, seorang laki-laki berambut merah dan berkulit hitam pekat. Tersungkur mencium tanah, dengan dua sayap yang salah satunya terlihat patah.
Kamu menatapku dengan sorot mata yang tajam. Sebelum mulutku terbuka dan meneriakkan sesuatu, dengan kecepatan secepat cahaya kamu bangun, dan seketika tubuhku sudah kaupeluk dan mulutku sudah kaubekap.
Mataku terbelalak menahan rasa takut. Ingin berontak, namun pelukanmu menahanku, erat.
Setalah saling pandang cukup lama, kamu mengendurkan pelukanmu secara perlahan kemudian memberi isyarat agar aku tetap tenang. Dengan napas tersengal dan mulut yang gelagapan, aku mundur satu-dua langkah ke belakang, namun kamu menggapai tanganku, meraihnya, dan memintaku untuk duduk.
Setelah semua dirasa lebih tenang, kamu menceritakan bagaimana dan kenapa sampai kamu bisa berada di sini, di ladang jagungku.
Dari ceritamu, aku mengetahui bahwa kamu merupakan manusia dari abad 22 yang tidak sengaja menembus batas ruang dan waktu lalu terlempar ke bumi abad 21 ketika sedang belajar menyempurnakan pendidikan terbang.
Perasaan takutku berubah menjadi kagum. Aku terpesona dengan wajahmu yang tak henti memancarkan kilauan-kilauan cahaya, dan terbuai dengan wewangian yang keluar dari mulutmu setiap kali kamu bicara. Kamu pun memperagakan keistimewaan-keistimewaanmu yang lain; berdiri dan berputar dengan satu kaki mirip penari balet, melompat-lompat ke atas setinggi sekitar lima puluh meter, dan memutar badan dengan kecepatan tinggi mirip gangsing. Teknologi abad 22, celotehmu.
Setelah kuobati luka-lukamu, kamu memutuskan untuk pulang. Kamu berjanji untuk menemuiku kembali setiap dua bulan sekali-malam Minggu pada minggu kedua di bulan genap.
Sebelum pergi, kamu memberiku sebuah kotak musik yang harus kubawa setiap kali kita akan bertemu. Katamu, jika kotak musik tersebut kubuka, maka ia akan melantunkan sebuah lagu yang berfungsi sebagai penanda, supaya kamu tidak kesulitan mencariku ketika turun ke bumi.
Tepat jam dua belas malam, kamu mengepakkan sayap dan melayang secara perlahan, kemudian dengan kecepatan serupa cahaya, kamu melesat membelah malam, lalu menghilang menembus langit hitam.
Dua bulan berikutnya, kita mengulang pertemuan. Malam Minggu pada minggu kedua di bulan genap aku tidak pernah melewatkan untuk pergi ke ladang jagung belakang. Begitu sampai di area tengah, kubuka kotak musik kuno yang pernah kauberikan, kemudian sebuah lagu mengalun secara perlahan.
Kalau aku bisa terbang, pasti aku terbang mencari dirimu…
Langit sedikit gemuruh, dari balik awan muncul sesosok laki-laki berambut merah dan berkulit hitam pekat, meluncur dengan cepat dan menghatam tanah tempat kuberpijak. Begitulah peristiwa tersebut terjadi setiap selang satu bulan sekali.
Di kali pertemuan keenam, kamu datang dengan penampilan yang tidak seperti biasanya. Kereta kencana beserta empat buah kuda hitam kaubawa serta. Rupanya kamu sedang dimabuk cinta, dan melamarku pada saat itu juga. Dua cincin emas bertahtakan berlian berwarna jingga resmi mengikat cinta. Cinta yang terpisahkan oleh jarak yang tak terhingga, cinta yang melintasi batas waktu dan logika, cinta dua manusia dari zaman yang berbeda: cinta kita.
*****
Kalau aku bisa terbang, pasti aku terbang mencari dirimu…
Sebab aku tahu pasti, engkau pun tak mau kehilangan aku…
Kita sama-sama telah berjanji untuk sehidup semati…
Selamanya…
Kotak musik sudah berputar berulang kali.
Aku merebahkan diri di atas tanah menghadap langit malam. Sejak tiba tadi, sudah lebih dari dua jam aku menunggumu di sini. Aku yakin tidak salah tanggal, gumamku dalam hati.
ditulis @siapapun_ dalam http://siapapun.tumblr.com
No comments:
Post a Comment